Bab 2. Berlalunya Dua Sahabat Kekal

Ternyata Pauw-sie mendapati bahwa orang itu belum mati dan pundaknya menancap sebatang anak panah. Batang patah juga berlepotan darah.

Nyonya ini bernama Sek Yok, nama ini tepat sama sifatnya, yang selalu berhati murah. Nama itu pun berarti "menyayangi yang lemah". Begitulah diwaktu masih kecil, jikala ia melihat burung gereja atau ayam terluka, atapun kutu seperti semut, tentu ia mengobatinya, sampai binatang itu sembuh, kalau tidak, ia buatnya berduka. Karena ini, dikamarnya ia rawat banyak kutu. Sifat ini tidak berubah sampai ia menikah, dari itu kebetulan untuknya Yo Tiat Sim, suaminya tidak menentangi padanya, maka juga di belakang rumahnya ia ada pelihara banyak burung dan binatang peliharaan lainnya. Suatu sifat lagi ialah Pauw-sie tidak tega menyembelih binatang piaraannya untuk suaminya dahar ayam, ia sengaja beli di pasar, ayamnya sendiri ia pelihara hingga matinya ayam itu.

Demikian kali ini, melihat orang terluka parah timbul rasa kasihannya, walaupun ia tahu orang bukannya orang baik-baik. Cuma bersangsi sejenak, lantas ia lari pulang, niatnya untuk mengasih bangun suaminya. Tiat Sim lagi tidur nyenyak, mungkin disebabkan mabuk arak, ia tak mendusin kendati istrinya sudah gonyang-gonyang tubuhnya.

Pauw-sie menjadi sibuk. Ia tahu orang perlu lekas ditolongi. Akhirnya dengan terpaksa ia ambil obat-obatan suaminya, dengan bawa pisau kecil dan sepotong cita, juga arak yang hangat, ia kembali pada si luka. Biasa merawat binatang, ia jadi juga bisa merawat orang luka. Begitu setelah belek sedikit daging di dekat panah nancap, dengan sekeras tenaga, ia cabut anak panah itu. Si luka menjerit, lalu pingsan. Panahnya tercabut, darahnya muncrat mengenai bajunya si nyonya.

Dengan hati memukul sendirinya, Pauw-sie lantas obati luka itu, ia bungkus dengan rapi.

Selang sekian lama, si luka sadar pula, tapi ia sangat lemah, rintihannya pun sangat perlahan.

Pauw-sie tidak kuat angkat tubuh orang, tetapi ia dapat akal, ia pulang untuk ambil sehelai papan pintu, ia letaki itu diatas salju, lalu ia tarik orang ke atas papan itu, lantas ia tarik sekuat-kuatnya. Ia tempatkan si luka di gudang kayu.

Sampai ia telah salin pakaian, hati Pauw-sie masih belum tentram betul. Ia masak daging kuwah semangkok, lalu ia bawa ke belakang. Hari sudah gelap, ia bawa lilin. Sejak di depan pintu gudang, ia sudah dengar suara bernapas perlahan. Jadi orang itu tidak mati. Ia masuk ke dalam, ia berikan daging kuwah itu.

Si luka makan sekira setengah mangkok, lalu ia batuk-batuk keras.

Dengan bantuan api lilin, pauw-sie awasi muka orang. Ia dapatkan satu pemuda yang tampan, hidungnya mancung. Karena tangannya gemetar, tanpa ia merasa ia kena bikin tetesan lilin jatuh ke muka orang itu, yang lantas buka kedua matanya. Kaget ia akan lihat si nyonya cantik, sinar matanya jernih, kulitnya merah dadu.

"Apa yang kau rasakan baikan?" Pauw-sie toh menanya. "Mari makan habis daging kuwah ini....."

Orang itu ulur tangannya, akan sambuti mangkok, tetapi ia lemah, hampir ia bikin mangkok itu terlepas. Maka terpaksa Pauw-sie bawa mangkok itu kemulutnya.

Habis makan kuwah, nampaknya orang itu segaran. Dengan mata bersinar, ia awasi si nyonya, agaknya ia berterima kasih.

Pauw-sie likat diawasi orang itu, maka lekas-lekas ia ambil rumput, akan tutupi tubuh orang itu, lalu dengan membawa lilinnya, ia balik ke kamarnya. Ia tidak dapat tidur tenang, diwaktu pulas, ia mimpi yang hebat-hebat, umpamanya suaminya tombak mati orang itu atau dua ekor harimau kejar padanya sampai ia tak tahu mesti lari ke mana. Beberapa kali ia mimpi, beberapa kali ia sadar, dengan hati tergoncang. Ketika akhirnya ia mendusin diwaktu pagi, ia dapatkan suaminya lagi gosok tombaknya. Ia ingat kejadian semalam, ia jadi kaget sendirinya. Diam-diam tapi dengan lekas, ia pergi ke belakang, ke gudang kayu. Selekasnya ia membuka pintu gudang, ia jadi terlebih kaget lagi. Di sana tak ada si luka, rumputnya teruwar kalang kabutan! Ia lantas pergi ke pintu belakang, ia lihat pintu cuma dirapatkan, di atas salju terlihat bekas orang merayap pergi, tujuannya ke arah barat. Ia mengawasi ke arah itu, pikirannya tidak karuan. Sampai sekian lama, setelah mukanya ditiup angin dingin, baru ia sadar. Itu waktu ia pun merasai pinggangnya ngilu dan lemas, ia jadi lelah sekali, maka itu, ia lantas kembali ke dalam.

Tiat Sim masak bubur putih, yang diletaki di atas meja. "Kau lihat!" kata suaminya dengan tertawa. "Bubur masakanku tak ada celaannya, bukan?"

Istri itu tertawa, ia tahu karena ia sedang hamil, suaminya itu yang sangat menyayangi ia telah masaki ia bubur. Ia lantas dahar bubur itu. Itu waktu ia telah ambil keputusan akan tutup mulut tentang si terluka yang ia tolongi itu, sebab ia tahu kebencian suaminya terhadap orang jahat, apabila suaminya diberitahukan, pasti ia bakal binasakan orang itu.

Sejak itu beberapa bulan telah berlalu; dengan lewatnya sang waktu, Pauw-sie juga telah lupai itu peristiwa yang ia sudah tolongi orang yang luka.

Pada suatu hari, Tiat Sim dan istrinya pergi ke rumah Siauw Thian, untuk bersantap dan minum arak, sorenya mereka pulang, akan terus masuk tidur. Tepat tengah malam, tiba-tiba Pauw-sie mendusin dan melihat suaminya telah bangun juga dan sedang duduk di atas pembaringan. Ada sesuatu yang mengejutkan suaminya itu hingga ia jadi terjaga dari tidurnya. Dan istri ini masih lungu-lungu ketika kupingnya dapat tangkap suara samar-samar dari tindakan kaki kuda di atas es, makin lama makin nyata, datangnya dari barat ke timur, kemudian itu disusul sama suara serupa yang datangnya dari arah timur. Ia menjadi kaget pula apabila ia dengar pula suara dari selatan dan utara.

"Toako!" katanya pada suaminya sambil bangun untuk berduduk, "Kenapa ada suara kuda dari empat penjuru?"

Tiat Sim tidak menyahuti, ia hanya segera turun dari pembaringan untuk rapikan pakaiannya.

Tindakan kuda dari empat penjuru datang semakin dekat, lalu disusul sama gongongan anjing kampung yang menyahutnya.

"Kita kena dikurung" kata Tiat Sim kemudian.

Pauw-sie terkejut. "Untuk apakah?" tanyanya

"Entahlah!" jawab suaminya itu. Ia terus serahkan pedang pemberian dari Khu Cie Kee seraya memesan: "Kau pegang ini untuk menjaga dirimu!"

Tiat Sim buka jendela, untuk melihat keluar, karena itu suara kuda sudah datang mendekat sekali. Ia lihat tegas kampungnya telah dikurung oleh sejumlah tentera, kurungannya berlapis. Ia dapat melihat karena tentera itu ada membawa obor yang diangkat tinggi-tinggi. Perwira yang memegang pemimpin ada tujuh atau delapan orang.

"Tangkap pengkhianat! Jangan kasih dia lolos!" demikian tentara itu mulai berseru-seru.

"Apakah ada pengkhianat yang lolos kemari?" Tiat Sim menduga-duga. Ia cekal tombaknya untuk melihat gelagat.

Tiba-tiba satu perwira berseru: "Kwee Siauw Thian! Yo Tiat Sim! Kamu berdua pemberontak, lekas muncul untuk terima diringkus!"

Tiat Sim menjadi kaget, sedang Pauw-sie menjadi pucat mukanya.

"Entah kenapa pembesar negeri memfitnah rakyat," kata Tiat Sim kemudian, "Tidak ada jalan lain, kita mesti menerobos keluar! Kau jangan takut, walaupun musuh berjumalh puluhan ribu, akan aku lindungi padamu!"

Dasar turunan orang peperangan. Tiat Sim tidak menjadi kacau pikirannya. dengan tenang tetapi sebat, ia siapkan panahnya, terus ia pegangi tangan kanan istrinya.

"Nanti aku berbenah dulu..." kata Pauw-sie.

"Apa lagi yang hendak dibenahkan?" kata suaminya itu. "Apa juga tak dapat.

Lemah hatinya istri itu, lalu tiba-tiba ia menangis. "Dan rumah ini?" katanya.

"Asal kita dapat lolos, nanti di lain tempat kita membangun pula rumah kita!" sahut sang suami.

"Dan itu anak-anak ayam dan anak-anak kucing?" istri itu menanya pula.

Tiat Sim menghela napas. "Ah, orang tolol, kamu masih memikirkan segala binatang itu! Mana dapat?"

Baru Tiat Sim mengucap demikian, di luar kembali terdengar seruan berisik dan api terlihat berkobar. Dua ruang di depan telah dibakar, lalu dua orang serdadu Song mulai menyulut payon rumah.

Bukan main mendelunya Tiat Sim. Ia buka pintu dan muncul. "Aku Yo Tiat Sim!" ia perkenalkan diri. "Kamu hendak bikin apa?"

Dua serdadu itu kaget, mereka memutar tubuh, sembari melemparkan obornya, mereka lari balik.

Di antara cahya api, satu perwira maju dengan kudanya. "Kamu Yo Tiat Sim? Bagus!" ia berkata. "Mari ikut kami menghadap pembesar kami! Tangkap!"

Lima serdadu lantas merangsak.

Tiat Sim geraki tombaknya, dalam jurus "Ouw liong pa bwee", atau " Naga hitam menggoyang ekor," lalu tiga serdadu roboh terguling, kemudian dengan susulannya "Cun lui cin nouw" atau "Geledak musim semi murka," ia rubuhkan satu yang lain, yang tubuhnya ia lempar balik ke dalam barisannya.

"Untuk menangkap orang, kamu mesti lebih dahulu beritahukan kedosaannya!" ia membentak.

"Pemberontak bernyali besar!" teriak si perwira. "Kau berani melawan?!"

Mesti begitu ia gentar hari, tak berani ia maju mendekati. Adalah satu perwira lain yang berada dibelakangnya, mewakilkan ia maju. Berkatalah perwira ini: "Baik-baik saja ikut kami ke kantor, kau akan bebas dari kedosaan berat. Di sini ada surat titah!"

"Kasih aku lihat!" bentak Tiat Sim.

"Masih ada satu pemberontak lainnya, yang she Kwee?!" kata perwira itu.

"Kwee Siauw Thian ada di sini!" sahut Siauw Thian yang tiba-tiba muncul di muka jendela, panahnya telah siap sedia.

Perwira itu terkejut, hatinya ciut.

"Letakan panahmu," katanya. "Nanti aku bacakan surat titah ini...."

"Lekas baca!" bentak Siauw Thian, yang justru tarik semakin melengkung gandewanya itu.

Terpaksa dengan ketakutan, perwira itu membaca. Itulah surat titah untuk menawan Kwee Siauw Thian dan Yo Tiat Sim dua penduduk Gu-kee-cun, yang dituduh berontak melawan negara, sudah bersekongkol sama penjahat besar.

"Surat titah ini datang dari kantor mana?" Siauw Thian tanya.

"Inilah surat titah tulisannya Han Sinsiang sendiri!" jawab perwira itu.

Dua-dua Siauw Thian dan Tiat Sim terkejut. "Hebat urusan, sampai Han Sinsiang sendiri yang turun tangan menulis surat titah?" mereka berpikir. "Mungkin ini disebabkan terbukanya rahasia Khu Cinjin telah membinasakan banyak hamba negara?"

"Siapakah yang mendakwa? Apa ada buktinya?" tanya Siauw Thian pula.

"Kita cuma mesti menawan orang!" kata si perwira. "Nanti di muka pembesar kamu boleh bicara!"

"Han Sinsiang gemar menfitnah orang baik-baik, siapa tidak tahu itu?" kata Tiat Sim. "Kami tak sudi kena jebak!"

Dengan perlahan Tiat Sim kata pada istrinya: "Pergi lapis bajumu, akan aku rampas kuda dia itu untukmu! Akan aku panah perwira itu, tenteranya bakal jadi kacau!" Dan terus ia tarik panahnya, maka setelah satu suara "Ser!" si perwira berkoak keras, tubuhnya terjungkal dari kudanya.

Semua serdadu lantas berteriak-teriak. "Maju! Tangkap!" berseru perwira yang satunya.

Sejumlah serdadu taati titah itu, akan tetapi selagi maju, mereka disambut busur-busurnya Siauw Thian dan Tiat Sim berdua, hingga enam atau tujuh diantaranya rubuh seketika. Akan tetapi jumlah mereka ini besar, dibawah anjuran pembesarnya, mereka maju terus.

Tiat Sim menjdai mendongkol, ia tukar panah dengan tombaknya, setelah ia lompat keluar pintu, ia sambut penyerang-penyerangnya. Rombongan serdadu itu kena terpukul mundur. Atas itu, Tiat Sim melompat kepada satu perwira yang menunggang seekor kuda putih, ia menyerangnya. Perwira itu menangkis dengan tombaknya. Ia tapinya tak kenal ilmu tombak keluarga Yo, pahanya kena ditikam, maka dengan satu gentakan, tubuhnya terpelanting ke tanah.

Dengan menekan tombaknya ke tanah, Tiat Sim lompat ke atas kuda putih, maka sesaat saja, ia sudah menerjang ke muka pintu rumahnya. Ia tikam rubuh satu serdadu Song, yang menghalangi dia, kemudian dengan satu jembretan, ia angkat tubuh istrinya naik ke kudanya. Itu waktu Pauw-sie sudah siap menanti padanya.

"Kwee Toako, mari turut aku!" orang she So itu teriaki saudara angkatnya.

Siauw Thian tengah menyerang seru dengan sepasang tombak pendeknya yang bercagak. Ia membuka jalan untuk istrinya Lie-sie yang bernama Peng.

Beberapa perwira tidak dapat mencegah kedua orang gagah itu, terpaksa mereka menitahkan menggunai anak panah.

"Enso, lekas naik!" seru Tiat Sim, yang hampiri Lie-sie. Ia pun lantas lompat turun dari kudanya.

"Tidak bisa...." berkata Lie-sie.

Diwaktu demikian, tidak ada lagi aturan sungkan, maka tanpa bilang suatu apa, Tiat Sim cekal tubuh iparnya, untuk segera diangkat naik ke punggung kuda, kemudian ia bersama Siauw Thian mengikuti dari belakang, untuk melindungi.

Lolos belum jauh, di sebelah depan mereka dicegat oleh satu pasukan lain. Riuh suara tentera itu, hebat serbuannya. Tiat Sim dan Siauw Thian mengeluh di dalam hati. Karena terpaksa, mereka jadi memikir untuk cari jalan lolos.

Sekonyong-konyong terdengar suara panah sar-ser, lalu Pauw-sie menjerit keras. Kuda putih terpanah, kaki depannya tertekuk, lalu tubuhnya ngusruk. Pauw-sie rubuh bersama Lie-sie, yang pun ikut berteriak.

Tiat Sim kaget tetapi ia tabah. "Toako, lindungi mereka, akan aku rampas kuda pula!" serunya. Lalu dengan memutar tombaknya, ia menerjang musuh.

Kwee Siauw Thian berpikir lain daripada saudara angkatnya itu.

"Terang kita berdua tidak bakal dapat menerobos kurungan musuh ini, atau istri kita sukar ditolongi. Karena kita tidak bersalah dosa, daripada antarkan jiwa disini, baiklah kita menemui pembesar negeri untuk berbicara dengannya."

Maka itu, ia teriaki adik angkatnya itu: "Adik, mari kita ikuti mereka ke kantor!"

Tiat Sim heran, akan tetapi ia hampiri saudaranya itu.

Perwira pemimpin tentera itu menitahkan menunda penyerangan, tetapi mereka mengurung rapat-rapat. "Letaki senjatamu, kami akan beri ampun jiwa kamu!" ia berteriak.

"Toako, jangan kena diperdayakan!" Tiat Sim mengingatkan.