Pedang Langit & Golok Pembunuh Naga
Bab 1

MUSIM semi gembira-ria, Setiap peringatan Han-sit, Bunga Lee-hoa mekar semua. Sutera putih licin, Bau harum bertebaran, Pohon2 bagaikan giok, Tertutup salju berhamburan.

Malam yang sunyi,Sinar yang mengambang,Cahaya, yang dingin.

Diantara bumi dan langit, Sinar perak menyelimuti semesta alam.

Ah, dia bagaikan Dewi dari gunung Kouwsia, Bakatnya cerdas dan suci, Wataknya agung dan murni.

Laksaan sari bunga besar kecil tak ketentuan, Tapi siapa berani mengatakan, dia tak berendeng dengan bunga2 kenamaan? Jiwanya gagah, Kepintarannya berlimpah2, Sesudah rontok, semua sama. Maka itu, dia pulang kekeraton langit' Guna melihat keindahan nan ABADI.

Sajak diatas sajak "Boe siok liam" (Cita2 hidup bebas dari segala keduniawian), adalah buah kalam seorang ahli silat ternama dijaman Lan-song (kerajaan Song Selatan). Orang itu she Khoe bernama Cie Kie (Kee) bergelar Tiang coen coe, salah seorang dari Coan cin Cin Cit coe (Tujah Coe dari agama Coan cin kauw)

Dalam sajak itu Khoe Cie Kie bicara tentang bunga Leehoa. Tapi sebenarnya, dalam melukiskan keagangan bunga Leehoa, is ingin memberi pujian kepada seorang wanita cantik yang mengenakan pakaian serba putih. la membandingkan wanita itu seperti "Dewi dari gunung Kouw sia, bakatnya cerdas dan suci, wataknya agung dan murni." Ia memujinya sebagai manusia yang "jiwanya gagah kepintarannya ber-limpah2."

Siapakah wanita yang mendapat pujian sedemikian tinggi dari seorang, beribadat yang berilmu itu ?

Ia adalah Siauw Liong Lie, seorang jago betina parte Kouw bok pay (parte Kuburan tua). Ia suka mengenakan pakaian serba putih, sehingga se-olah2 pohon giok yang tertutup salju Dengan sifat2nya yang bersih dingin is se-akan2 sinar rembulan yang menyelimuti semesta alam dengan sinarnya yg teduh dan dingin.

Waktu masih berdiam di Ciong Lan Sam Siauw Liong Lie pernah jadi tetangga Kho Cie Kie dan sesudah melihat gadis itu yang elok luar biasa. Cie Kie segera menulis sajak "Boe siok-liam" untuk memujinya.

Tapi sekarang Kho Cie Kie sudah lama meninggal dunia, sedang Siauw Liong Lie pun sudah menikah dengan Sintiauw Tayhiap Yo Ko.

Akan tetapi, pada suatu hari, dijalanan gunung Siauw sit san, di propinsi Holam, terlihat seorang gadis remaja yang sedang berjalan sambil menundukkan kepada dan menghafal sajak "Boe siokliam."

Gadis itu, yang berusia kira-kira delapan belas tahun dam mengenakan pakaian warna kuning menunggang seekor keledai kurus. Perlahan-lahan binatang itu mendaki jalanan gunung yang sempit. Sambil termenung2 diatas tunggangannya, sinona berkata dalam hatinya.

"Ya ! Memang juga, hanyalah seorang seperti Liong Cie-cie yang pantas menjadi isteri dia."

"Dia" adalah Sintiauw Tayhiap Yo Ko.

Keledai berjalan terus, perlahan-lahan. Si nona menghela papas dan berkata dengan suara perlahan.

"Berkumpul gembira, berpisahan menderita......"

Gadis tersebut, yang berpakaian sederhana dan yang pada pinggangnya tergantung sebatang pedang pendek, berjalan dengan paras muka tenang, sehingga dengan muka sekelebatan saja, orang bisa menebak, bahwa ia adalah seorang yang sadah biasa berkelana dalam dunia Kang-ouw. Ia berada dalam usia remaja, usia riang gembira. Menurut akuran biasa, dalam usia belasan, pemuda atau pemudi tak mengenal apa yang dinamakan penderitaan atau kedukaan. Akan tetapi, nona itu berada di luar dari ukuran biasa. Pada paras mukanya yang cantik bagaikan sekuntum bunga mawar, terlihat sinar yang guram. Alisnya berkerut, seolah-olah serupa pikiran berat sedang menindih hatinya.

Nona itu she Kwee bernama siang, puteri ke dua dari Tayhiap Kwee Ceng dan Liehiap Oey Yong. Dalam dunia Rimba Persilatan, ia di juluki sebagai "Siauw-tong-sia" (si Sesat kecil dari Timur). Dengan seekor keledai dan sebatang pedang, ia berkelana untuk menghilangkan kedukaan. Tapi diluar dugaan semakin jauh ia berkelana mendaki gunung2 yang indah dan sunyi semakin besar kedukaannya.

Jalan kecil itu, dibuat atas perintah Kaizar Kocong dari kerajaan Tong, untuk memudahkan lalu lintas kekuil Siau-lim-sie. Sesudah berjalan beberapa lama, Kwee Siang melihat lima buah air terjun digunung seberang dan dibelakang sebuah tikungan, apat2 terlihat tembok dap genteng dari se buah kuil yang besar luar biasa.

Sambil mengawasi bangunan2 yang berderet, si nona berkata dalam hatinya. "Semenjak dulu Siauw lim sie dikenal sebagai pusat pelajaran ilmu silat. Tapi mengapa, selama dua kali diadakan pertandingan di puncak gunung Hwa-san, diantara lima jago utama tidak terdapat orang yang berkepandaian Cukup tinggi? Atau apakah, karena sudah memiliki ilmu yang sangat tinggi, mereka sung kan mencampuri segala pergaulan didalam dunia?"

Sambil berpikir, ia mendekati kuil itu. Ia turun dari tunggangannya dan menuju ke pintu kelenteng. Ia melewati pohon2 itu yang berdiri sejumlah pay batu yang sebagian besar sudah rusak, sehingga hurup2nya tak dapat dibaca lagi.

Si nona menghela napas. "Ah ! Huruf2 yang terpahat di pay batu sudah hampir tak terbaca karena lamanya tempo, tapi mengapa, huruf2 yang terukir dalam hatiku, semakin lama jadi semakin tegas ?" katanya didalam hati.

Dalam saat, ia berpapasan dengan sebuah pay batu yang sangat besar dengan hurufnya yang masih dapat di baca. Pay itu ternyata hadiah Kaizar Tong-thay-tong sebagai pujian untuk jasa-jasanya para pendeta Siauw-lim-Sie

Menurut catatan sejarah, pada waktu masih jadi Raja muda Cin-ong, Tong-thay-cong pernah membawa tentara untuk menghukum Ong Sie Oen. Dalam peperangan itu, bajak pendeta siauw-lim-sie memberi bantuan dan yang paling terkenal berjumlah tiga belas orang. Antara mereka itu, hanya seorang she Tham yang suka menerima pangkat jenderal sedang yang lainnya, sesudan peperangan selesai, lantas meminta diri. Tong-thay-cong tak dapat menahan mereka dan sebagai pernyataan terima kasih kepada setiap orang, ia menghadiahkan satu jubah pertapaan yang sangat indah.

"Pada jaman antara kerajaan Soe dan Tong ilmu silat Siau Lim sie sudah tersohor dikolong langit," kata Kwee Siang didalam hati.

"Selama beberapa ratus tahun, ilmu silat itu tentu sudah memperoleh banyak kemajuan. tahu berapa banyak orang yang berilmu bersembunyi dalam kuil yang besar ini?"

Selagi dia melamun dibelakang pohon, tiba2 terdengar suara berkerincingnya rantai besi, disusul dengan suara seseorang yang sedang menghafal Hoed keng (Kitab Suci agama Budha. ). Antara perkataan2 yang di hafal ia menangkap kata2 seperti berikut.

"... Dari cinta timbul ke jengkelan, dari cinta timbul ketakutan. Jika seseorang menyingkirkan diri dari cinta, ia terbebas dari kejengkelan dan ketakutan."

Jantung si nona memukul keras. Ia bengong mengulangi kata2 itu. "Dari cinta timbul ke jengkelan dan ketakutan. Jika seseorang menyingkirkan diri dari cinta, ia terbebas dari kejengkelan dan ketakutan."

Dilain saat, suara kerincingan rantai besi dan suara pembacaan Kitab Suci sudah jadi semakin jauh.

"Aku mesti tanya dia," kata si nona dalam hati. "Aku mesti tanya, bagaimana seseorang bisa menyingkir dari cinta, bisa terbebas dari kejengkelan dan ketakutan". Buru2 ia mengikat tali les keledai disatu pohon dan lalu mengubar kearah suara itu.

Ternyata, dibelakang pohon2 terdapat satu jalan kecil yang menanjak keatas dari seorang pendeta yang memikul dua tahang besar sedang naik ditanjakan itu.

Dengan cepat Kwee Siang mengudak dan waktu berada dalam jarak belasan tombak dari si pendeta, tiba2 terkesiap. la mendapat kenyataan, bahwa yang dipikulnya sepasang tabang besi yang tiga kali lipat lebih besar dari tahang biasa. Yang mengejutkan ialah, dileher, di tangan dan dikaki sipendeta dilibatikan rantai besi yang besar, sehingga menimbulkan suara berkerincingan. Berat kedua tahang besi itu ratusan kati dan ditambah dengan air dapat dibayangkan betapa beratnya.

".. Toah hweeshio (pendeta besar) "teriak si nona. "Berhenti dulu ! Aku ingin bertanya."

Si pendeta menengok, mereka saling memandang. Pendeta itu ternyata Kak-wan yang pada tiga tahun berselang pernah bertemu Kwee Siang di puncak ganung Hwa-san.

Si Nona tahu, biarpun pendeta itu agak tolol, ia memiliki Lweekang yang sangat tinggi, yang tak kalah dari siapapun juga. "Ah! Kukira siapa," katanya. "Tak tahunya Kak kwan Taysoe. Mengapa kau jadi begini ?"

Kak kwan manggut kan kepalanya sambil tersenyum dan merangkapkan kedua tangannya, tapi ia tak menjawab pertanyaan si nona. Lalu ia memutar badan dan berjalan pula.

"Kak Wan Taysoe !" teriak Kwee Siang. "Apakah tidak mengenal aku ? Aku Kwee Siang!"

Kak wan kembali menengok, ia tertawa dan memanggut2kan kepala, tapi kakinya bertindak terus.

"Siapa yang mengikat kau dengan rantai?" tanya sinona. "Siapa yang menghina kau?"

Sambil berjalan terus Kak wan menggoyang2 tangan kirinya dibelakang kepala, sebagai isyarat supaya sinona jangan terlalu melit.

Kwee Siang jadi semakin heran. Mana ia bisa puas dengan begitu saja? Ia segera mengudak untuk mencegat pendeta yang aneh itu, tapi diluar dugaan, sesudah mengubar beberapa lama, Kak wan yang dilibat rantai dan memikul tahang, masih tetap berada disebelah depan. sinona jadi jengkel. Ia mengempos semangat dan mengudak dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan. Bagaikan seekor walet tubuhnya yang langsing melesat kedepan dan satu tangannya coba menjambret sebuah tahang.

Menurut perhitungan, jambretan itu tak akan melesat. Tapi diluar dugaan, tangan Kwee Siang jatuh ditempat kosong, hanya kacek dua dim dari tahang itu.

"Toahweeshio ! Lihay benar kau !" teriaknya. "Lihatlah! Biar bagaimanapun juga aku akan menyandak kau."

Jalanan semakin menanjak,kebelakang gunung. Dengan tenang Kak Wan percepat tindakannya, sehingga berkerincingnya rantai jadi semakin ramai. Si ubar dengan sekuat tenaga, nafasnya tersengal2, tapi ia terpisah kurang lebih setombak dari pendeta ltu. Ia kagumi bukan main dan berkata dalam hatinya : "Diatas gunung Hwa-san, ayah dan ibu pernah mengatakan, bahwa hweeshio ini memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Waktu itu aka masih percaya. Sekarang baru terbukti, perkataan ayah dan ibu adalah benar."

Tak lama kemudian merekapun tiba didepan sebuah rumah kecil dan Kak Wan sagera pergi kebelakang dam menuang air kedua tahang itu kedalam sumur. Kwee siang jadi lebih heran.

"Toa hweeshio, apa kau sudah gila? " tanyanya. "Mengapa kau menuang air kedalam sumur?"

Paras muka sipendeta tetap tenang. Ia hanya tersenyum.

Mendadak Kwee siang tertawa nyaring. " Ah! Kutahu sekarang," katanya. "Kau sedang melatih ilmu silat bukan ?"

Kak Wan kembali meng-geleng2kan kepala. Sinona jadi mendongkol.

"Kau seorang gagu, barusan aku mendengar kau menghafal Kitab Suci." katanya. "Mengapa kau tak mau menjawab pertanyaanku ?"

Si pendeta merangkap kedua tangannya, Sedang dilihat dari paras mukanya, ia seperti ingin meminta maaf. Tapi ia tetap membungkam dan sesudah mengangkat kedua tahangnya, ia lalu turun di jalanan tadi.

Kwee siang melongok sumur itu. Ia hanya melihat air yang bening dan merasakan hawa yang dingin. Tiada apapun yang luar biasa.

Ia berdiri bengong dan hati bimbang mengawasi bayangan Kak wan yang semakin lama jadi semakin jauh. Sesudah menguber mati matian, ia merasa letih dan lalu duduk dipinggir sumur sambii memandang keadaan diseputarnya. Ia berada ditempat yang lebih tinggi dari pada kuil Siauw liem sie. Di pandang dari jauh kuil itu, angker dan indah. Ia mendongak dan memandang puncak. yang menjulang kelangit dan berderet2 bagaikan sekosol, sedang di bawah puncak2 itu terdapat awan putih yang mengambang kian kemari. Di lain saat, sayu sayu kupingnya mendengar suara lonceng di kuil yang dibawa keatas olen tiupan angin. Dalam keadaan begitu, ia merasa berada di suatu tempat suci yang jauh dari keduniawian.

"Kemana perginya murid si pendeta itu?" tanyanya didalam hati. "Kalau dia sendiri tak mau bicara, biar kucari itu."

Perlahan lahan ia turun gunung untuk mencari Thio Koen Po, murid Kak wan. Sesudah berjalan beberapa lama, ia kembali mendengar suara berkerincingnya rantai besi dan jauh-jauh Kak wan kelihatan mendatangi sambil memikul dua tahang besinya. Kwee siang baru baru melompat dan menyembunyikan diri di belakang pohon. "Biarlah aku intip padanya." pikirnya,

"Permainan gila apa yang tengah dilakukannya?"

Tak lama kemudian, Kak wan sudah tiba di tempat bersembunyinya. Kwee Siang yg mendapat kenyataan, bahwa sambil berjalan pendeta itu membaca sejilid buku dengan penuh perhatian.

Mendadak ia melompat dan berteriak. " Toah wee shio, buku apa yang di baca olehmu ?"

"Aduh ! Kaget benar aku !" teriak sipendeta tanpa merasa. "Nakal sungguh kau!"

Si nona tertawa geli. "Toa hwee shio, mengapa tadi kau berlagak gagu ?" tanyanya dengan dada mangejek,

Muka pendeta itu lantas saja berubah pucat, seperti orang ketakutan. Ia menegok ke Kiri kanan dan menggoyang-goyangkan tangannya.

"Apa yang di takuti olehmu ?" tanya pula Kwee Siang dengan perasaan heran.

Sebelum Kak wan keburu menjawab, dari dalam hutan mendadak muncul dua orang pendeta yang mengenakan jubah kuning.

"Kak wan!" bentak sipendeta yang jalan didepan. "Hm! Kau berani bicara dan melanggar larangan kami ? Hm! Kau berani bicara dengan seorang luar. Apa pula demang seorang wanita. Sekarang kau harus menghadap pada tetua Kayloet tong (dewan per udang-undangan dari kalangan Buddha)."

Kak wan kelihatan berduka. Ia menunduk dan mengguk, akan kemudian berjalan mengikuti dibelakang kedua pendeta itu.

Kwee Siang lantas saja naik darahnya "Hai ! Dikolong langit mama ada aturan tak boleh bicara ?" bentaknya. "Aku bicara dengan Tay soe itu, karena aku mengenalnya. Ada sangkut paut apakah dengan kau berdua ?"

Pendeta yang bertubuh jangkung melotot matanya. "Semenjak ribuan tahun, seorang wanita belum pernah dipermisikan masuk kedalam daerah Siauw lim sie." katanya. "Lebih baik nona cepat-capat turun gunung supaya tidak menghadapi kesukaran."

Si nona jadi semakin gusar. "Eh, kalau wanita masuk disini, mau apa kau?" bentaknya.

"Apa perempuan tak sama dengan lelaki? Mengapa kamu menyusahkan Kak wan Taysoe? Sesudah mengikatnya dengan rantai besi, kau mengeluarkan larangan gila-gila."

Si jangkung mengeluarkan suara dihidung "Kaizar sendiri tak pernah mencampuri urusan dalam