BAB 1. PEMUDA PENGGEMBALA ULAR.

Hari itu mereka tiba di kabupaten Ouwciu, Kwa Tin-ok mengajak Kwe Hu bermalam di rumah seorang petani, maklum sudah tua, gampang capai sehingga tidurnya teramat nyenyak, di luar tahunya pagi-pagi benar Kwe Hu sudah membawa kedua ekor rajawali itu keluyuran di luar. Memang kebetulan juga, secara tidak terduga ia berhasil menolong Bu Siu-bun dari terkaman harimau buas.

Begitulah setelah beberapa gebrakan melawan Li Bok-chiu, Kwa Tin-ok tahu bahwa dirinya bu kan tandingan orang, segera ia kembangkan ilmu permainan tongkat, Hok-mo-tiang-hoat, dengan rapat ia mempertahankan diri

Diam2 Li Bok-chiu memuji dalam hati: "Tua bangka ini dikenal sebagai pentolan Kang-lam chit-koay, kiranya tidak bernama kosong, matanya buta kakinya pincang, sudah tua dan tenaga lemah lagi, namun masih kuat melawan puluhan jurus seranganku."

Didengarnya Liok Lip-ting dan isterinya ber-kaok2 sedang memburu datang bersama Bu Sam-nio, diam2 ia berkeputusan: "Kabarnya tua bangka ini adalah guru Kwe Ceng, Kwe-tayhiap, jangan aku sampai melukainya, kalau sampai Kwe Ceng suami isteri mencari perkara padaku, tentu akan serba menyulitkan, biarlah hari ini aku memberi kelonggaran kepadanya."

Segera kebutnya bergerak, ujung kebut mendadak tegak kaku, seperti ujung sebuah tombak terus didorong menusuk ke dada Kwa Tin-ok. Meski kebut itu terdiri dan benda2 lemas, namun dengan Lwekangnya yang hebat, daya tusukan ini sungguh luar biasa.

Lekas Kwa Tin-ok ketukan tongkat besinya ke tanah, badannya lantas tertolak mundur ke belakang beberapa langkah, Li Bok-chiu maju se-tapak, agaknya seperti hendak mengejar dan menyerang, siapa tahu se-konyong2 badannya mendorong ke belakang, pinggangnya lemas gemulai se-olah2 tidak bertulang, tahu2 pundaknya hanya terpaut satu dua kaki di depan Bu Sam-nio.

Keruan Bu Sam-nio kaget, lekas ia lancarkan ilmu It-yang-ci, ia menutuk ke jidat orang, Sayang ilmunya ini belum mencapai tingkat tinggi, gerak geriknya kurang cekatan dan cepat, begitu pinggang li Bok-chiu meliuk, se-olah2 setangkai bunga teratai yang tertiup angin, tahu2 ia sudah menggeliat ke samping, malah "plak", tahu2 perut Liok-toanio terkena sekali gablokannya.

Jik-lian-sin-ciang Li Bok-chiu sudah termasyhur dan menggetarkan setiap jago persilatan, kontan Liok-toanio roboh terguling, Liok Lip-ting tidak lagi menghiraukan keselamatan jiwa sendiri, golok segera ia timpukan ke arah Li Bok-chiu, berbareng ia pentang kedua tangannya menubruk maju hendak memeluk pinggang orang untuk mengadu jiwa,

sebagai perawan suci bersih, karena patah hati perangai Li Bok-chiu berubah sadis dan tidak kenal kasihan lagi, terutama ia amat membenci hubungan asmara muda mudi, kini melihat Liok Lip-ting hendak memeluk badannya, terlihat raut mukanya lapat2 rada mirip ayahnya diwaktu muda dulu, rasa bencinya semakin berkobar, setelah ia pukul jatuh golok orang dengan kebutnya, sekali ayun pula, "sret", telak sekali kebutnya memukul batok kepala Liok Lip-ting. Kasihan Liok Lip-ting yang membekal ilmu silat warisan keluarga yang tinggi, selama hidup tidak pernah menanam permusuhan dengan orang lain, tak nyana hari ini dia terjungkal habis-habisan.

Beruntun ia melukai Liok Lip-ting suami istri, kejadian berlangsung dalam waktu yang amat pendek Kwa Tin-ok dan Bu- Sam-nio berusaha meno-long, namun terlambat.

Li Bok-chin, serunya: "Dimana" kedua bocah perempuan itu ?"

Tanpa menanti jawaban, bayangan berkelebat langsung ia melesat masuk ke dalarn perkampungan dalam sekejap saja ia sudah periksa setiap pelosok rumah, namun tidak kelihatan bayangan Thia Eng dan Liok Bu-siang. Dari tungku di dapur ia mengambil api terus menyulutnya di-gudang kayu bakar, tak lama kemudian dia sudah berlari keluar pula, katanya dengan tersenyum: "Dengan Tho-hoa-to dan It-teng Taysu aku tidak bermusuhan kalian silahkan pergi saja !"

Kwa Tin-ok dan Bu Sam-nio terhitung golongan pendekar, mereka menyaksikan orang meng-ganas panta dapat berbuat banyak, keruan gusar mereka bukan kepalang, sebatang tongkat dan sebilah pedang serempak menubruk maju pula, Li Bok-chiu bergerak lincah seperti kupu2 menari, ia miringkan badan menghindari sambaran tongkat besi, sementara kebutnya terayun membelit pedang Bu Sam-nio, tenaga dalam tersalur melalui ujung kebutnya, sekali tarik dan dorong pula, terdengar "pletak !", pedang itu putus menjadi dua potong, ujung pedang melesat ke arah Bu Sam-nio, sementara gagang pedang menyamber ke muka Kwa Tin-ok.

Bahwa pedangnya terkebut lawan Bu Sam-nio sudah amat kaget, di luar dugaan orang dapat mematahkan pedangnya dengan kebut yang lemas saja untuk menyerang dirinya pula, kutungan pedang itu melesat cepat, lekas ia menunduk kepala untuk berkelit, terasa kepala menjadi dingin dan silir, ujung pedang menyamber lewat memotong sebagian gelungan rambutnya.

Dilain pihak, mendengar samberan angin ke-keras, ujung tongkat Kwa Tin-ok sapukan ke depan untuk menyampuk gagang pedang itu ke samping, didengarnya Bu Sam-nio menjerit kaget. dan ketakutan, lekas ia putar tongkatnya hingga menderu kencang dan merangsak maju, sebetulnya tangan kirinya sudah menggenggam senjata rahasia, tapi ia tahu Ping-pok-ciau milik Jik-lian-sian-cu amat ganas dan keji, mata sendiri tidak bisa melihat, jangan2 malah memancing orang mengeluarkan jarumnya yang berbisa itu, sudah tentu dirinya tidak akan mampu melawan, oleh karena itu meski situasi sangat gawat, ia tidak berani sembarangan menimpukkan senjata rahasianya.

Sejak mula Li Bok-chiu selalu memberi kelonggaran kepadanya, pikirnya: "Kalau tidak ku unjuk kelihaianku yang sejati, tua bangka ini tentu tidak tahu aku sengaja mengalah kepadanya." Ujung kebutnya segera membelit ujung tongkat orang, Kontan (Kwa Tin-ok merasa segulung tenaga hebat membetot tongkatnya, lekas ia, kerahkan tenaga untuk menarik balik, siapa tahu baru saja tenaganya tersalur ke ujung tongkat, mendadak" kekuatan betotan kebut musuh sirna tanpa bekas, seketika ia merasakan kaki tangan menjadi lemas se-olah2 kosong melompong tak kuasa mengerahkan tenaga lagi.

Sedikit menggerakkan tangan kirinya Li Bok-chiu sendal tongkat orang ke samping, telapak tangannya hanya satu dua dim saja di depan dada Kwa Tin-ok, katanya tertawa: "Kwa-loyacu, Jik-lian-sin-ciang sudah mengusap di depan dadamu lho!"

Dada Kwa Tin-ok terbuka lebar dan tidak mampu menangkis atau membela diri, tapi ia lantas memaki dengan gusar: "Perempuan keparat, tepukkan saja ke dadaku, kenapa cerewet ?"

Melihat gelagat yang jelek ini Bu Sam-nio kaget dan memburu hendak menolong. Tangkas sekali Li Bok-chiu sudah melejit ke udara, disaat badannya masih terapung di udara, telapak tangannya sempat mengusap sekali dimuka Bu Sam-.nio. Katanya tertawa: "Kau berani mengggebah muridku, nyalimu cukup besar juga!" - Habis berkata ia tertawa cekikikan, sekali lompat badannya melayang jauh dan sekejap saja sudah tidak kelihatan lagi,

Terasa oleh Bu Sam-nio jari orang yang meraba mukanya itu sedemikian halus dan licin, kulit mukanya terasa dingin nyaman, dilihatnya bayangan orang berkelebat ke dalam hutan dan menghilang, Hanya beberapa jurus saja ia melabraknya, namun gebrakan yang berlangsung tadi boleh dikata berbahaya sekali, ia kerahkan seluruh kekuatannya, akhirnya toh roboh dan tak mampu bergerak Kwa Tin-ok tadipun merasakan dadanya seperti ditindih batu besar ribuan kati, napas sesak terasa mual, segera ia menarik napas dalam2 beberapa kali, barulah pernapasannya dapat lancar kembali.

Dengan susah payah Bu Sam-nio merangkak bangun, didengarnya suara gemuruh dan angin menderu, hawa terasa sangat panas, ternyata Liok-keh-ceng sudah tertelan jago merah yang membara, Dengan Kwa Tin-ok mereka mengangkat tubuh Liok Lip-ting suami isteri, tampak kedua orang sudah kempas kempis, terang tinggal menunggu ajal saja, pikirnya: "Kalau memindahkan mereka, tentu ajalnya akan tiba lebih cepat, namun tak mungkin Kubiarkan mereka di sini, bagaimana baiknya ?"

Disaat serba susah itulah tiba2 dari jauh di dengarnya seseorang berteriak: "Niocu, apa kau selamat ?" - itulah suara Bu Sam-thong.

Girang dan dongkol pula Bu Sam-nio, pikirnya kau si gila ini entah berbuat apa saja dan sampai sekarang baru datang, Dilihatnya pakaian sang suami sudah robek dan penuh tambalan," sedang berlari cepat mendatangi sambil ber-kaok2 selamanya Bu Sam-nio belum pernah menghadapi sikap suaminya yang begitu mesra terhadap dirinya, hatinya menjadi senang, sahutnya lantang: "Aku di sini!"

Cepat sekali Bu Sam-thong meluncur tiba, tanpa berhenti ia raih badan Liok Lip-ting berdua terus dibawa pergi sambil berteriak: "Lekas ikut aku !"

Kwa Tin-ok belum saling memperkenalkan diri, namun ia yakin orang adalah sekaum dari golongan pendekar, maka segera ia ikut jejak orang, sekaligus mereka lari sejauh beberapa li, Bu Sam-thong menjinjing dua orang, Kwa Tin-ok pincang berjalan dengan menggunakan tongkat, namun Bu Sam-nio malah ketinggalan paling jauh.

Bu Sam-thong menyusup ke timur dan berputar ke barat, akhirnya ia bawa kedua orang memasuki sebuah gua di sebuah lekukan gunung, Begitu masuk ke dalam gua itu, Bu Sam-nio melihat Tun-ji dan Siu-bun, kedua puteranya itu selamat tak kurang suatu apapun, ia merasa lega, Dilihat-nya kedua puteranya sedang bermain, batu di tanah bersama Liok Bu-siang dan Thia Eng.

Di ujung sana berdiri seorang gadis cilik lain yang berpakaian mewah, Usianya lebih kecil dari Liok dan Thia, namun sikap dan tindak tanduknya kelihatan sombong, ia tidak sudi bermain dengan mereka berempat, Dia bukan lain adalah puteri kesayangan Kwe Ceng dan Ui Yong, Kwe Hu adanya.

Melihat Kwa Tin-ok ikut datang segera Kwe Hu berteriak: "Kwa-kongkong, kedua burung itu entah pergi kemana, tidak kelihatan bayangannya, ku panggil berulang kali juga tidak mau kembali!"

Sementara itu Thin Eng dan Liok Bu-siang lantas memeluk badan Liok-toanio dan Liok Lip-ting serta menangis sambil menjerit2. Mendengar jerit tangis kedua anak perempuan ini, seketika Kwa Tin-ok teringat akan kata2 Li Bok-chiu, serunya kuatir: "Wah, celaka ! Kita memancing setan masuk pintu, sebentar iblis laknat itu pasti menyusul kemari!"

"Bagaimana bisa ?" tanya Bu Sam-nio bingung.

"Gembong iblis itu hendak mencabut nyawa kedua "bocah dari keluarga Liok ini, tapi dia tidak tahu dimana mereka berada."

Seketika Bu Sam-nio sadar, ujarnya: "Ya, benar,, dia sengaja tidak melukai kami, tapi mengintil di belakang kita secara diam2."

Bu Sam-thong menjadi gusar, teriaknya: Se-tan keparat itu berani mengganas, sebentar biar aku yang menempurnya."

Batok kepala Liok Lip-ting sudah remuk, namun ada satu hal yang belum dia selesaikan maka ia bertahan sampai sekarang, dengan suara lemah katanya kepada Thia Eng: "Ah-ing, ambillah sapu... sapu.... sapu tangan di dalam bajuku."

Thia Eng menyeka air mata, lalu merogoh keluar sehelai sapu tangan sutera dari baju sang paman. Sapu tangan ini terbuat dari sutera putih, tiap ujungnya tersulam bunga merah, Bentuk dan warna bunga itu amat aneh dan lain dari bunga biasanya, kelihatan indah menyolok tapi menyeramkan pula, selintas pandang membuat berdiri bulu kuduk orang.

Kata Liok Lip-ting: "Ah-Eng, ikatlah sapu tangan ini di lehermu, jangan kau copot lagi, tahu tidak ?"

Thia Eng tidak tahu maksudnya, namun pamannya berpesan wanti2, maka ia mengangguk serta mengiakan,

Saking kesakitan Liok-toanio sudah jatuh pingsan berulang kali, mendengar suara suaminya, segera ia membuka mata, katanya: "Kenapa tidak kau berikan kepada anak Siang ? Berikan kepada Siang-ji!"

"Tidak!" sahut Liok Lip-ting tegas, "Mana boleh aku mengingkari pesan ayah bundanya ?"

"Kau... kau sungguh kejam, puterimu sendiri tidak kau hiraukan lagi keselamatannya ?" mata Liok-toanio memutih, suarapun serak dan jatuh semaput lagi.

Liok Bu-siang tidak tahu soal apa yang dipertengkarkan ayah bundanya, sambil menangis ia berteriak: "lbu Ayah !"

"Niocu!" ujar Liok Lip-ting dengan suara lembut: "Kau amat sayang kepada Siang-ji, biarlah dia ikut berangkat bersama kita ?"

Sapu tangan sutera putih bersulam bunga merah itu adalah pemberian Li Bok-chiu kepada Liok Tian-goan dimasa mudanya sebagai tanda mengikat janji, Menjelang ajal, Liok Tian-goan tahu dosa2 mereka suami isteri bertumpuk dan banyak musuh, anak cucunya kelak pasti terlibat banyak urusan, maka ia wariskan sapu tangan itu kepada puteranya.

Dengan wanti2 ia berpesan, bila Bu Sam-thong meluruk datang menuntut balas, kalau bisa menghindari adalah baik, kalau tidak bolehlah dilawan sekuat tenaga dan rasanya jiwa tidak akan melayang cuma2. Tapi kalau Li Bok-chiu yang datang, orang ini amat keji dan ganas pula, ilmu silatnya juga tinggi, satu2-nya jalan untuk menyelamatkan diri ialah mengalungkan sapu tangan sutera putih itu di leher. ingat akan asmara dimasa mudanya, mungkin si iblis itu tidak tega turun tangan,

Tapi Liok Lip-ting sendiri tinggi hati, meski menjelang ajal, namun ia sendiri tidak mau unjuk sapu tangan itu.

Thia Eng adalah puteri saudara~ perempuan Liok Lip-ting yang dititipkan padanya, Biasanya ia bersikap keras kepada keponakan ini, sering ia memarahinya dan mendidiknya dengan keras, tapi urusan sudah berlarut sedemikian jauh, malah dia berikan sapu tangan penyelamat itu kepada Thia Eng.

Betapapun Liok-toanio berjiwa lebih sempit, kasih sayangnya kepada puteri sendiri lebih besar, melihat sang suami tidak perdulikan keselamatan jiwa puteri sendiri, saking dongkol dan gusar, kontan ia jatuh semaput lagi.

Karena soal sapu tangan sampai bibi dan pamannya bertengkar segera Thia Eng angsurkan sapu tangan itu kepada Piaumoay-nya, katanya: "Bibi bilang untuk kau, nah, terimalah !"

Tapi Liok " Lip-ting segera membentak: "Siang-ji, jangan kau terima !"

Bu Sam-nio tahu dalam hal ini pasti ada latar belakang yang dirahasiakan segera ia tampil bicara: "Bagaimana kalau sapu tangan ini disobek menjadi dua potong ? Satu orang separoh, boleh tidak ?"

Liok Lip-ting hendak bicara, namun keadaannya sudah sangat payah, mana bisa mengeluarkan suara pula, terpaksa ia hanya mengangguk saja,

Bu Sam-nio segera minta sapu tangan itu "bret" ia sobek menjadi dua dan dibagikan kepada Liok Bu-siang dan Thia Eng.

Bu Sam-thong berdiri di mulut gua, mendengar jerit tangis di sebelah "dalam,