Bab 3. Tujuh Orang Luar Biasa --- Part 2

Orang itu perdengarkan pula tertawanya yang kering itu, ia jalan terus, tindakan kakinya terus berbunyi ketrak-ketruk. Ketika ia tiba di ujung hotel, ia menoleh kepada jongos hotel seraya berkata dengan keras: "Eh, jongos, kau jangan pandang tak mata kepada baju tuanmu yang rubat-rabit ini! Kau tahu, tuan besarmu ada punya uang perak! Di pihak lain, ada bocah yang tersesat, dengan pakaiannya yang mentereng, dia pentang aksi untuk bikin orang silau guna menipu, untuk mengakali kaum wanita, buat anglap makanan dan hotel! Terhadap bocah begitu macam, kau mesti awas mata! Paling baik kau minta dia membayar uang sewa di muka!" Lalu dengan tak menantikan jawaban, dia ngeloyor terus, sepatunya terus berbunyi: "Truk! Truk! Truk...!"

Panas hatinya Yen Lieh. "Binatang!" katanya dalam hatinya, "Bukankah dia maksudkan aku?"

Jongos itu melirik kepada pemuda ini, mau tidak mau timbul kecurigaannya. Dengan lekas ia menghampiri. "Tuan, harap kau tidak kecil hati, bukannya aku kurang ajar..." katanya sambil memberi hormat.

Yen Lieh bisa duga hati orang. "Kau pegang uang ini!" katanya menyela. Sementara itu tangannya meragoh ke sakunya, tetapi segera ia melongo. Ia tahu, dia ada membekal uang empat atau lima puluh tail perak akan tetapi sekarang kantungnya kosong.

Jongos itu lihat air muka orang, ia jadi menduga terlebih keras. Sekarang ia tak sungkan-sungkan lagi. "Apa?! Kau tidak membawa uang?" katanya.

"Kau tunggu sebentar, hendak aku balik ke kamarku untuk mengambil," kata Yen Lieh. Ia mau menyangka tadi karena terburu-buru ia lupa bawa uangnya. Setibanya di dalam kamar, ia menjadi tercengang pula. Ia dapatkan buntalannya tidak ada uangnya. Ia heran, tak tahu ia di mana lenyapnya uangnya itu.

Jongos mengikuti ke kamar, ia tangal-tongol di muka pintu dengan begitu ia jadi dapat lihat orang tidak punya uang. Ia menjadi berani. "Apakah wanita ini benar istrimu?" dia tanya. "Apakah kau tengah menipu dia? Janganlah kau nanti rembet-rembet kami!"

Sek Yok tidak tahu apa yang sudah terjadi tetapi ia dapat menduga, mukanya menjadi merah. Ia malu dan bergelisah.

Dengan tiba-tiba Yen Lieh mencelat ke pintu dan tangannya menyambar. "Plok!" demikian suara di mukanya si jongos yang pipinya menjadi bengap dan giginya rontok beberapa biji. Tentu ia menjadi gusur, sambil pegangi pipinya dia menjerit: "Bagus, ya bagus betul! Kau sewa kamar tidak mau bayar, kau juga berani pukul orang!"

Dengan murkanya Yen Lieh mendupak, hingga orang itu jungkir balik.

"Mari kita lekas pergi!" Sek Yok mengajak. "Jangan kita nginap disini!"

"Jangan takut!" kata Yen Lieh. Kali ini ia tertawa. "Kita tidak punya uang tetapi kita boleh suruh mereka mengadakannya!"

Ia lantas sembat sebuah kursi yang ia letaki di ambang pintu. Di situ ia lantas bercokol.

Jongos tadi yang telah kabur keluar segera kembali bersama belasan orang, yang romannya seperti buaya darat, tangan mereka membawa toya dan ruyung, sikap mereka garang.

"Apakah kamu hendak berkelahi?" tanya Yen Lieh sambil tertawa. Kata-kata itu disusul sama mencelatnya tubuhnya, lalu tahu-tahu ia telah rampas toyanya satu orang denagn apa terus ia menghantam kalang kabutan.

Sekejap saja empat lima orang telah terguling rubuh. Menampak demikian, sisa yang lainnya lantas lemparkan senjata mereka dengan memutar tubuh, mereka sipat kuping, akan kemudian diturut oleh kawan-kawan yang telah terima hajarab, yang repot merayap bangun.

"Ah, urusan menjadi hebat, mungkin nanti datang pembesar negeri," kata Sek Yok dengan berkhawatir.

Yen Lieh tetap tertawa. "Itulah yang aku kehendaki!" sahutnya.

Nyonya Yo bungkam. Tak tahu ia maksudnya pemuda ini.

Untuk kira setengah jam, hotel menjadi sunyii. Pihak hotel atau tetamu, tidak ada yang berani banyak mulut lagi. Baru kemudian, di luar terdengar suara berisik lalu muncul belasan orang polisi, yang bersenjatakan golok dan thie-cio, ialah ruyung pendek yang bercagar atau gagangnya bergaetan. Mereka pun bekal borgol yang rantainya berkontrangan.

"Sudah menipu wanita, masih berani galak, aturan dari mana?" demikian di antarannya pentang bacot. "Mana dia si penjahat!"

Yen Lieh bercokol tidak bergeming.

Menyaksikan sikap orang itu, rombongan opas itu tidak berani lantang maju.

"Eh, kau she apa?" menegur yang menjadi kepala. "Mau apa kau datang ke Kee-hin ini?"

Yen Lieh tetap tidak bergerak. "Pergi kau panggil Khay Oen Cong kemari!" ia bilang, suaranya keren.

Hamba negeri itu terkejut. Khay Oen Cong itu adalah namanya pembesar mereka, tiehu atau residen dari Kee-hin. Kemudian mereka menjdi gusur.

"Apakah kau edan?" si kepala polisi tanya."Bagaimana kau berani sembarang sebut namanya Khay Toaya kami?"

Yen Lieh rogoh sakunya, untuk mengeluarkan sepucuk surat yang mana ia lemparkan ke atas meja, kemudian sambil matanya memandang mega, ia berkata: "Kau bawa suratku ini, kasihkan pada Khay Oen Cong. Hendak aku lihat, ia datang ke mari atau tidak!"

Orang polisi itu jumput surat itu, setelah membaca sampulnya ia terkejut, akan tetapi agaknya ia masih sangsi.

"Kamu jaga dia, jangan kasih dia buron..." pesannya pada orang-orangnya, lalu ia terus pergi.

Sek Yok saksikan itu semua, hatinya terus goncang. Tak tahu ia urusan bakal jadi bagaimana hebatnya. Karena ini, hebat ia menunggu kira setengah jam, sesudah mana di luar hotel terdengar pula suara berisik dari orang banyak. Itulah suara beberapa puluh orang polisi, yang mengiringi dua pembesar dengan pakaian dinasnya. Kapan mereka berdua sampai di depan Yen Lieh, keduanya lantas saja memberi hormat sambil tekuk lutut.

"Piecit adalah Khay Oen Cong, tiehu dari Kee-hin dan Kiang Bun Kay tiekoan dari Siu-sui-koan," berkata mereka."Piecit tidak ketahui tayjin tiba disini, kami tidak datang menyambut, harap tayjin suka memaafkannya."

Yen Lieh ulapkan tangannya, ia membungkuk sedikit. "Aku telah kehilangan uang di dalam kecamatan ini, aku mohon Tuan-tuan suka tolong periksa dan mencarinya," ia berkata, terutama terhadap Kiang Bun Kay si camat.

Khay Oen Cong menyahuti dengan cepat.

"Ya, ya," katanya, habis mana, ia menoleh ke belakang seraya geraki tangannya, atas mana muncul dua orang polisi yang membawa dua menampan-menampan, yang satu bermuatkan emas berkilau kuning dan yang satunya lagi bersis perak yang berkeredep putih.

"Di tempat kami ada penjahat yang main gila, itulah kealpaan kami," berkata Khay Oen Cong. "Sekarang ini sudilah kiranya Tayjin menerima dahulu ini jumlah yang tidak berarti."

Yen Lieh tertawa, ia mengangguk.

Dengan cara hormat, Khay Tiehu lantas angsurkan suratnya pemuda itu.

"Piecit telah siapkan tempat beristirahat, silahkan Tayin dan hujin singgah di sana," tiehu itu memohon kemudian.

"Tempat di sini lebih meyenangkan," berkata Yen Lieh. "Aku lebih suka tempat yang tenang. Kamu jangan ganggu aku." Dengan tiba-tiba wajah si anak muda menjadi keren.

"Baik, baiklah," kata Oen Cong dan Bun Kay dengan cepat. "Tayjin masih membutuhkan apalagi, tolong sebutkan, nanti piecit siapkan."

Yen Lieh dongak, ia tidak menyahuti, cuma tangannya diulapkan.

Dengan tidak bilang apa-apa lagi, Oen Cong dan Bun Kay mengundurkan diri dengan hormat dan tanpa berisik semua polisi mengikuti mereka.

Jongos saksikan itu semua, mukanya menjadi pucat, lenyap darahnya. Bukankah residen dan camat pun mesti berlutut terhadap tetamunya itu? Tidak ayal lagi dengan dipimpin kuasa hotel, dia berlutut seraya memohon ampun.

Yen Lieh mengambil sepotong perak dari atas nenapam,, ia lemparkan itu ke atas tanah. "Aku persen ini kepadamu!" katanya sambil tertawa. "Lekas pergi!"

Jongos itu melengak, ia bersangsi, tetapi kapan kuasa hotel lihat wajah si tetamu tenang dan ramah, khawatir orang gusar, lekas-lekas ia pungut uang itu, ia berlutut dan manggut-manggut, lalu dengan cepat ia seret si jongos pergi.

Sampai disitu Pauw Sek Yok menjadi heran, hatinya pun lega, hingga ia bisa tertawa. "Sebenarnya suratmu itu wasiat apa?" ia tanya. "Satu pembesar sampai ketakutan demikian rupa!"

Yen Lieh tertawa. "Sebenarnya tidak ku niat pedulikan mereka," ia menyahut. "Pembesar itu sendirinya tak punya guna, orang-orang sebawahannya Tio Kong semua bangsa kantong nasi, kalau negara mereka tidak lenyap, benar-benar tidak pantas!"

Sek Yok heran. "Siapa itu Tio Kong?" tanyanya.

"Tio Kong ialah Kaisar Leng Cong yang sekarang!" sahut Yen Lieh.

Nyonya Yo Tiat Sim menjadi terperanjat. "Dia mengaku sebagai sahabatnya Han Sinsiang, semua pembesar sipil dan militer hormati dan takuti dia, aku menyangka dialah sanaknya kaisar," dia berpikir. "Atau setidaknya dia pembesar berpangkat sangat tinggi.... Kenapa dia sekarang berani terang-terangan menyebut nama kaisar? Kalau hal ini di dengar orang, apa ini didengar orang, apa itu bukan artinya sangat kurang ajar..?" Maka lekas-lekas ia berkata " Bicara hati-hati! Nama raja mana boleh sembarangan disebut-sebut?"

Senang Yen Lieh akan mengetahui nyonya ini menyayangi dia. "Tidak ada halangannya untuk aku menyebeutkan namanya," ia menyahut sambil tertawa. "Setibanya kita di utara, jikalau kita tidak panggil dia Tio Kong, habis kita mesti memanggil apa?"

Lagi sek Yok terkejut. "Ke Utara?" dia bertanya.

Yen Lieh mengangguk. Ia baharu mau menyahuti, tapi di luar hotel terdengar tindakan dari beberapa puluh kuda yang terhenti tepat di muka hotel. Ia lantas saja mengerutka kening, nampaknya ia sangat tidak puas. Sek Yok sebaliknya terkejut.

Segera terdengar tindakan banyak kaki yang bersepatu kulit memasuki ruang hotel, terus ke muka kamarnya si anak muda. Itulah beberapa puluh serdadu denag pakaiannya yang tersulam. Begitu mereka melihat Yen Lieh, semua menunjuki wajah sangat girang, hampir berbareng mereka menyerukan: "Ongya!" Dan lantas semuanya memberi hormat sambil berlutut.

"Akhir-akhirnya kamu dapat cari aku!" kata Yen Lieh sambil tertawa

Sek Yok dengar orang dipanggil "ong-ya" – "sri paduka", ia tidak terlalu heran. Ia hanya heran menyaksikan rombongan serdadu itu, yang terus berbangkit untuk berdiri dengan tegak. Mereka semua bertubuh besar dan kekar. Peragamannya rapi. Mereka beda daripada tentera Tionggoan.

"Semua keluar!" kemudian Yen Lieh berkata, tangannya diulapkan.

Dengan berbareng menyahuti semua serdadu itu mundur teratur.

"Bagaimana kau lihat semua orangku dibandingkan dengan tentara Song?" ia tanya.

"Apakah mereka bukannya tentara Song?" si nyonya membaliki.

Yen Lieh tertawa. "Sekarang baiklah aku omong terang padamu!" katanya, riang gembira. "Semua serdadu itu adalah tentara pilihan dari negara Kim yang besar!" Dan dia tertawa pula, panjang dan puas sekali.

"Kalau begitu kau jadinya, kau..." katanya Sek Yok dengan suara yang gemetar.

Yen Lieh kembali tertawa. "Bicara terus terang nyonya, namaku mesti ditambah satu huruf "Wan" di atasnya," dia menyahuti. "Sebenarnya aku yang rendah ini adalah Wanyen Lieh, putra keenam dari Raja Kim, Pangeran Tio Ong adalah aku yang rendah...."

Mau atau tidak Sek Yok terperanjat, ia tercengang. Pernah dahulu ia dengar ayahnya bercerita bagaimana

bangsa Kim telah menggilas-gilas wilayah Tionggoan, bagimana dua kaisar Tionggoan telah ditawan, dibawa pulang ke negeri Kim itu, bahwa rakyat di utara telah diperlakukan dengan kejam oleh bangsa Kim itu. Kemudian, setelah ia menikah dengan Yo Tiat Sim, ia juga ketahui bagimana hebat suaminya itu membenci bangsa Kim itu. Sekarang diluar tahunya, orang dengan siapa siang dan malam ia berada bersama selama beberapa hari, adalah putranya raja Kim itu, yang menjadi musuh Tionggoan. Tentu saja oleh karena ini ia menjadi tidak dapat membuka mulutnya.

Wanyen Lieh lihat air muka orang berubah, lenyap senyumnya si nyonya. Ia lantas berkata, " Telah lama aku kagumi keindahan wilayah selatan, karenanya pada tahun baru yang baru lalu telah aku mohon Ayahanda raja mengirim aku ke Lim-an sebagai utusan yang datang untuk memberi selamat tahun Baru kepada kaisar Song. Di samping itu kebetulan kaisar Song belum membayar upeti tahunannya yang berjumlah beberapa puluh laksa tail perak, dari itu Ayahanda raja menitah aku menagihnya sekalian."

"Upeti tahunan?" Sek Yok heran.

"Ya," sahut putra raja Kim itu. "Kerajaan Song mohon negaraku tidak menyerang dia, dia janji saban tahu mengirim upeti uang dan cita, tetapi dengan alasan penghasilan negaranya tidak mencukupi, sering-sering kaisar Song tidak menepati janjinya, maka kali ini aku tidak sungkan-sungkan lagi menghadapi Perdana Menteri Han To Cu, aku tandaskan kepadanya, apabila dalam tempo satu bulan upeti tidak dibayar penuh, aku sendiri bakal mengepalai angkatan perang untuk mengambilnya dan dia tak usah capekkan hati lagi mengurusnya!"

"Apa katanya Han Sinsiang?" Sek Yok tanya.

"Apa lagi dia bisa bilang? Belum lagi aku meninggalkan Lim-an, uang dan cita sudah diseberangkan sungai. Hahaha!!"

Sek Yok berdiam. Alisnya kuncup.

"Menagih upeti ada urusan yang remeh, cukup dengan utus satu menteri," berkata pula Wanyen Lieh. "Aku tetapi datang sendiri, karena ingin aku menyaksikan kepermaian wilayah selatan ini, maka adalah diluar dugaanku, aku bertemu dengan Nyonya, sungguh aku sangat beruntung."

Pauw Sek Yok tetap bungkam.

"Nah, sekarang hendak aku pergi beli pakaian," kata Wanyen Lieh kemudian.

"Tidak usah," kata Sek Yok tunduk.

Putra raja Kim itu tertawa ketika ia berkata pula, "Uang pribadi Han Sinsiang sendiri yang dibekali padaku, jikalau aku pakai itu untuk membeli pakaian, tak habis kau pakai itu selama seribu tahun, Nyonya! Kau jangan takut, di empat penjuru sini telah berjaga-jaga pasukan pribadiku, tidak nanti orang jahat yang berani ganggu padamu!"

Mendengar itu Sek Yok mau menduga bahwa ia telah diancam dengan samar-samar bahwa tak dapat ia melarikan diri apabila ia memikir demikian, karena hotel itu telah dijaga rapat, ia hanya heran sekali, apa maksudnya putra raja Kim itu yang ia seorang wanita dari rakyat jelata, diperhatikan demikian macam. Itulah perlakuan istimewa. Kapan ia ingat suaminya, yang sangat mencintainya, ia lantas mendekam di pembaringannya dan menangis sedih sekali.