BAB 1. TAMU ANEH DITENGAH MALAM. --- Part 2

mengejek aku, kau telah menyiksa diriku sedemikian."

Habis menggumam, tiba-tiba ia ingat sesuatu, ia memandang Bu-siang pula dengan teliti, lalu memandang Thia Eng, kemudian berkata: "Tidak, tidak kau bukan dia, kau masih kecil Pernah apa Ho Wan-kun dengan kalian ? Mengapa kalian sedemikian mirip dia ?"

Usia Thia Eng dan Bu-siang memang sebaya, tapi gerak-gerik mereka dan sifat masing-masing boleh dikatakan berlawanan sama sekali, wajah merekapun tidak sama. Kalau raut muka Thia Eng berbentuk bulat telur, kulit badannya putih mulus, sedangkan muka Bu-siang berbentuk daun sirih, kulitnya hitam manis, meski usianya lebih muda setengah tahun, tapi perawakannya ramping semampai sehingga lebih tinggi daripada sang Piauci malah.

Karena merasa bingung atas ucapan si kakek tadi, Bu-siang lantas menanggapi: "Aku tidak tahu siapa yang kau tanyakan, cuma aku dan Piauci sama sekali tidak mirip, mana bisa menyerupai seseorang ?"

Kakek itu mengamat-amati pula kedua anak dara itu, mendadak ia mengetok kepalanya sendiri dan berkata: "Ya, aku benar-benar goblok Kau she Liok bukan ?"

"Ya, darimana kau mendapat tahu ?" jawab Bu-siang.

Orang tua itu tidak menjawab, ia bertanya pula: "Kakekmu bernama Liok Tian-goan bukan?" "Benar," jawab Bu-siang sambil mengangguk

Untuk sejenak kakek itu termenung, sekonyong-konyong ia pegang bahu Thia Eng terus diangkat tinggi-tinggi ke atas, katanya dengan suara halus: "Anak dara yang baik, kau she apa ? Cara bagaimana kau memanggil Liok Tian-goan ?"

Kini Thia Eng tidak punya rasa takut lagi, jawabnya: "Aku she Thia, Gwakong (kakek luar) she Liok, ibuku juga she Liok."

"Ya, ya, tahulah aku, Liok Tian-goan dan Ho Wan-kun melahirkan seorang putera dan seorang puteri," kata orang aneh itu. Lalu ia tuding Bu-siang dan melanjutkan: "Puteranya ialah ayah-mu." - Kemudian ia menurunkan Thia Eng dan berkata sambil menudingnya: "Dan puterinya ialah ibumu, Pantas kalian berdua menyerupai Ho Wan-kun separo-separo, yang satu pendiam, yang lain nakal, yang satu welas asih, yang lain kejam." Thia Eng tidak tahu bahwa nenek-luarnya bernama Ho Wan-kun, juga Bu-siang tidak kenal nama neneknya, hanya dalam hati samar-samar ia merasakan si kakek aneh ini pasti mempunyai

Untuk sejenak kakek itu termenung, se-konyong2 "Thia Eng diangkatnya tinggi di atas kepala, katanya dengan suara halus: "Anak dara baik, kau she apa ? Pernah apa kau dengan Liok Tian-goan ?"

hubungan yang erat dengan leluhurnya sendiri, dengan melenggong mereka memandangi kakek aneh itu.

"Mana Gwakongmu ? Maukah kau membawa aku menemuinya ?" kata si kakek pula.

"Gwakong sudah tidak ada lagi," jawab Thia Eng.

"Tidak ada lagi ? Mengapa tidak ada, kami sudah berjanji akan bertemu besok lusa," tukas kakek itu dengan melengak.

"Sudah beberapa bulan Gwakong telah meninggal dunia," jawab Thia Eng. "Lihatlah, bukankah kami berkabung semua ?"

Benar juga si kakek melihat pada kuncir rambut kedua anak dara itu sama terikat oleh pita putih sebagai tanda berkabung, seketika hati si kakek menjadi limbung, ia menggumam sendiri: "Dia telah paksa aku memakai celana wanita selama 40 tahun dan kini dia tinggal pergi begitu saja ? Hm, hm, ketekunan belajarku selama 40 tahun ini jadi cuma sia-sia belaka." - Habis berkata mendadak ia menengadah dan tertawa terbahak-bahak, suara tertawanya berkumandang jauh dan penuh mengandung perasaan sesal dan penasaran yang tak terhingga,

Sementara itu hari sudah dekat magrib, suasana sudah remang-remang. Liok Bu-siang menjadi rada takut, ia tarik lengan baju sang Piauci dan berkata: "Piauci, marilah kita pulang saja !"

Mendadak si kakek berkata pula: "Jika begitu tentu Wan-kun juga sangat berduka dan kesepian, "Eh, anak dara yang baik, bawalah aku menemui nenek-luarmu."

"Tidak ada, nenek-luar juga sudah tidak ada," jawab Thia Eng.

"Apa katamu ?" mendadak kakek itu melonjak tinggi sekali sambil berteriak menggeledek: "Di mana nenek-luarmu ?"

Muka Thia Eng menjadi pucat, jawabnya dengan gemetar: "Nenek juga tidak ... tidak ada, nenek dan kakek meninggal ber... bersama, Kongkong, janganlah kau menakuti aku, ak...aku takut !"

"Dia sudah mati ? jadi dia sudah mati!" mendadak kakek aneh itu memukul-mukul dada sendiri "Tidak, tidak ! Dia belum bertemu dengan aku dan mohon diri padaku, dia pasti tak boleh mati Dia telah berjanji padaku pasti akan bertemu: sekali lagi dengan aku."

Kakek itu berteriak-teriak dan berjingkrak seperti orang gila, mendadak sebelah kakinya menyapu, "krak", sebatang pohon kecil tersapu patah menjadi dua. Memangnya kakek itu sudah angin-anginan, kini dia mengamuk, tampaknya menjadi tambah gila dan menakutkan.

Thia Eng menggandeng tangan Bu-siang dan menyingkir jauh ke sana, mereka ketakutan dan tak berani mendekat.

Si kakek mendadak merangkul sebatang pohon Liu dan digoyang-goyangkan sekuatnya, Tapi pohon Liu itu cukup besar sehingga si kakek tidak mampu membetotnya keluar, ia menjadi murka dan berteriak: "Kau sendiri sudah berjanji, apakah kau telah lupa ? Kau mengatakan akan bertemu lagi dengan aku !" Semakin berteriak, akhirnya suaranya menjadi parau dan masih terus berusaha membetot keluar pohon Liu tadi.

Mendadak ia berjongkok dan mengerahkan segenap tenaganya sambil membentak: "Keluar !" - Namun pohon Liu itu tetap sukar terbetot keluar, sebaliknya tertarik oleh tenaga si kakek yang maha kuat, pohon itu menjadi patah bagian tengah.

Sambil merangkul potongan pohon Liu, kakek itu termangu sejenak, tiba-tiba ia menggumam pula: "Dia sudah meninggal, sudah meninggal !" - Ketika ia ayun potongan pohon itu terus dilemparkan bagaikan payung raksasa saja pohon Liu itu terlempar jauh dan jatuh ke tanah,

Sejenak kemudian air muka si kakek tampak berubah menjadi tenang, dengan ramah ia mendekati Thia Eng berdua dan berkata dengan tersenyum: "Kongkong telah menakuti kalian ya? Di manakah kuburan kakek dan nenekmu ? Coba bawalah aku ke sana."

Bu-siang meremas tangan sang Piauci, maksudnya supaya Thia Eng jangan memberitahukan padanya, Namun dalam hati Thia Eng merasa sangat kasihan kepada kakek aneh itu, tanpa pikir ia terus menuding pada dua pohon besar di kejauhan dan berkata: "Itu, berada di bawah kedua pohon itu !"

Mendadak kakek itu mengempit pula kedua anak dara itu dan dibawa lari ke arah pohon yang ditunjuk tadi. Dia lari lurus ke depan tanpa perduli rintangan apapun, kalau terhalang oleh sungai kecil, sekali lompat saja sungai itu lantas dilintasinya. Biasanya Liok Bu-siang sangat kagum terhadap Ginkang ayah-ibunya jika mengikuti latihan mereka, tapi kini kecepatan berlari si kakek dengan mengempit dua anak dara ternyata jauh terlebih hebat daripada ayah-ibu Bu-siang.

Hanya sekejap saja mereka sudah sampai di bawah kedua pohon besar tadi. Kakek aneh itu melepaskan Thia Eng berdua, lalu berlari ke depan kuburan tertampak dua kuburan berjajar, setiap kuburan terdapat sebuah batu nisan dengan pahatan huruf-huruf yang diberi cat kuning yang kelihatan masih baru. Rumput di atas kuburan juga masih jarang-jarang, suatu tanda kedua kuburan itu memang belum lama didirikan.

Air mata si kakek berlinang-linang sambil memandangi kedua batu nisan kuburan, jelas terbaca tulisan di atas batu-batu nisan itu menyebut kuburan Liok Tian-goan dan isterinya: Ho Wan-kun.

Kakek itu berdiri terpaku di depan kuburan itu sampai sekian lamanya, mendadak pandangannya serasa kabur, kedua batu nisan seperti berubah menjadi dua sosok bayangan manusia, yang satu adalah gadis jelita yang sedang tersenyum manis dan yang lain adalah pemuda tampan romantis.

Dengan mata mendelik si kakek mendadak membentak: "Bagus, celana wanita ini kukembalikan padamu !" - Berbareng ia melangkah "maju, sebelah tangannya menghantam dada pemuda itu.

"Plak", bubuk batu bertaburan pukulannya itu mengenai batu nisan, sedangkan bayangan pemuda telah lenyap,

"Mau lari ke mana ?" bentak pula si kakek, tangan Iain lantas menghantam sekalian, "plak-plak", batu nisan itu sampai rompal sebagian, betapa hebat tenaga pukulan si kakek sungguh luar biasa.

Semakin memukul semakin mengamuk, tenaga pukulannya juga semakin hebat, sampai pukulan ke sembilan, kedua tangannya menghamtam sekaligus, "blang", batu nisan itu patah menjadi dua.

Sambil terbahak-bahak ia berteriak: "Nah, kau sudah mampus sekarang, untuk apa lagi aku memakai celana perempuan?" - Habis itu ia lantas merobek-robek celana wanita bersulam kupu-kupu yang dipakainya sendiri itu hingga hancur, lalu dilemparkan ke atas kuburan, maka tertampaklah celana pendek dari kain belacu yang dipakainya di bagian dalam.

Selagi tertawa terbahak-bahak, mendadak suara tertawanya berhenti, setelah tertegun sejenak, segera ia berteriak pula: "Aku harus melihat mukamu, aku harus melihat mukamu !" - Ketika kedua tangannya menjojoh, serentak kesepuluh jarinya menancap ke dalam kuburan Ho Wan-kun, waktu ia tarik kembali tangannya, dua gumpal tanah ikut tergali keluar.

Begitulah kedua tangan si kakek terus bekerja dengan cepat laksana cangkul saja, tanah bergumpal-gumpal tergali olehnya sehingga sebentar lagi peti mati, pasti akan kelihatan.

Thia Eng dan Bu-siang menjadi ketakutan, tanpa terasa mereka terus putar tubuh dan lari bersama, Karena asyik menggali kuburan, kakek aneh itu tidak memperhatikan kaburnya kedua anak dara itu.

Setelah berlari-lari dan membelok ke sana ke sini beberapa kali dan tidak nampak dikejar si kakek barulah kedua anak dara itu merasa lega. Mereka tidak kenal jalanan di situ, terpaksa bertanya kepada orang kampung, karena itulah sampai hari sudah gelap baru mereka tiba kembali di rumah.

"Wah, celaka, celaka !" Ayah, ibu, lekas kemari ada orang menggali kuburan nenek !" begitulah Bu-siang berteriak sambil berlari menerobos ke dalam rumah, setiba di ruangan tamu, dilihatnya sang ayah sedang bicara dengan tiga orang tamu yang tidak dikenalnya.

Ayah Bu-siang bernama Liok Lip-ting, baik Lwekang maupun Gwakang sudah mencapai tingkatan yang cukup sempurna, hanya sejak kecil kedua orang tua mengawasinya dengan sangat ketat dan melarangnya berkecimpung di dunia Kangouw, maka namanya sama sekali tidak terkenal di dunia persilatan walaupun ilmu silatnya tergolong kelas: tinggi

Pada hari itu dia sedang duduk iseng di ruang tamu dan mengenangkan ayah-bunda yang sudah wafat, tiba-tiba terdengar suara ringkik kuda di luar, tiga penunggang kuda berhenti di halaman luar dan seorang diantaranya lantas berseru: "Wanpwe mohon bertemu dengan Liok-locianpwe!"

Di daerah Kanglam pada umumnya orang jarang naik kuda karena jalanan sempit dan banyak sungai dan kali yang bersimpang siur, maka hati Liok Lip-ting tergerak ketika mendengar suara ringkik kuda tadi, demi mendengar suara seruan, cepat ia memapak keluar, Dilihatnya tiga lelaki baju hijau dengan penuh debu sudah berdiri di luar pintu.

Melihat Liok Lip-ting, ketiga orang itu lantas memberi hormat dan berkata: "Kami datang dari jauh dan mohon bertemu dengan Liok-locianpwe."

Mata Liok Lip-ting menjadi merah, jawabnya: "Sungguh menyesal, ayah sudah wafat tiga bulan yang lalu, Mohon tanya nama tuan-tuan yang terhormat."

Sejak berhadapan tadi sikap ketiga orang sudah kelihatan gelisah dan kuatir, demi mendengar jawaban Liok Lip-ting, air muka mereka menjadi pucat seperti mayat dan saling pandang. dengan melenggong,

Lalu Liok Lip-ting bertanya pula: "Tuan-tuan ingin bertemu dengan ayah, entah ada keperluan apakah ?"

Ketiga orang itu tetap tidak menjawab, seorang diantaranya menghela napas dan menggumam: "Sudahlah, biarlah kita terima nasib saja !"

Mereka lantas memberi hormat pula kepada Liok Lip-ting, lalu hendak mencemplak kuda ma-sing-masing. Tapi seorang diantaranya tiba-tiba berkata: "Liok-locianpwe ternyata sudah wafat, biarlah kita memberi hormat ke depan layonnya."

Liok Lip-ting menyatakan terima kasih dan anggap tidak perlu maksud orang itu, tapi ketiga orang itu memohon pula dengan sangat dan terpaksa Liok Lip-ting menyilakan mereka masuk

Lebih dulu ketiga orang itu mengebut debu di atas tubuh agar bersih, lalu ikut Liok Lip-ting ke ruangan belakang untuk memberi hormat di depan abu layon Liok Tian-goan dan isterinya, Ho Wan-kun. Seperti lazimnya, Liok Lip-ting berlutut di samping meja sembahyang itu untuk membalas hormat.

Selesai menjalankan penghormatan, waktu ketiga orang itu berbangkit, tak tertahankan lagi mereka menangis dengan sedih, Karena tangisan mereka ini, Liok Lip-ting menjadi berduka juga, iapun menangis keras-keras,

Yang bertubuh gemuk pendek di antara ketiga orang itu berkata kepada kawannya yang mengucurkan air mata itu: "Cu-hiante, marilah kita mohon diri kepada tuan rumah !"

Orang she Cu itu mengusap air matanya, ia memberi hormat kepada Liok Lip-ting dan lantas mohon diri.

Melihat gerak-gerik ketiga orang itu tangkas dan gesit, jelas memiliki ilmu silat yang lumayan, entah mengapa datang terburu-buru dan berangkat pula tergesa-gesa, tapi Liok Lip-ting tidak enak untuk bertanya, terpaksa ia mengantar keberangkatan mereka.

Setiba di luar, ketiga orang itu memberi salam perpisahan pula, lalu mencemplak ke atas kuda masing-masing. Ketika orang she Cu itu naik ke atas kudanya lengan baju agak tergulung sedikit sehingga tertampak sebagian lengannya berwarna merah hangus.

Liok Lip-ting terkejut, dilihatnya kedua orang dibagian depan sudah melarikan kudanya, tanpa pikir ia terus melayang ke sana dan menghadang di depan kuda.

Tentu saja kedua ekor kuda itu berjingkrak kaget dan meringkik Syukur kedua orang itu mahir menguasai kudanya sehingga tidak sampai terperosot jatuh,

"Apakah Cu-heng ini terkena Jik-lian-sin-ciang ?" tanya Liok Lip-ting.

Mendengar disebutnya "Jik-lian-sin-ciang" (pukulan sakti ular belang berbisa), pula terlihat gerakan Liok Lip-ting yang hebat. serentak ketiga orang itu melompat turun dari kudanya dan menyembah, kata mereka: "Mata kami benar-benar lamur sehingga tidak kenal kesaktian Liok-tayhiap, mohon Liok-tayhiap sudi menolong jiwa kami."

"Ah, jangan sungkan," jawab Liok Lip-ting sambil membangunkan ketiga orang itu. "Silahkan masuk ke dalam untuk bicara pula."

Begitulah maka Liok Lip-ting lantas menyilakan ketiga tamunya masuk ke rumah