Kembalinya Pendekar Rajawali / Rajawali sakti
BAB 1. TAMU ANEH DITENGAH MALAM.

Zaman pemerintahan Song-li-cong pada dinasti Song, di daerah Oh-ciu, daerah Kanglam, ada sebuah kota kecil, namanya Leng-oh-tin.

Waktu itu dekat pertengahan musim rontok, daun teratai mulai kering, teratai padat. Di sungai kecil pinggir kota kecil itu lima gadis cilik berada di sebuah perahu kecil sedang bernyanyi dan bersenda gurau dengan asyiknya sambil mendayung perahu untuk memetik biji teratai

Di antara kelima gadis cilik itu usia tiga orang kurang lebih lima belasan, dua orang lagi hanya berusia delapan atau sembilan tahun saja. Kedua dara cilik itu adalah saudara misan, Piauci (kakak misan) bernama Thia Eng, sedangkan Piaumoay (adik misan) she Liok bernama Bu-siang, timur keduanya hanya selisih setengah tahun saja, tapi Thia Eng lebih pendiam dan lemah lembut, sebaliknya Liok Bu-siang sangat lincah, perangai keduanya sama sekali berbeda.

Ketiga gadis yang lebih tua-an masih terus bernyanyi sambil mendayung perahu menyusun semak daun teratai itu.

"Eh Piaumoay, lihatlah, paman aneh itu berada di situ!" seru Thia Eng sambil menuding seorang yang berduduk di bawah pohon tepi sungai sana.

Orang yang dimaksud itu berambut kusut masai tapi kaku, kumis dan jenggotnya juga semrawut dan kaku seperti duri landak, namun baik rambut maupun jenggot dan kumisnya masih hitam mengkilap, mestinya usianya belum begitu lanjut, namun mukanya penuh keriput dan cekung sehingga tampaknya seperti kakek berusia 70-80 tahun.

Yang paling aneh dan lucu adalah pakaian-nya, bajunya yang menyerupai kaos oblong adalah sebuah karung goni yang sudah compang-camping, sedangkan celananya terbuat dari satin dan masih baru, malahan bagian bawah bersulamkan kupu-kupu yang berwarna warni, Tangan kakek itu memegang sebuah kelentungan (kelontong) mainan kanak-kanak, kelentungan itu tiada hentinya di putar sehingga menimbulkan bunyi kelentang-keluntung, tapi kedua mata kakek itu menatap kaku ke depan seperti orang kehilangan ingatan,

"Orang gila ini sudah berduduk selama tiga hari di sini, mengapa dia tidak lapar?" kata Liok Bu-siang.

"He, jangan panggil dia orang gila, kalau dengar nanti dia marah," ujar Thia Eng.

"Kalau dia marah akan tambah menarik," kata Liok Bu-siang sambil menjemput sebuah ubi teratai terus dilemparkan ke arah kakek aneh itu.

Jarak antara perahu kecil itu dengan si kakek aneh ada belasan meter jauhnya, tapi tenaga Bu-siang ternyata tidak lemah meski usianya masih kecil. Lemparannya itupun sangat jitu, ubi teratai itu langsung menyamber ke muka si kakek aneh

"Jangan, Piaumoay !" Thia Eng berseru men cegah, namun sudah terlambat, ubi teratai itu sudah terlanjur menyambar ke sana.

Akan tetapi keajaiban segera terjadi, tiba-tiba kakek aneh itu menengadah, dengan tepat ubi teratai itu tergigit olehnya. iapun tidak menggunakan tangan, hanya lidahnya yang bekerja, ubi teratai itu digeragotinya dengan lahap.

Padahal biji teratai mentah itu rasanya pahit, apalagi kulitnya juga tidak dikupas, tapi kakek aneh itu sama sekali tidak ambil pusing, Melihat cara makan orang aneh itu, ketiga gadis yang agak besaran tadi menjadi geli dan mengikik tawa.

Liok Bu-siang juga merasa senang, serunya: "Ini makan satu lagi!" - Segera ia lemparkan pula sebuah ubi teratai kepada si kakek

Waktu itu separuh daripada umbi teratai pertama masih belum habis termakan dan tergigit di mulutnya, mendadak kakek itu memapak ubi teratai kedua yang dilemparkan Bu-siang dengan ubi teratai yang tergigit di mulutnya itu, sedikit mencungkit, ubi teratai kedua lantas mencelat ke atas, jatuhnya ke bawah tepat hinggap di atas kepalanya, Rambut si kakek semrawut kaku sehingga ubi teratai itu dapat tertahan di atas kepalanya tanpa bergoyang sedikitpun.

Serentak kelima gadis cilik itu bersorak gembira.

"Ini masih ada ! "" seru Bu siang pula, kembali melemparkan sebuah ubi teratai

Lagi-lagi kakek aneh itu mencungkit dengan ubi teratai di mulutnya seperti tadi dan kembali ubi teratai itu mencelat ke atas dan jatuh persis menumpuk di atas ubi teratai yang duluan.

Melihat permainan akrobat itu, kelima gadis bertambah senang, tangan Liok Bu-siang juga bekerja berulang-ulang, dalam sekejap saja di atas kepala kakek aneh itu sudah bersusun belasan ubi teratai sehingga tingginya hampir satu meter.

Setelah ubi teratai pertama tadi termakan, si kakek sedikit miringkan kepalanya dan ubi teratai yang paling atas mendadak menggelinding ke bawah, tapi tepat jatuh di mulut si kakek, sebentar saja ubi teratai inipun dimakan habis, lalu ubi teratai yang lain menggelinding jatuh ke bawah pula dan dimakan lagi. Dalam waktu singkat ubi teratai yang tersunggi di atas kepala-nya itu hanya tersisa dua saja.

Senang dan heran Liok Bu-siang serta Thia Eng melihat permainan kakek aneh itu, segera mereka mendayung perahunya ke tepian dan mendarat.

Thia Eng berhati welas asih dan berbudi halus, dia mendekati si kakek dan menarik-narik bajunya serta berkata: "Empek (paman) tua, caramu makan begitu tidak enak!" - Lalu ia mengambil sebuah ubi teratai kulitnya dikupasnya, bijinya dibuang, sumbu ubi yang pahit juga diambilnya, kemudian diberikannya kepada kakek aneh itu.

Kakek itupun tidak menolak, ubi teratai itu lantas dimakannya dan terasa lebih gurih dan enak daripada yang dimakannya tadi, tiba-tiba ia menyeringai kepada Thia Eng dan manggut-manggut. Aneh juga, kedua ubi teratai yang masih bersusun di atas kepalanya itu cuma bergoyang sedikit saja dan tidak terperosot jatuh.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara mengkuiknya anjing kecil di seberang sungai sana terseling suara teriakan dan bentakan anak-anak kecil yang riuh ramai.

Waktu Thia Eng menoleh ke sana, tertampak seekor anjing kecil budukan sambil mencawat ekor sedang berlari-lari ketakutan melalui jembatan kecil sana, di belakang anjing budukan itu mengejar tujuh atau delapan anak nakal, ada yang memegang bambu, ada yang menyambit dengan batu disertai suara bentakan segala.

Anjing kecil itu memang sudah jelek karena kulitnya budukan, kini dihajar pula hingga babak belur oleh kawanan anak. nakal itu, tentu saja keadaannya bertambah konyol.

Biasanya Thia Eng suka kasihan kepada anjing kecil ini dan sering memberi sisa makanan padanya, Rupanya anjing kecil itu melihat Thia Eng dari kejauhan, maka dengan mati-matian ia lari ke sini, lalu sembunyi di belakang Thia Eng.

Ketika kawanan anak nakal itu mengejar tiba dan hendak menghajar pula anjing kecil itu, cepat Thia Eng mencegahnya sambil berseru: "He, jangan memukulnya, jangan memukulnya !"

"Anak perempuan minggir, bukan urusanmu !" damperat seorang anak yang paling nakal, berbareng tangannya mendorong tubuh Thia Eng.

Tapi sedikit mengegos saja Thia Eng dapat menghindarinya. Bu-siang berdiri di sebelah sang Piauci, melihat anak nakal itu kurang ajar, segera ia menjegal dengan sebelah kakinya sambil menahan pelahan di bahu anak itu. Tanpa ampun anak nakal itu jatuh tersungkur mencium tanah, bahkan dua gigi depan copot semuanya, saking kesakitan anak itupun menjerit menangis.

Bu-siang bertepuk senang, sedangkan Thia Eng merasa kasihan, ia membangunkan anak itu dan menghiburnya: "Jangan menangis! Apakah sakit ?" - Melihat mulut anak itu penuh darah, ia menjadi gugup dan mengeluarkan sapu tangan untuk mengusap darahnya.

Tapi anak nakal itu terus mendorongnya sambil memaki: "Tidak perlu kau mengusap, kau budak busuk yang tidak punya ayah ibu !"

Kuatir dihajar pula oleh Bu-siang, anak nakal itu lantas berlari menyingkir sambil mencaci maki, setelah agak jauh, ia terus menjemput batu kecil dan menyambiti kawanan gadis ku.

Dengan gesit Thia Eng dan Bu-siang dapat menghindarinya, akan tetapi ketiga gadis yang agak besaran itu tidak mahir ilmu silat, mereka menjadi kesakitan tertimpuk oleh batu-batu kecil itu. Beberapa potong batu itupun mengenai badan si kakek aneh, tapi orang tua itu tidak menjadi gusar juga tidak menghindar seperti tidak berasa apa-apa tersambit oleh batu-batu itu.

Melihat itu, kawanan anak nakal itu menjadi heran dan merasa tertarik, segera mereka mengam-

************************************

Hal 9 dan 10 Hilang

************************************

tanah, Muka Thia Eng sudah berubah, menjadi pucat pasi, sebaliknya wajah Bu-siang tampak merah padam, Waktu mereka memandang sekelilingnya, kiranya tempat itu adalah tanah pekuburan kedua anak dara itu belum pernah mendatangi tempat sesunyi itu, mau-tak-mau hati mereka menjadi berdebar.

"Kongkong (kakek)", kata Thia Eng dengan lemah lembut, "kami ingin pulang saja, tak mau lagi bermain dengan kau."

Tapi kakek aneh itu menatapnya dengan tajam tanpa menjawab.

Melihat sinar mata si kakek memancarkan semacam perasaan sedih dan memilukan, meski masih kecil dan tidak paham seluk-beluk kehidupan insaniah, namun secara naluri timbul rasa simpatiknya terhadap orang tua itu, katanya kemudian dengan halus: "Apabila engkau tidak punya teman memain, besok saja engkau datang ke tepi sungai sana, nanti akan ku kupaskan ubi teratai pula untukmu."

Tiba-tiba kakek aneh itu menghela napas dan berkata: "Ya, sudah 40 tahun, selama 40 tahun ini tiada orang menemani aku bermain." - Sampai di sini mendadak sorot matanya berubah menjadi beringas, tanyanya dengan suara bengis: "Di mana Ho Wan-kun ? Kau pernah apa dengan Ho Wan-kun ?"

Thia Eng menjadi takut melihat perubahan sikap si kakek, jawabnya dengan suara gemetar: "Aku... aku"

Mendadak si kakek mencengkeram lengannya dan menggoyang-goyangkan tubuhnya beberapa kali lalu bertanya pula dengan suara parau: "Mana Ho Wan-kun?"

Hampir saja Thia Eng menangis, air matanya berlinang-linang dalam kelopak matanya, tapi tidak sampai menetes.

"Hayo menangis! Menangis!" mendadak kakek aneh itu menghardik dengan mengertak gigi "Kenapa tidak menangis ? Hm, beginilah kau pada 40 tahun yang lalu, Kau mengatakan menikah dengan dia secara terpaksa, tapi mengapa kau tidak mau minggat bersamaku? Ya, kau anggap aku miskin, anggap aku berwajah jelek jika benar kau berduka mengapa kau tidak menangis?"

Dengan gemas si kakek pandang Thia Eng, tapi aneh juga, meski ketakutan, namun air mata Thia Eng tetap tidak menetes, Ketika kakek itu menyuruhnya menangis sambil menggentak-gentak tubuhnya, Thia Eng bahkan menggigit bibir dan berkata di dalam hati: "Tidak, aku pasti tidak menangis !"

"Hm, jadi kau tidak mau meneteskan setetes air mata bagiku ? setetes air mata saja kau tidak sudi ? Lantas untuk apa aku hidup lagi ?" mendadak kakek itu melepaskan Thia Eng, lalu dengan setengah berjongkok ia membenturkan kepalanya ke batu nisan yang berada di sampingnya,

Batu nisan itu terbuat dari batu hijau dan tertanam kuat di dalam tanah. Karena benturan keras itu, batu nisan itu terus mencelat keluar dari tanah dan jatuh agak jauh dengan mengeluarkan suara keras, Sedang si kakek juga lantas menggeletak pingsan,

"Lekas, lari, Piauci !" seru Bu-siang, segera ia tarik tangan Thia Eng dan mengajaknya kabur.

Thia Eng ikut berlari beberapa langkah, ketika menoleh, ia lihat kepala si kakek mengucurkan darah ia menjadi tidak tega, katanya: "Jangan-jangan paman tua itu terbentur mati, marilah kita memeriksanya."

"Kalau mati kan jadi setan ?" ujar Bu-siang.

Thia Eng terkejut, ia takut si kakek akan menjadi setan, iapun takut kalau si kakek mendadak siuman, lalu mencengkeramnya pula sambil mengucapkan perkataan yang sama sekali tidak dipahami apa maksudnya. Akan tetapi iapun tidak tega dan merasa kasihan melihat muka si kakek penuh darah, ia coba menghibur dirinya sendiri: "Tidak, kakek aneh itu bukan setan, aku tidak takut, iapun takkan mencengkeram aku lagi."

Segera ia lepaskan pegangan tangan Bu-siang dan mendekati si kakek sambil berseru: "Kong-kong, apakah kau kesakitan ?"

Terdengar orang aneh itu merintih satu kali, tapi tidak menjawab.

Thia Eng menjadi tabah sedikit, ia keluarkan sapu tangan untuk menutupi luka si kakek Tapi luka itu agaknya cukup hebat, hanya sekejap saja sapu tangan Thia Eng itu sudah basah kuyup oleh darah yang terus mengucur keluar, ia pikir sejenak tiba-tiba ia merobek ujung baju sendiri untuk menggantikan sapu tangan yang penuh darah itu.

"He, kalau pulang nanti tentu kau akan dimarahi ayah," ujar Bu-siang.

"Betapapun juga akan dimarahi, biar saja," kata Thia Eng. ia tekan luka si kakek sehingga darah tidak merembes lagi.

Selang tak lama, pelahan kakek itu membuka matanya, melihat Thia Eng duduk di sampingnya, katanya sambil menghela napas: "Buat apa kau menolong aku? Lebih baik aku mati saja."

Thia Eng gembira melihat si kakek telah siuman, dengan suara lembut ia bertanya: "Kepalamu sakit tidak ?"

"Kepala tidak sakit, hati yang sakit," jawab si kakek dengan suara pedih.

Thia Eng menjadi heran, sungguh aneh, luka pada kepala separah itu katanya tidak sakit, tapi hatinya yang dikatakan sakit malah, iapun tidak tanya lagi, kembali ia merobek sepotong kain bajunya untuk membalut lukanya.

Si kakek menghela napas pula dan berbangkit katanya: "Kau tak mau bertemu lagi dengan aku, apakah kita akan berpisah dengan begini saja ? Satu titik air mata saja kau tak mau meneteskan bagiku ?"

Mendengar suara ucapannya sedemikian memilukan sedemikian berduka, dilihatnya pula wajah si kakek yang jelek itu penuh darah, tapi sorot matanya memancarkan perasaan memohon dengan sangat, tanpa terasa hati Thia Eng men-jadi terharu dan ikut berduka, air matapun bercucuran tak tertahankan Bahkan tanpa kuasa ia terus merangkul si kakek, tiba-tiba ia merasa orang tua aneh ini seperti orang yang paling dekat dan paling rapat dengan dirinya.

Menyaksikan mereka tanpa sebab saling rangkul dan menangis dengan lucu itu, Liok Bu-siang menjadi geli, tak tertahan ia tertawa terbahak-bahak

Mendengar suara tertawanya, mendadak orang aneh itu melepaskan Thia Eng, ia berlari ke depan Bu-siang dan menatapnya tajam, tiba-tiba ia menengadah dan berkata dengan gegetun: "Ya, kau sering kasihan padaku, tapi juga selalu