BAB 1. JIK - LIAN - SIN - CIANG --- Part 2
Lip-ting berdiri, baru saja ia hendak ke dalam, ternyata Liok-toanio sudah berada di luar ruangan katanya segera sambil mengerut alis: Lip-ting, kedua bocah itu harus kita sembunyi-kan

Kedua bocah itupun masuk hitungan," kata Liok Lip-ting sambil menuding tapak tangan di atas dinding, "Iblis itu sudah memberikan tanda darah ini, sampai ke ujung langitpun kau tidak akan lolos dari kekejamannya."

Dengan termangu Liok-toanio mengamati ke sembilan tapak tangan darah di dinding itu, tapak-tapak tangan itu se-olah2 semakin besar, semakin merah dan seakan-akan menubruk ke arahnya, tan-pa terasa ia menjerit kaget dan memegangi sandaran kursi, katanya: "Kenapa ada sembilan tapak tangan, keluarga kita kan hanya tujuh orang." Sehabis berkata kaki tangan sudah terasa lemas tak bertenaga, dengan terlongong ia awasi suaminya, hampir saja ia mengucurkan air mata,

Lekas Liok Lip-ting memegang lengannya, dan berkata: "Isteriku, bencana sudah di depan mata, takut pun tiada gunanya. Dua tapak teratas ditujukan kepada ayah-ibu, dua di bawahnya terang untuk kita berdua. Dua lagi di baris ketiga ditujukan kepada Bu-siang dan Thia Eng, tiga yang lain adalah A Kin dan dua pelayan lain, Hehehe, inilah yang dinamakan banjir darah dalam keluarga, ayam, anjing tidak ketinggalan."

Bergidik Liok-toanio dibuatnya mendengar kata2 suaminya, "Ayah dan ibu ?" ia menegas tak mengerti

"Akupun tidak tahu ada permusuhan apa antara gembong iblis ini dengan ayah dan ibu. Ayah bunda lama wafat, dia suruh orang membongkar kuburan dan mengeluarkan jenazah mereka, mungkin setiap orang harus menerima sekali pukulan baru dianggap selesai membalas sakit hati."

"Kau kira orang gila itu adalah utusannya ?

"Sudah tentu."

Baru mereka bicara dilihatnya A Kin berlari masuk dengan ber-sungut2, katanya: "Siauya, pintu besar kita entah kenapa tidak bisa dibuka, seperti terpantek dari luar".

Berubah air muka Liok Lip-ting berdua, lekas mereka memburu keluar, tertampak daun pintu yang bercat hitam itu masih tertutup rapat Ke-dua tangan Liok Lip-ting terukir menangkap gelang tembaga pintu dan ditariknya ke belakang, terdengarlah suara berkereyot, daun pintu hanya bergoyang sedikit, namun tidak dapat dibukanya, Liok-hujin memberi isyarat, segera ia melompat ke atas tembok, di luar sunyi senyap tidak kelihatan bayangan manusia. Sambil melintangkan pedang ia lompat turun keluar pintu, seketika alisnya berdiri, makinya: "Terlalu menghina orang !"

Ternyata daun pintu itu sudah terpantek oleh dua batang besi panjang yang di paku di atas daun pintu, Di atas batang besi itu tergantung secarik kain yang berlepotan darah, kelihatannya amat mengerikan.

Waktu itu Liok Lip-ting pun sudah menyusul keluar, melihat palang besi dan kain belacu (tanda duka cita), ia tahu musuh semakin mendesak dalam dua jam mendatang, pasti gembong iblis itu akan menurunkan tangan jahatnya. ia tertegun sebentar, rasa gusarnya mulai menipis, katanya: "Niocu (isteriku), kalau seluruh keluarga Liok kita hari ini harus mati bersama, biarlah kita mati tanpa merendahkan pamor ayah bunda."

Liok-toanio manggut2, saking haru suaranya tertelan dalam tenggorokannya,

Mereka melompati tembok kembali ke dalam rumah langsung menuju ke belakang, tiba2 terdengar sesuatu suara di atas tembok sebelah timur, kiranya di atas sana ada orang, Liok-Lip-ting memburu ke depan menghadang di depan isterinya, waktu ia angkat kepala, dilihatnya di atas tembok sedang duduk seorang anak laki2, rambut kepalanya dikuncir dua menegang, bocah itu sedang memetik kembang di atas pohon, Lalu terdengar orang berteriak di sebelah bawah: "Awas lho, jangan sampai terjatuh !" kiranya Thia Eng, Liok Bu-siang dan seorang anak laki2 lain sedang menunggu di kaki tembok sana, Liok Lip-ting berpikir: "Kedua bocah ini minta menginap di rumah-ku, kenapa begini nakal ?"

Anak laki2 di atas tembok itu sedang memetik sekuntum bunga, Liok Bu-siang segera berteriak: "Nah, berikan padaku, berikan kepadaku !"

Anak laki2 itu tertawa, ia melempar bunga itu ke arah Thia Eng, lekas Thia Eng ulur tangan menangkapnya, lalu diangsurkan kepada sang Piau-moay, Tapi Liok Bu-siang naik pitam, ia meraih kembang itu terus dibanting dan di-injak2.

Melihat ke empat bocah ini bermain dengan riang gembira, sedikitpun tidak tahu bencana besar yang bakal menimpa mereka sekeluarga, Liok Lip-ting suami istri menghela napas, mereka masuk ke dalam kamar.

"Piaumoay, kenapa kau marah ?" bujuk Thia Eng.

Liok Bu-siang merengut, katanya: "Aku tidak sudi, aku sendiri bisa memetik !" - sekali kaki kanannya menutul tanah, badannya melejit ke atas serta meraih akar rotan yang merambat di atas tembok, sekali meminjam tenaga, seketika badannya melambung ke atas pula beberapa kaki lalu melayang ke arah sebatang dahan pohon,

Anak laki-laki di atas tembok itu bersorak gembira, teriaknya: "Lekas kemari!"

Kedua tangan Liok Bu-siang menarik dahan pohon, di tengah udara ia jumpalitan dua kali, badannya mendadak melambung ke tengah udara, terus menubruk ke atas tembok."

Dinilai dari Ginkangnya, apa yang Bu-siang lakukan sekarang boleh dikata sangat berbahaya namun hatinya sedang panas dan dongkol kepada si anak laki2 yang melempar bunga kepada Piau-cinya tadi, memang sifat pembawaan anak perempuan ini suka menangnya sendiri, maka tanpa hiraukan keselamatan dirinya ia telah main lompat di tengah udara.

Anak laki2 itu menjadi kaget, teriaknya memperingatkan: "Awas ! Hati2! - segera ia ulur tangan hendak menangkap tangan Bu-siang.

Kalau dia tidak mengulurkan tangan, Liok Bu-siang sebetulnya bisa mencapai pagar tembok tapi ketika melihat anak laki-laki itu hendak menarik dirinya, segera ia menghardik: "Minggir" - badanpun menyingkir ke samping hendak menghindari tarikan tangan orang, Kepandaian jumpalitan ditengah udara adalah ilmu Ginkang tingkat tinggi, walau dia pernah melihat ayah bundanya memainkannya, dia sendiri belum pernah mempelajarinya, dengan sedikit berkisar itu, jari2-nya sudah tidak dapat meraih tembok, ditengah teriakan kagetnya, badannya langsung jatuh ke bawah,

Melihat Bu-siang jatuh, anak laki-laki yang berada di kaki tembok segera memburu maju dan ulur tangan memeluk badannya. Tapi tembok itu setinggi beberapa tombak, meski badan Bu-siang kecil, tenaga luncuran setinggi ,itu jelas amat berat, meski anak laki2 itu berhasil memeluk pinggangnya, tak tertahan keduanya terbanting jatuh dengan keras. Terdengarlah suara "krak", tulang kaki kiri Liok Bu-siang "patah, demikian pula jidat anak laki-laki itu kebentur batu runcing, darah mengucur keluar,

Thia Eng dan anak laki2 di atas tembok itu memburu maju untuk menolong. Anak laki2 itu merangkak bangun sambil mendekap jidatnya yang bocor, sementara Liok Bu-siang jatuh semaput. Sambil memeluk Piaumoaynya Thia Eng segera berteriak: "lh-tio, Ah-i (paman, bibi), lekas datang !"

Mendengar teriakannya, Liok-toanio segera memburu keluar, tiba2 terasa di atas kepalanya angin kencang menyamber, sesuatu benda berat menindih kepalanya Sebat sekali Liok-toanio berkelit ke samping, dilihatnya yang dilempar ke arahnya itu ternyata mayat seseorang. Tak sempat membawa goloknya segera ia melompat ke wuwungan rumah, belum lagi ia berdiri tegak, dua sosok mayat tahu2 dilempar pula memapak mukanya, ketika Liok-toanio membungkukkan tubuh, tahu2 kedua lututnya menjadi lemas dan tidak kuasa berdiri tegak, kontan ia terjungkal jatuh ke pelataran.

Kebetulan Liok Lip-ting sedang memburu keluar, melihat Liok-toanio terjungkal jatuh dari atas, segera ia melompat ke depan dengan ilmu Ginkang yang dia yakinkan selama berpuluh tahun, meski jaraknya masih tiga tombak jauhnya, namun sekali lompat badannya melesat seperti anak panah, telapak tangannya sempat menyanggah punggung istrinya, Karena tenaga sanggahan ini badan Liok-toanio terlempar naik, diwaktu meluncur turun pula, Liok Lip-ting dengan ringan dapat menurunkan badan istrinya di atas tanah.

Tak sempat menanyai keadaan istrinya, sekilas dilihatnya tidak apa-apa, segera ia melompat ke atas rumah, matanya menjelajah sekelilingnya, tertampak bulan sabit tergantung tinggi di cakrawala, angin menghembus sepoi2, namun tidak kelihatan bayangan seorangpun Liok Lip-ting segera kembangkan Ginkang, dalam sekejap saja ia sudah meronda keadaan rumahnya satu keliling, namun tidak menemukan apa-apa, segera ia melompat turun ke bawah pelataran dan masuk ke dalam rumah.

Di situ terlihat seorang nyonya pertengahan umur sedang membopong Liok Bu-siang dan anak laki-laki tadi masuk ke ruang tengah, tanpa menghiraukan kucuran darah anak laki-laki itu, si nyonya berusaha menyambung dulu tulang kaki Liok Bu-siang yang patah.

Liok Lip-ting semula mengira puterinya sudah dicelakai orang, kini melihat hanya tulang kaki yang patah, hatinya rada lega, tanyanya kepada istrinya: "Kau tidak apa-apa bukan ?"

Liok-toanio menggeleng kepala, ia sobek lengan baju untuk membalut jidat anak laki2 itu yang terluka, ingin dia memeriksa luka kaki puterinya, tak terduga baru saja melangkah, kaki sendiri terasa linu lemas, tanpa kuasa ia jatuh terduduk.

Nyonya pertengahan umur itu menutuk Hiat-to Pek-hay-hiat dan Hwi-tiong-hiat dikedua paha Liok Bu-siang untuk menghilangkan rasa sakit, lalu kedua tangan menekan pada kedua sisi tulang yang patah untuk menyambungnya.

Melihat gerak-gerik orang yang cekatan, ilmu tutuknya terang tingkat tinggi, makin curigalah Liok Lip-ting, serunya: "Siapakah Toanio ini ? Ada petunjuk apa berkunjung ke sini ?"

Nyonya itu tumplek seluruh perhatian untuk menyambung tulang kaki Liok Bu-siang yang patah, sedikitpun tidak menghiraukan pertanyaannya, Diam-diam Liok Lip-ting perhatikan tangan kiri orang yang memegangi kaki puterinya, sementara tangan kanan diangkat dan berputar setengah lingkaran terus menutuk turun pelan-pelan, itulah gerakan It-yang-ci yang menurut cerita ayahnya merupakan kepandaian khas musuh besarnya, maka tanpa ragu2 lagi, kedua telapak tangan Liok Lip-ting terus menghantam ke punggung orang.

Mendengar deru angin dari belakang, tangan kanan nyonya itu tetap menutuk Pek-hay-hiat Liok Bu-siang, telapak tangan lain menepuk balik ke belakang menangkis pukulan Liok Lip-ting. Kontan Liok Lip-ting merasakan tenaga dahsyat mendorong ke arah dirinya, seketika dada terasa sesak, tanpa kuasa ia tergentak mundur dua langkah.

Karena menggunakan telapak tangan kiri sehingga si nyonya tidak dapat memegangi sebelah kaki Liok Bu-siang, maka telunjuk jarinya yang menutuk turun itu ikut tergetar miring, tulang kaki Liok Bu-siang yang patah itu kembali lepas, sekali menjerit seketika anak dara itu jatuh pingsan lagi.

Pada saat itulah dari atas genteng terdengar suara tertawa seorang, serunya: "Aku hanya membunuh sembilan jiwa keluarga Liok, orang luar harap segera keluar!"

Waktu Liok Lip-ting angkat kepala, dilihatnya di atap genteng berdiri seorang Tokoh, di bawah cahaya bulan yang remang2, jelas kelihatan parasnya yang elok, berusia delapan atau sembilan belas, kulitnya putih halus, sikapnya garang, di punggungnya terselip sepasang pedang.

Liok tip-ting segera berseru lantang: "Aku inilah Liqk Ljp-ting, apa Toyu datang dari Jik-lian-to ?"

Si Tokoh mendengus: "Baik sekali kalau sudah tahu, lekas kau bunuh isteri dan puteri serta semua pembantumu, lalu kau bunuh diri pula supaya aku tidak perlu turun tangan !" - sikapnya congkak, kata2-nya pedas, sedikitpun tidak pandang sebelah mata pada tuan rumah,

Meski Liok Lip-ting tidak pernah angkat nama di kalangan Kangouw, betapapun dia keturunan seorang pendekar besar, mana mandah dihina di hadapan orang luar, segera ia memburu keluar dan melompat ke atas seraya membentak: "Biar kau kenal dulu kelihayanku !"

Sikap si Tokoh acuh tak acuh, disaat kedua kaki Liok Lip-ting hampir menginjak genteng, badan masih terapung di udara, mendadak kedua pedangnya bergerak laksana bianglala, tahu-tahu sinar pedang lawan itu sudah mengurung seluruh badannya, serangan kedua pedang ini amat lihay dan hebat sekali, meski ilmu silat Liok Lip-ting amat tinggi, betapapun dia kurang pengalaman menghadapi musuh tangguh, tahu2 hawa pedang musuh yang dingin itu sudah menyamber lehernya, dalam keadaan begitu jelas dia tidak akan mampu menangkis atau menyelamatkan diri, terpaksa ia pejamkan mata menunggu ajak

"Trang," tiba2 seseorang telah menangkiskan pedang yang menyerang lehernya itu, waktu Lip-ting membuka mata, dilihatnya nyonya setengah umur tadi sedang menempur si Tokoh dengan bergaman sebatang pedang panjang,

Nyonya itu berpakaian warna abu2, sementara Tokoh muda itu mengenakan jubah kuning, tertampak bayangan abu2 dan kuning saling berputar menari di bawah cahaya bulan diselingi samberan sinar kemilau yang berhawa ,dingin, sedemikian sengit pertempuran itu, namun tidak terdengar suara benturan kedua senjata masing2.

Betapapun Liok Lip-ting keturunan keluarga persilatan, meski gerak-gerik kedua orang yang bertempur itu amat cepat, setiap jurus dan tipu serangan kedua pihak dapat diikutinya dengan jelas, Tertampak Tokoh itu menyerang dan menjaga diri dengan rapat, ganti-berganti ia mainkan ilmu pedangnya yang hebat, sebaliknya si Nyonya melayaninya dengan tenang dan mantap, setiap kesempatan pasti tidak disia-siakan untuk melancarkan serangan yang mematikan.

Se-konyong2 terdengar "tring", dua pedang beradu, pedang di tangan kiri si Tokoh mencelat terbang ke udara, Sebat sekali ia melompat mundur keluar dari arena pertempuran, mukanya yang putih halus bersemu merah, matanya mendelik gusar, bentaknya: "Aku mendapat perintah guru untuk membunuh habis keluarga Liok, apa sangkut pautnya dengan kau ?"

Nyonya itu menjengek dingin: "Kalau gurumu berani dan punya kepandaian, seharusnya dia mencari Liok Tian-goan sendiri, kini dia sudah mati, tapi gurumu tidak tahu malu mencari perkara kepada keturunannya ?"

Si Tokoh kebutkan lengan bajunya, tiga batang jarum menyamber, dua batang menyamber si nyonya, jarum ketiga ternyata menyerang Liok Lip-ting yang berdiri di pekarangan serangan mendadak dan cepat lagi, lekas si nyonya ayunkan pedangnya menangkis, terdengar Liok Lip-ting menggerung gusar, dua jarinya dapat menjepit batang jarum yang menyerang tenggorokannya itu.

Si Tokoh tersenyum dingin, dengan tangkas ia jumpalitan terus keluar, tiba2 terdengar suitan panjang di kejauhan sana, dalam sekejap saja dia sudah berlari puluhan tombak jauhnya.

Melihat Ginkang orang begitu hebat, nyonya itupun rada tercengang, lekas