Bab 3. Tujuh Orang Luar Biasa

Besok paginya Pauw-sie bangun dari tidurnya, Yen Lieh sudah tidak ada di kamarnya, pemuda itu telah pergi siapkan kuda mereka dan sudah pesan jongos menyediakan barang makanan. Diam-diam nyonya ini jadi sangat bersyukur, ia menemui orang satu kuncu, laki-laki sejati. Oleh karena itu semakin kurang penjagaan dirinya.

Barang hidangan itu terdiri dari masakan ayam, daging asin, ikan dan bubur yang semuanya harum,

sedap dan lezat. Akan tetapi mendahar ini, hatinya Pauw-sie kurang tenang. Ia ada dari satu keluarga sederhana, dan biasanya, dedaharannya setiap hari adalah sayur dan ikan asin, baru di hari raya atau tahun baru ia dapat hidangan istimewa.

Tak lama setelah dahar, seorang pembantu datang menyerahkan satu bungkusan. Itu waktu, Yen Lieh sudah keluar dari kamar.

"Apakah itu?" tanya si nyonya.

"Inilah barang yang tadi pagi tuan belikan untuk Nyonya, ialah pakaian baru," jawab pembantu itu. "Tuan berpesan agar kiranya nyonya tidak keberatan bersalin pakaian."

Sek Yok membuka bungkusan itu yang membuat dia melengak. Tampak seperangkat pakaian baru warna putih, berikut sepatu dan kaos kaki putih juga, yang lainnya ada pakaiaan dalam, baju pendek, sapu tangan dan handuk.

"Dia seorang pria, cara bagaimana ia dapat memikir begini sempurna?" katanya dalam hati, yang sangat bersyukur.

Memang ketika ia keluar dari rumah, pakaiannya tidak karuan, sesudah itu untuk satu malaman ia mesti lari-larian, maka pakaiannya jadi kotor dan pecah disana sini. Sekarang setelah tukar pakaian, ia berubah seperti seorang baru.

Perjalanan sudah lantas dilanjuti. Sore itu selagi mendekati dusun Kiap-sek-tin, tiba-tiba mereka mendengar jeritan hebat dari sebelah depan. Pauw-sie kaget sekali, ia putar balik kudanya untuk lari. Bukankah ia baru saja lolos dari bahaya yang menakuti?

"Jangan takut!" kata Lien Yeh sambil tertawa. "Mari kita liat!" Pemuda ini berlaku tenang, dengan begitu dapat ia menentramkan sedikit hati si nyonya kawan seperjalanannya itu.

Mereka berjalan terus, hingga di sebuah tikungan. Di situ terlihat lima serdadu, dengan mencekal golok panjang, lagi pegat seorang lelaki tua yang ada bersama satu anak muda serta satu nona. Dua serdadu lagi memeriksa mengaduk-aduk buntalannya si orang tua, yang uangnya dan lainnya barang mereka pindahkan ke saku mereka sendiri. Tiga serdadu lainnya tengah mengurung si nona yang mereka perlakukan dengan ceriwis. Si nona menangis. Dialah ynag tadi menjerit.

"Lagi-lagi serdadu mengganggu rakyat jelata," kata Sek Yok ketakutan. "Mari kita lekas menyingkir..."

Yen Lieh sebaliknya tersenyum simpul.

Satu serdadu segera menghampiri dua orang ini yang mereka dapat lihat. "Diam!" dia membentak. "Kamu bikin apa?"

Yen Lieh benar-benar tidak takut, sebaliknya dari angkat kaki, ia justru maju mendekati. "Kamu ada bawahan siapa?" ia tanya, membentak. "Lekas pergi!"

Pada waktu itu tentera Song, kalau menghadapi musuh bangsa Kim, tentu mereka kalah dan lari, akan tetapi terhadap rakyat jelata, mereka galak bukan kepalang, malah mereka main merampas dan paksa. Maka itu melihat Yen Lieh cuma berdua dengan satu nyonya manis, mereka anggap inilah untung mereka. Serdadu itu lantas berseru, lalu ia maju mendekati, dituruti empat kawannya.

Sek Yok takut bukan main, ia mengeluh dalam hatinya. Tapi justru itu, kupingnya mendengar suara menyambar "Serr!" lalu satu serdadu menjerit dan rubuh, dadanya tertumblaskan sebatang busur. Segera si nyonya lihat di tangan kawannya ada gendewa yang bersinar kuning emas, malah gendewa itu dipakai memanah pula beruntun-runtun, hingga lagi tiga serdadu rubuh seperti rekannya yang pertama. Tinggal serdadu yang kelima, ia ketakutan, dia lalu putar tubuhnya untuk lari merat.

Menyaksikan orang lari ngiprit, Yen Lieh tertawa enteng. Ia lantas siapkan pula busurnya. Tepat orang lari kira enampuluh tindak, ia berpaling kepada si nyonya, sambil tertawa, ia berkata, "Tunggu sampai ia lari lagi tiga tindak, akan aku panah batang lehernya!"

Selagi pemuda ini berkata, si serdadu lari terus, maka gendewa ditarik, busur meleset mengejar dengan cepat sekali, tidak ada ampun lagi serdadu itu terpanah batang lehernya, ujung panah tembus ke tenggorokannya.

"Hebat!" memuji Sek Yok tanpa terasa.

Yen Lieh lompat turun dari kudanya, ia hampiri lima serdadu itu, untuk cabuti anak panahnya dari tubuh mereka, anak panah mana dikasih masuk ke dalam kantungnya, habis itu ia melompat naik pula ke atas kudanya. Ia tertawa girang sekali. Justru ia hendak ajak Pauw-sie melanjuti perjalanan, dari samping kiri muncul dengan tiba-tiba sepasukan serdadu dengan suara mereka yang berisik.

"Celaka!" Sek Yok menjerit karena kaget dan takut.

Yen Lieh cambuk punggung kuda si nyonya selagi ia pun kasih lari kudanya dengan begitu kedua ekor kuda segera lari keras.

"Tangkap!" berteriak tentera yang di belakang itu apabila mereka melihat mayat-mayat rekannya, lalu sambil terus berteriak-teriak, mereka mengejar.

Setelah lari serintasan, Pauw-sie menoleh ke belakang, lantas ia menjadi kaget sekali dan ketakutan, ia dapatkan sejumlah tentara pengejar lebih dari seribu jiwa, kopiahnya kopiah besi dan bajunya lapis besi juga. Seorang diri, mana bisa Yen Lieh melawan mereka itu walaupun pemuda ini lihay ilmu panahnya?

Celaka adalah kudanya si nyonya Yo ini. Karena lari terlalu keras, lukanya yang belum sembuh telah pecah pula dan mengeluarkan darah, larinya pun menjadi tambah perlahan. Kerananya ia jadi ketinggalan Yen Lieh.

Lagi selintasan, selagi tentera pengejar mendatangi semakin dekat, tiba-tiba Yen Lieh tahan kudanya, akan tunggu kudanya Pauw-sie rendengi ia, lalu dengan tiba-tiba, tanpa mengucap sepatah kata, ia sambar si nyonya untuk ditarik dan dipindahkan ke kudanya, setelah mana ia kaburkan kudanya itu.

Akan tetapi ketika itu sudah terlambat. Karena tadi ia menunda kudanya, Yen Lieh kena dicandak pengejarnya, terutama oleh pengejar yang motong jalan dari samping. Segera ia tidak punya jalan lagi, maju tidak, nyampingpun tidak. Karena itu terpaksa ia tahan kudanya.

Pauw-sie takut bukan main, mukanya pucat pasi. Yen Lieh sebaliknya tenang.

Satu perwira yang bersenjatakan sebatang golok besar, maju menghampiri. "Kau tidak hendak turun dari kudamu untuk manda dibelenggu?" perwira itu menegur."Kau hendak tunggu apalagi?"

Sebaliknya daripada serahkan diri atau ketakutan, Yen Lieh tertawa gembira. "Apakah kamu adalah pengawal pribadi dari Han Sinsiang?" ia tanya.

Heran perwira itu, hingga ia tercengang. "Kau siapa!" ia membentak.

Yen Lieh rogoh sakunya, akan keluarkan sepucuk surat. "Apakah kau tidak kenali aku?" dia bertanya. Dia tertawa pula. "Nah, kau lihatlah surat ini!"

Perwira itu melirik kepada satu serdadu di sampingnya. Ia mengedipi mata. Serdadu itu lantas sambuti surat itu untuk dihanturkan kepada pemimpinnya. Kapan perwira itu sudah membaca, mukanya menjadi pucat, dengan tergesa-gesa ia lompat turun dari kudanya untuk memberi hormat.

"Pie-cit, tidak kenali tayjin, dosaku berlaksa kali mati," katanya, "Pie-cit mohon diberi ampun...."

Tidak saja perwira itu membasakan dirinya "pie-cit" yang artinya "bawahan yang rendah", surat itu pun segera ia ancungkan ke atas kepalanya, selaku tanda hormat, dan wajahnya terus menunjuki ia bergelisah.

Yen Lieh sambuti kembali surat itu. "Nampaknya tentera mu kurang kenal tata tertib ketenteraan!" katanya sambil tertawa.

Sementara itu, Pauw-sie mengawasi kejadian denga hatinya heran bukan main.

Perwira itu menjura dalam. "Nanti pie-cit melakukan pemeriksaan untuk memberi hukuman," ia berkata, suaranya dan sikapnya sangat merendah.

Yen Lieh tertawa pula. "Kami masih kekurangan seekor kuda," katanya.

"Perwira itu tuntun kudanya sendiri. "Silahkan hujin pakai kudaku ini," pintanya. Ia bicara terhadap Pauw-sie.

Sek Yok heran yang ia dipanggil "hujin" atau nyonyanya si anak muda, mukanya menjadi merah.

Yen Lieh manggut perlahan ia lantas sambuti kudanya si perwiara. "Pergi kau sampaikan kepada Han Sinsiang," katanya. "Bilang aku ada punya urusan penting dan mesti pulang lantas, dari itu aku tak dapat pamitan lagi."

"Baik, baik, tayjin, pie-cit mengerti," kata perwira itu tetap dengan sangat hormat.

Yen Lieh tidak pedulikan lagi pemimpin pasukan itu, ia pondong Pauw-sie untuk dipindahkan ke kuda yang baru, lalu bersama-sama mereka lanjuti perjalanan mereka ke utara.

Sesudah jalan beberapa puluh tindak, Sek Yok menoleh ke belakang. Untuk herannya ia lihat si perwira dan barisannya masih belum pergi, agaknya mereka itu masih mengasih selamat jalan........ Ia berpaling kepada si anak muda, ingin ia menanya, tapi anak muda itu, sambil tertawa mendahulukan dia.

"Walaupun Han To Cu sendiri yang melihat aku, dia jerih tiga bagian," katanya, "Maka itu, apapula segala perwira itu......."

"Jikalau begitu, pastilah gampang untuk kau membalaskan sakit hatiku," kata Pauw-sie.

"Soal itu ada lain," sahut si anak muda. "Sekarang ini kita telah ketahuan siapa adanya, pihak tentera tentu telah membuatnya persediaan, apabila kita pergi menuntut balas sekarang juga, tidak melainkan kita bakal gagal, kita pun bisa mendapat celaka."

"Habis bagaimana?" si nyonya tanya pula. Ia tidak mengerti.

Yen Lieh berdiam sejenak. "Nyonya , dapatkah kau mempercayai aku?" dia bertanya.

Pauw-sie mengangguk.

"Sekarang ini mari kita balik dahulu ke utara," Yen Lieh berkata. "Kita tunggu sampai suasana reda, baru kita berangkat pula ke selatan ini untuk maksud menuntut balas itu. Nyonya legakan hati, tentang sakit hati suamimu itu serahkan kepada tanggungjawabku seorang."

Sek Yok bingung tidak berdaya. Percaya saja ia ragu-ragu. Bukankah ia sudah rudin dan tak bersanak kandung juga? Kemana ia mesti pergi untuk pernahkan diri? Bukankah lebih baik ia turut pemuda ini? Tapi dia ada satu janda, orang pun bukan sahabat bukan sanak, cara bagaimana ia bisa terus ikuti pemuda itu? Dia jadi menjublak karena kesangsiannya itu.

"Jikalau nyonya anggap saranku kurang sempurna, silahkan kau beri petunjukmu," kata Yen Lieh melihat orang berdiam saja. "Akan aku turut segala titahmu."

Menampak sikap orang itu, Sek Yok menjadi tak enak sendirinya. "Baiklah, sesukamu..." katanya perlahan, sambil tunduk.

Yen Lieh menjadi girang sekali. "Budimu yang besar, Nyonya, tak nanti aku lupakan," dia bilang. "Nyonya...."

"Harap kau tidak sebut-sebut tentang budi..." kata Sek Yok.

"Baik, baik, Nyonya...."

Lantas keduanya larikan pula kuda mereka, kadang-kadang yang satu di depan yang lain di belakang, atau setempo dengan berendang. Hawa udara ada nyaman karena itu waktu pun ada di musim pertama yang indah. Di sepanjang jalan ada kedapatan pohon-pohon yang liu dan bunga. Untuk melegakan hati si nyonya, Yen Lieh sering membuka pembicaraan.

Sek Yok heran dan kagum untuk si anak muda, ini kawan seperjalanannya yang sebenarnya asing untuknya. Ia dapati orang halus sikapnya dan menarik kata-katanya. Luas pengetahuannya si anak muda, pandai ia memilih bahan pembicaraan. Orang pun tampan dan menyenangkan untuk dipandang.

Pada tengah hari di hari ketiga, mereka tiba di Kee-hin, sebuah kota besar di Ciat-kang barat, kota dari sutera dan beras. Memangnya kota sudah ramai pada asalnya, sekarang ia terletak dekat dengan kota raja, keramaiannya menjadi bertambah sendirinya.

"Mari kita cari penginapan untuk singgah dan beristirahat dulu," Yen Lieh mengajak.

"Hari masih siang, sebenarnya kita masih dapat melanjutkan perjalanan," Sek Yok mengutarakan pikirannya.

"Disini ada banyak toko, Nyonya," Yen Lieh bilang. "Pakaianmu sudah terpakai lama, nanti aku belikan yang baru."

Sek Yok melengak. "Bukankah ini baru dibeli?" tanyanya. "Apanya yang dibilang lama?"

"Kita jalan jauh dan ditengah jalan banyak debu," terangkan si anak muda, "Dengan dipakai baru satu dua hari, pakaianmu sudah tak mentereng lagi. laginya dengan wajah ini, Nyonya, mana boleh kau tidak memakai pakaian dari bahan yang terbaik?

"Diam-diam senang hatinya Sek Yok karena orang puji kecantikannya. "Aku tengah berkabung..." katanya perlahan.

"Terang itu aku tahu," Yen Lieh bilang.

Nyonya itu lantas membungkam.

Yen Lieh terus tanya-tanya orang, akhirnya ia ajak nyonya itu ke hotel Siu sui yang paling besar untuk kota Kee-hin. Di sini mereka paling dulu bersihkan tubuh, lalu duduk bersantap.

"Kau tunggu , Nyonya, hendak aku pergi berbelanja," kemudian kata si pemuda.

Pauw-sie mengangguk.

Yen Lieh lantas pergi keluar, baru ia sampai di muka hotel, ia lihat seorang mendatangi, orang mana menyolok perhatiannya. Orang mirip dengan satu sastrawan tetapi ia jalan sambil menyeret sepatu kulit, sepatu itu berbunyi ketrak-ketruk walaupun ia jalannya perlahan. Dia pun tidak karuan dandannya, ialah pakaiannya kotor, berminyak, kotor juga mukanya yang penuh debu. Mungkin sudah belasan hari ia tidak pernah mandi. Di tangannya ia mencekal satu kipas kertas minyak warna hitam yang sudah buntut, sembari jalan dia mengipas-ipas tak hentinya.

Yen Lieh ada apik, walaupun orang mirip sastrawan, tetapi karena orang demikian jorok, tak mau ia jalan di dekatnya, khawatir tubuhnya nanti kena terlanggar, maka itu sambil mengerutkan kening, ia gancangi tindakannya.

Tiba-tiba orang jorok itu tertawa, suaranya kering, bagaikan siulannya burung malam. Dia tertawa terus beberapa kali, tertawanya itu tajam menusuk telinga.

Tepat ketika keduanya impas-impasan, si jorok itu ulur tangannya, dengan kipas bututnya dia tepuk pundaknya Yen Lieh.

Anak muda ini gagah, akan tetapi, atas tepukan itu tak keburu ia berkelit. Ia menjadi tidak senang.

"Eh, kau bikin apa'?" ia menegur.