Bab 2. Berlalunya Dua Sahabat Kekal --- Part 3

Pauw-sie kaget dan ketakutan, ia pun ngantuk dan lelah, karena kuda itu berlompat berdiri habislah tenaganya, tak dapat ia memeluki lagi leher kuda lantas saja ia rubub ke tanah dan pingsan. Ia mendusin setahu beberapa lama kemudian, ia hanya dapatkan tubuhnya rebah di atas sebuah pembaringan yang empuk kasurnya dan tubuhnya pun dikerebongi selimut kapas yang membuat ia merasa hangat. Ia buka matanya perlahan-lahan. Yang pertama ia lihat ialah langit kelambu kembang. Maka sadarlah ia yang ia telah tidur di atas pembaringan. Ia menoleh ke samping, ia dapatkan sebuah meja dan satu pelitanya. Di tepi pembaringan berduduk satu orang laki-laki dengan pakaian serba hitam.

Kapan pria itu melihat orang mendusin dan tubuhnya bergerak, lekas-lekas ia bangun berdiri, untuk singkap kelambu dan menggantungnya.

"Oh, kau sudah mendusin?" pria itu tanya, perlahan suaranya.

Biar bagaimana, Sek Yok belum sadar sepenuhnya. Samar-samar ia seperti kenal pria itu, maka ia mengawasi.

Si pria ulur tangannya, untuk meraba jidat si nyonya. "Oh, panas sekali!" katanya. "Tabib akan segera datang..."

Sek Yok memejamkan matanya, kemudian ia tertidur. Ia baru sadar ketika dengan samar-samar ia merasa ada orang yang memegang nadinya, disusul mana orang memberi ia makan obat. Ia masih tak sadar benar, malah ia bagaikan bermimpi dan mengigau ketika ia berteriak: " Engko Tiat! Engko Tiat!" Lalu ia merasa ada tangan pria yang dengan perlahan-lahan mengusap-usap pundaknya, yang menghiburi ia dengan lemah lembut.

Kapan kemudian Sek Yok mendusin pula, hari sudah terang. Ia merintih sebentar, lantas ia bangkit untuk duduk.

Seorang menghampiri dia. "Makan bubur?" tanya ia itu dari luar kelambu.

Pauw-sie mengeluarkan suara perlahan, ketika pria itu menyingkap kelambunya.

Sekarang dua muka saling berhadapan, mata mereka saling mengawasi. Sekarang Sek Yok dapat melihat denagn tegas, maka ia menjadi terkejut. Ia tampak satu wajah yang tampan, yang tersungging senyuman manis. Itulah si anak muda yang beberapa bulan yang lalu ia tolongi selagi orang terluka dan rebah tak berdaya di atas salju, yang kemudian menghilang tidak keruan paran dari gudang kayu.

"Tempat ini tempat apa?" nyonya ini kemudian tanya. "Mana suamiku?"

Pemuda itu menggoyang tangan, melarang orang berbicara.

"Sebenarnya aku bersama beberapa kawan kebetulan lewat di sini," ia berkata dengan perlahan. "Menyaksikan rombongan serdadu itu berbuat sewenang-wenang, aku tidak puas, maka aku telah tolongi kau, nyonya. Rupanya roh suci atau malaikat yang telah menunjuki aku justru tolongi penolongku..." Ia berhenti sebentar, lalu ia melanjuti: "Sekarang ini rombongan serdadu sedang mencari Nyonya, kita sekarang bearad dirumahnya seorang petani,maka itu jangan Nyonya sembarang munculkan diri. Harap Ynonya maafkan aku, dengan lancang aku telah mengaku bahwa akulah suami Nyonya..."

Mukanya Sek Yok menjadi merah, akan tetapi ia mengangguk.

"Mana suamiku?" ia tanya.

"Sekarang kau letih dan lemah sekali, Nyonya," kata pula si anak muda. "Nanti saja setelah kesehatanmu pulih, aku berukan keteranganku. Sekarang baiklah kau beristirahat dulu."

Sek Yok terperanjat. Dari caranya orang berbicara, mungkin suaminya telah menampak sesuatu kecelakaan.

"Dia...dia kenapa, suamiku itu?" ia tanya, tangannya mencekal keras-keras pada ujung kasur.

"Nyonya, jangan bergelisah tidak karuan," orang itu menhibur, "Untukmu paling baik adalah merawat diri..."

"Apakah dia...dia telah meninggal dunia?" Sek Yok menanya.

Pemuda itu mengangguk.

"Ya, ia telah dibinasakan oleh rombongan serdadu itu..." ia beri pebyahutan.

Sek Yok kaget, ia lantas pingsan. Ketika kemudian ia sadar, ia menangis sesambatan.

"Sudahlah," si anak muda menghibur pula.

"Bagaimana caranya ia meninggal dunia?" Pauw-sie tanya.

"Bukankah suami Nyonya berumur duapuluh kurang lebih, tubuhnya tinggi dan lebar, yang bersenjatakan sebatang tombak panjang?" si anak muda tegaskan.

"Benar dia."

"Aku tengah melawan tiga musuh ketika satu musuh jalan mengitar ke belakangnya suamimu itu yang dia tombak punggungnya," si anak muda beritahu.

Lagi-lagi Sek Yok pingsan. Besar sangat cintanya kepada suaminya. Maka itu hari ia tidak dahar nasi atau minum. Ia berkeputusan nekad untuk binasa bersama suaminya itu.

Si pria kelihatan halus budi pekertinya, ia tidak memaksa, ia hanya dengan manis budi menghibur dan membujuki untuk nyonya legakan hati.

"Apa she dan nama Tuan?" kemudian Sek Yok menanya. Ia menjadi tak enak hati untuk bersikap tawar terus. "Kenapa kau ketahui kita terancam bahaya dan kau dapat menolongi?"

Pria itu bersangsi agaknya. ia telah buka mulutnya tetapi ia batal bicara. kemudian barulah ia bisa omong juga.

"Aku ada orang she Yen dan namaku Lieh. Rupanya karena jodoh kita telah dapat bertemu satu dengan lain." ia menyahut akhirnya

Merah mukanya Sek Yok akan dengar itu perkataan "jodoh", ia balik kepalanya ke sebelah dalam pembaringan. Tetapi hatinya bukan tidak bekerja. Maka tiba-tiba saja timbul kecurigaannya.

"Apakah kau dan tentera negeri itu datang dari satu jurusan?" ia tanya

"Ke...kenapa?" Yen Lieh tanya.

"Bukankah baru ini kau dapat luka karena kau bersama tentera negeri hendak mencoba menawan Khu Totiang?" Sek Yok tanya pula tanpa pedulikan pertanyaan pemuda itu.

"Kejadian hari itu sungguh membuat aku penasaran!" bsahut Yen Lieh. "Aku datang dari utara, hendak aku pergi ke Lim-an, selagi aku lewat di kampungmu itu, tiba-tiba sebatang busur nyasar telah menyambar pundakku. Coba tidak kau tolongi aku, Nyonya, pastilah aku terbinasa kecewa, tak tahu sebab musababnya. Sebenarnya imam siapa yang hendak mereka tawan itu?"

"Oh, kiranya kau kebenaran lewat saja dan bukannya dari satu rombongan dengan mereka itu?" berkata Sek Yok, romannya heran, "Aku tadinya menyangka kau juga hendak bantu menawan Khu Totiang, hingga pada mulanya tak ingin aku menolongi kau."

Sampai di situ, Pauw-sie tuturkan halnya Khu Cie Kee hendak ditawan tentera negeri, karena mana imam itu telah membuatnya perlawanan dahsyat.

Yen Lieh mengawasi orang berbicara, agaknya ia kesengsem. Sek Yok dapat lihat kelakuan orang itu.

"Eh, kau hendak dengari ceritaku atau tidak?" ia menegur.

Yen Lieh terkejut, lalu ia tertawa.

"Ya, ya aku tengah memikirkan cara bagaimana kita dapat meloloskan diri dari rombongna serdadu itu," ia menjawab. "Tidak ingin aku yang kita nanti kena di bekuk mereka..."

Sek Yok menangis.

"Suamiku telah terbinasa, untuk apa aku memikirkan hidup lebih lama...?" katanya. "Baik kau pergi sendiri saja..."

"Tetapi Nyonya!" peringatkan Yen Lieh. "Suamimu telah dibinasakan hamba negeri, sakit hatimu belum terbalas, bagaimana kau Cuma ingat kematian saja? Nanti suamimu, yang berada di tanah baka, matanya tak meram..."

Nyonya itu terkejut, tetapi ia lemah hatinya. "Aku seorang perempuan, bagaimana dapat aku membalas dendam?" tanyanya.

Yen Lieh kelihatannya murka. "Biarnya aku bodoh, akan aku coba membalas dendam untukmu, Nyonya!" katanya keras. "Apakah nyonya tahu, siapa musuh nyonya suamimu itu?"

Nyonya Yo Tiat Sim berpikir sejenak. "Dia itu yang menjadi perwira yang mengepalai barisannya, namanya Toan Thian Tek," sahutnya kemudian. "Dia mempunyakan tanda biru di mukanya."

"Dia telah diketahui she dan namanya, gampang untuk mencari dia," berkata si anak muda. Ia terus pergi ke dapur, untuk sendok semangkok bubur serta sebutir telur asin.

"Jikalau kita tidak pelihara kesehatanmu, cara bagaimana kau bisa menuntut balas?" katanya perlahan setelah ia bawakan bubur dan telu asin itu kepada si nyonya.

Pauw-sie anggap perkataan itu benar, ia sambuti bubur itu lalu ia dahar dengan perlahan-lahan.

Besok paginya, Pauw-sie turun dari pembaringannya, setelah rapikan pakaiannya ia hadapi kaca untuk sisiri rambutnya. Ia cari sepotong kain putih, ia gunting itu merupakan setangkai bunga, lalu ia selipkan di kondenya. Itulah tanda ia berkabung untuk suaminya. Kapan ia mengawasi kaca, ia tampak romannya yang cantik bagikan bunga akan tetapi npemiliknya telah tak ada – yang satu tetap menjadi seorang manusia, yang lain telah menjadi setan.... Ia menjadi sedih sekali, maka ia menangis dengan mendekan di meja.

Yen Lieh bertindak masuk selagi si nyonya menangis, ia tunggu sampai orang sudah sedikit reda, ia berkata: "Tentera di luar sudah berlalu, mari kita berangkat."

Sek Yok susut air matanya, ia berhenti menangis, lalu ia turut keluar dari rumah itu.

Yen Lieh serahkan sepotong perak kepada tuan rumah, yang siapkan dua ekor kuda, satu diantaranya adalah kudanya Sek Yok, yang terkena panah, yang sekarang telah diobati lukanya.

"Kita menuju kemana?" tanya Pauw-sie.

Yen Lieh kedipi mata, untuk cegah si nyonya sembarang bicara di depan orang lain, kemudian ia membantui nyonya itu naik ke atas kuda, maka di lain saat, keduanya sudah jalankan kuda mereka berendeng menuju ke utara.

Belasan lie telah mereka lalui. "Kau hendak bawa aku kemana?" akhirnya Sek Yok menanya pula.

"Sekarang kita cari dahulu tempat sepi untuk tinggal sementara waktu," Yen Lieh jawab. "Kita tunggu sampai suasana sudah mulai reda, baru kita pergi cari jenazah suamimu, untuk dikubur dengan baik, kemudian baru kita pergi cari si Toan Thian tek si jahanam itu guna menuntut balas."

Sek Yok lemah hatinya, lemah lembut sikapnya, ia memang tak dapat berpikir apa-apa. Sekarang mendengar omongan yang beralasan dari pemuda ini, ia bukan saja suka menerima, malah ia bersyukur sekali.

"Yen, Yen Siangkong, bagaimana kau harus membalas budimu ini?" katanya.

"Jiwaku ini adalah nyonya yang tolongi," sahut Yen Liah, "Maka itu tubuhku ini aku serahkan kepada nyonya untuk nyonya suruh-suruh, walaupun badanku hancur dan tulang-tulangku remuk, meskipun mesti menyerbu api berkobar-kobar, itu sudah selayaknya saja."

Dua hari mereka berjalan, sore itu mereka singgah di dusun Tiang-an-tin. Kepada pengurus hotel, yang didatangi, Yen Lieh mengaku bahwa mereka berdua adalah suami-istri, karenanya ia meminta satu kamar.

Sek Yok tidak bilang suatu apa, akan tetapi hatinya tidak tentram, karena itu diwaktu bersantap, ia bungkam, diam-diam ia meraba pedang peninggalan Khu Cie Kee, didalam hatinya ia bilang: "Asal dia berlaku kurang ajar sedikit saja, akan aku bunuh diriku!"

Yen Lieh menitahkan jongos ambil dua ikat rumput kering, ia tunggu sampai si jongos itu sudah keluar, ia lantas kunci pintu, rumput kering itu ia delar di lantai, di situ ia rebahkan dirinya terus ia tutupi dengan gudri.

"Nyonya silakan tidur!" ia berkata, sesudah mana terus ia meramkan matanya.

Hatinya Nyonya Yo berdebar-debar, matanya memandang ke satu arah. Ia jadi ingat suaminya, hatinya menjadi sangat berduka. Ia tidak lantas rebahkan diri, untuk setengah jam ia masih duduk bercokol. Di akhirnya ia menghela napas panjang, habis padamkan api lilin, baru ia tidur tanpa buka pakaian luar lagi, pedang pendeknya tergenggam di tangannya.