Bab 2

Mendengar kata2 itu, semua pendeta kaget tercampur heran. Boe sek Siansoe adalah seorang yang mempunyai kedudukan sangat tinggi dalam Siauw lim sie. Bahwa ia sudah berlaku begitu hormat terhadap seorang gadis remaja, adalah suatu kejadian luar biasa.

"Taysoe, janganlah kau berlaku begitu sungkan," kata sinona de ngan perasaan jengah." Aku menyesal bahwa barusan dengan semberono aku sudah melakukan perbuatan sangat tak pantas terhadap beberapa Sueheng. Aku memohon Taysoe sudi menyampaikan maafku kepada mereka.

Biarlah kita berpisahan disini saja dan dilain hari, kita pasti akan bertemu pula." Sehabis berkata begitu, ia segera memberi hormat, lalu memutar dapan dan mulai bertindak turun dari tanjakan itu.

"Nona kecil, mengapa kau menolak tawaranku yang diajukan dengan setulus hati?" kata Boe sek sambil tertawa. "Beberapa tahun berselang, karena sedang repot, aku tak bisa menghadiri pesta hari ulang tahunmu, sehingga sampai sekarang hatiku masih merasa tak enak. Kalau hari ini aku tidak mengatarkan kau sampai 30 li, aku seperti juga tidak mengenal peraturan untuk melayani tamu terhormat."

Mendengar kata2 itu yang tulus iklas dan juga karena merasa senang dengan cara2 si tua yang polos, Kwee Siang segera berpaling dan berkata sambil bersenyum."Marilah."

Dengan berendeng pundak mereka turun dari tanjakan itu dan tak lama kemudian, tibalah mereka di pendopo Lip swat teng. Tiba2 mereka mendengar suara tindakan kaki dan waktu menengok, mereka melihat, bahwa orang yang membuntuti adalah Thio Koan Po.

" Saudara Thio," menegur Kwee Siang." Apakah kau juga ingin mengantarkan tamu?"

Paras muka pemuda itu lantas saja berubah merah. "Benar!" jawabnya.

"Pada saat itulah, se-konyong2 dari jauh mereka melihat seorang pendeta bertindak keluar dari pintu kuil dan kemudian lari turun sekeras kerasnya dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan. Alis Boe sek berkerut. "Ada apa begitu ter-buru2 ?" tanyanya.

Begitu berhadapan dengan Boe sek, pendeta itu memberi hormat dan lalu bicara bisik2. Paras muka si tua lantas saja berubah. "Apa benar ada kejadian begitu?" teriaknya.

"Loo hong-thio (pemimpin kuil) mengudang Sioe-co (kepala bagian) untuk berdamai." jawabnya.

Melihat paras muka Boe-sek. Kwee Siang mengerti, bahwa Siauw-lim-sie sedang menghadapi urusan sulit. Maka itu, ia lantas saja berkata: "Loo-sian-soe, dalam persahabatan yang paling penting adalah kecintaan hati. Segala adat istiadat tiada sangkut pautnya dengan persahabatan. Jika Loo-sian-soe mempunyai urusan, uruslah saja. Di lain hari, kita masih mempunyai banyak kesempatan untuk makan minum sepuas hati."

"Tak heran Yo Tay hiap begitu menghormatimu," memuji Boe sek. "Kau benar2 seorang gagah, seorang jago betina. Aku merasa girang bisa bersahabatan dengan seorang seperti kau."

Kwee Siang bersenyum deagan paras muka ke-merah2 an dan sesudah mereka saling memberi hormat, si pendeta tua segera kembali kekuil Siauw-lim-sie.

Sinona lalu meneruskan perjalanannya dengan dibuntuti Thio Koen Po dari belakang. Pemuda itu tak berani berjalan berendeng, ia mengikuti dalam jarak lima-enam tindak.

"Saudara Thio, mengapa mereka menghinakan gurumu ?" tanya nona Kwee sambil menengok ke belakang. "Dengan memiliki kepandaian begitu tinggi, gurumu sebenarnya boleh tak usah takuti mereka."

Koen Po mempercepat tindakannya. "Mereka bukan sengaja menghina Soehoe," jawabnya. "Peraturan di dalam kuil selalu dipegang keras sehingga siapapun juga membuat pelanggaran, tak akan terluput dari hukuman."

Kwee Siang jadi heran. "Gurumu adalah seorang kesatria dan dalam dunia jarang terdapat manusia yang hatinya begitu mulia," katanya. "Kedosaan apakah yang telah di perbuatnya ?"

Pemuda itu menghela napas panjang. "Latar belakang kejadian ini sebetulnya sudah diketahui nona," jawabnya. "Yang menjadi gara-gara adalah kitab Leng-keh-keng."

"Ah ! Kitab yang dicuri Siauw Siang Coe dan In Kek See ?" menegas si nona.

"Benar," jawabnya. "Hari itu, waktu berada di puncak Hwa-san, atas petunjuk Yo Tay hiap, aku telah menggeledah badan kedua orang. Sesudah turun gunung, mereka tak kelihatan mata hidungnya lagi. Dengan apa boleh buat, Soesoe dan aku segera kembali ke kuil dan melaporkan kepada Sioe co dari Kay-loet-ton. Leng keh keng adalah kitab yg di tulis oleh Tatmo Couwsoe sendiri dan merupakan salah sebuah barang berharga dalam Siauw-lim-sie. Maka itu dapatlah dimengerti, jika Soehoe tak bisa terlolos dari hukuman.

"Gurumu dihukum tak boleh bicara ?" tanya pula si nona.

"Ya, menurut peraturan yang sudah turun temurun," sahutnya. Menurut peraturan itu, seorang yang dihukum harus memikul air dengan kaki tangan dilibat rantai dan tak boleh bicara".

"Menurut katanya para tetua hukuman memikul air malahan ada baiknya untuk yang terhukum. Dengan membungkam, ia mendapat kemajuan dalam latihan rokhani dan dengan memikul air tangannya akan bertambah besar."

Si nona tertawa geli. "Kalau begitu, gurumu sebetulnya bukan menjalani hukuman, tapi sedang melatih badan." katanya. "Ah ! Memang aku yang terlalu rewel dan suka mencampuri urusan orang lain."

"Bukan, bukan begitu," kata Koen Po dengan cepat, "Untuk kebaikan nona, Soehoe merasa sangat berterima kasih dan tak akan melupakannya."

Kwee Siang menghela nafas. "Lain orang sudah melupakan aku sama sekali," katanya didalam hati.

Sesaat itu, tiba2 terdengar suara bunyi keledai yang sedang makan rumput didalam hutan. "Saudara Thio, tak usah kau mengantar lebih jauh lagi." katanya sambil bersiul dan tunggangannya segera menghampiri.

Koen Po mengawasi dengan sorot mata duka. Ia kelihatannya merasa berat untuk berpisahan, tapi ia tak mengeluarkan sepatah kata, Kwee Siang yang dapat membaca jalan pikiraannya, segera merogoh saku dan mengeluarkan sepasang Lo han besi. "Kau ambilah ini" katanya seraya mengangsurkannya.

Koen Po terkejut, ia tak berani menyambutinya. "Ini . ini . ." katanya ter-putus2.

"Aku berikan ini kepadamu," kata si nona , "Kau ambil lah."

Pemuda itn tergugu: "Aku . . aku .."

Si Nona segera memasukkan sepasang lo han besi itu kedalam saku Koen Po dan kemudian melompat naik keatas punggung keledai.

Tapi, sebelum ia berangkat, di atas tanjakan se konyong2 terdengar teriak: "Kwee Jie-bouwnio! Tahan!"

Si nona menengok dan melihat Boe Sek Siansoe sedang mendatangi dengan ber-lari2.

"Pendeta tua itu ternyata kukuh sekali," pikirnya. "Perlu apa ia mengatarkan aku?"

Begitu berhadapan dengan si nona, Boe Sek segera berkata pada Koen Po: "Lekas kau kembali kekuil. Kau tak boleh berkeliaran lagi di gunung ini."

Pemuda itu mengangguk sambil melirik si nona, ia segera mendaki tanjakan.

Sesudah Koen Po berada jauh. Boe sek segera mengeluarkan selembar kertas dari dalam lengan jubahnya dan berkata: "Kwee Jie-kauw nio, apa kau kenal tulisan siapa ini ?"

Sinona menyambuti dan membaca dua baris huruf yang tertulis diatasnya. "Sepuluh hari kemudian, Koen-leon Sam seng (Tiga nabi gunung Koen-loen san) akan datang berkunjung ke Siauw lim-sie untuk meminta pelajaran,"

"Siapa Koen loen Sam seng ?" tanya sinona "Suaranya sombong sekali!"

"Kalau begitu nona pun tak mengenal mereka katanya." Situa berdiri bengong. "Urusan ini benar benar mengherankan," katanya dengan suara perlahan.

"Mengapa mengherankan ?" tanya Kwee Siang.

"Biarpun baru pernah bertemu, aku menganggap nona sebagai seorang sahabat lama dan aku bersedia untuk menerangkan se-jelas2nya kata Boe-sek. "Apa nona tahu dari mana datangnya kertas ini ?"

"Diantarkan oleh suruhan Koe-loen Sam-seng." Jawabnya.

"Jika disampaikan oleh seorang suruhan, kami tentu tak menjadi heran." kata si Pendeta.

"Orang sering mengatakan, bahwa pohon yang tinggi selalu mengundang serangan angin. Dan sudah sejak lama, selama beberapa ratus tahun, Siauw lim sie dikenal sebagai sumber pelajaran ilmu silat dan oleh karena demikian, banyak sekali ahli silat datang berkunjung untuk menjajal kepandaian kami. Hal ini adalah hal yang lumrah. Dipihak kami, setiap kali orang menantang, kami selalu coba membujuknya, supaya ia membatalkan niatan itu. Sedapat mungkin, kami coba mengelakkan pertandingan. Kami sungkan merebut kemenangan. Orang2 yang masih suka berkelahi, mana boleh jadi murid Budha

"Benar, perkataan Taysoe benar sekali," kata sinona sambil mengangguk.

"Akan tetapi, pada umumnya, seorang ahli silat yang datang berkunjung, masih penasaran jika belum memperlihatkan kepandaiannya," kata pula Boe sek. "Maka itu, dalam kuil kami dibentuk bagian Lo han tong yang bertugas untuk melayani para tamu itu."

Si nona tertawa-tawa geli. "Aha ! Kalau begitu Taysoe bertugas sebagai tukang berkelahi," katanya.

Si tua tertawa getir. "Sebagian besar ahli ahli silat yang datang kemari dapat dilayani oleh para murid dan aku tak usah turun tangan sendiri," katanya. "Tapi hari ini karena melihat gerakan2 nona yang luar biasa, aku terpaksa turun tangan sendiri."

"Terima kasih banyak2 atas pujian Toahweeshio," kata sinona sambil membungkuk dan tertawa manis.

"Ah, aku sudah melantur kelain tempat," kata Boe sek. "Sekarang kita kembali pada surat tantangan itu. Untuk bicara sejujurnya kertas ini diambil dari dalam tangan patung Hang-liong Lo-han yang terdapat didalam kamar Lo-han-tong."

"E eh! Siapa yang menaruhnya?" tanya si nona.

Sipendeta meng garuk2 kepala. "Kami tak tahu, inilah justru yang mengherankan," jawabnya. "Dalam Siauw lim-sie terdapat ratusan pendeta, sehingga seorang luar tak mungkin menyelinap masuk, tanpa diketahui. Apa pula kamar Lo han tong siang malam dijaga oleh delapan murid dengan bergantian. Barusan, mendadak saja seorang murid melihat kertas itu didalam tangan Hang liong Lo han dan ia segera melaporkan kepada Loo-hong-thio. Semua orang jadi heran tak habisnya dan mereka lalu memanggil aku untuk diajak berdamai."

Mendengar sampai disitu, Kwee Siang lantas saja dapat menebak jalan pikiran sipendeta. "Bukankah kau merasa curiga terhadapku?" tanyanya. "Kalian menganggap, bahwa aku mempunyai hubungan dengan manusia2 yang menamakan dirinya sebagal Koen-loen Sam-seng. Aku mengacau diluar dal mereka diam2 masuk ke Lo han-tong untuk menaruh surat itu. Bukankah begitu dugaanmu?"

"Aku sendiri tidak, hatiku bebas dari segala prasangka," sahutnya. "Tapi nona tentu bisa mengerti, jika Loo-hong-thio dan Boe siang Soe-heng agak curiga. Secara kebetulan, surat itu muncul pada waktu nona mau berangkat."

"Sekali lagi aku memastikan, bahwa aku tidak mengenal tiga manusia itu," kata Kwee Siang.

"Toa-hweeshio, apa yang mesti ditakuti? Jika mereka benar2 berani menyateroni, iringlah segala kemauannya."

"Takut kami tentu tak takut," kata situa. "Jika nona tidak bersangkut paut dengan mereka, aku boleh tak usah berkuatir lagi."

Kwee Siang mengerti, bahwa maksud si pendeta tua adalah baik sekali. Boe sek rupanya menyangka tiga orang itu ada berhubungan dengan dirinya, sehingga jika sampai bergerak ketiga orang itu sampai terluka, si pendeta akan merasa tak enak hati terhadapnya. Maka itu, ia lantas saja berkata. "Toa hweesio, jika mereka datang baik2 dan bicara baik2, kau boleh menyambutnya secara baik2 pula. Tapi kalau mereka kurang ajar, hajarlah, supaya mereka tahu lihaynya Siauw lim-sie. Dilihat dari suratnya, mereka kelihatannya sombong luar biasa."

Bicara sampai di situ, dalam otaknya mendadak berkelebat serupa pikiran dan ia lalu berkata pula: "Toa, hweeshio, apa tak mungkin didalam kuil terdapat konconya yang diam2 sudah menaruh kertas itu di tangan Hang liong Lo han?"

"Kemungkinan ini sudah direnungkan oleh kami," sahutnya. "Tapi rasanya tak mungkin terjadi. Tinggi tangan Hang liong Lo han da ri lantai ada tiga tombak lebih dan murid yang membersihkannya, selalu harus menggunakan tangga. Orang yang memiliki ilmu mengentengkan badan sangat tinggi, belum tentu bisa mencapainya. Andaikata benar ada pengkhianat, dia pasti tak mempunyai ilmu yang begitu tinggi."

Penuturan yang sangat manarik itu sudah nembangkitkan rasa kepengin tahu dalam hati Kwee Siang. Ia kepingin tahu, bagaimana macamnya Koen loen Sam Seng dan kepingin tahu pula bagaimana kesudahan pertemuan itu. Hanya sayang, tak mungkin ia menyaksikan itu semua dengan mata sendiri, karena Siauw lim-sie tak bisa menerima tamu wanita.

Melihat si nona ter-menung2. Boe sek menduga, bahwa nona itu sedang memikiri daya upaya untuk mengelakkan ancaman bahaya. Maka dari itu, sambil tersenyum ia berkata. "Kwee Jie kouwnio, selama ribuan tahun Siauw-lim-sie telah mengalami banyak gelombang dan taufan, tapi begitu jauh, belum pernah dirusak orang. Jika Koen loen Sam sang sungkan diajak berunding, kamipun tak akan mengorbankan keangkeran Siauw lim sie dengan begitu saja. Kwee Jie kouwnio, setengah bulan kemudian, kau boleh men-dengar2, apa Koen loen Sam seng sudah berhasil menghancurkan kuil kami" Waktu mengucapkan kata2 yang paling akhir, muncullah kembali keangkeran Boe sek di jaman muda, suaranya nyaring dan berpengaruh, sedang kedua matanya ber-kilat2.

"Toa hweeshio, jangan kau gampang2 naik darah," kata sinona sambil tertawa geli. "Cara2 yang berangasan tak sesuai dengan kedudukanmu sebagai murid Sang Buddha. Baiklah setengah bulan lagi, aku menunggu warta menggirangkan." Sehabis berkata begitu, ia mengedut les keledai dan lalu mulai turun gunung. Diam2 ia mengambil keputusan, bahwa sepuluh hari kemudian ia akan kembali untuk menonton keramaian.

Sambil jalankan keledai perlahan2, rupa2 pikiran ber-kelebat2 dalam otak si nona. "Mungkin sekali Koen loen Sam seng tak mempunyai kepandaian berarti, sehingga aku tak bakal menyaksikan keramaian, yang menarik nati," pikirnya.

"Ah jika di antara mereka terdapat orang2 yang memiliki kepandaian kira2 seperti kakek, ayah, ibu atau Yo Toa koo, peritiwa Sam seng mengacau Siauw lim sie barulah sedap ditonton."

Mengingat Yo Ko, hatinya lantas saji berduka. Selama tiga tanun, ia telah menjelajahi berbagai tempat, tapi selalu menubruk angin. Ciong lim -san Kuburan Mayat Hidup sunyi-senyap, dilembah Ban hoa kok hanya terdapat rontokan laksaan bunga, Coat ceng kok hanya penuh dengan tampukan puing, sedang di Hong leng touw pun, ia tidak bisa menemukan tapak2 Yo Ko dan Siauw Long Lie. Ia menghela napas ber-ulang2 dan berkata dalam hatinya.

"Andaikata, kubisa bertemu dengan dia nya, apa artinya pertemuan itu ? Bukan kah akan