Bab 1. Pertempuran di Tanah Bersalju --- Part 2

"Totiang, mari minum kuwah ini!" katanya. Ia letaki mangkok itu di atas meja.

Si imam bukan menerima kuwah iru, ia sebaliknya menggebrak meja hingga mangkok itu terbang berikut mejanya. Ia pun berseru :"Kawanan tikus, hari ini toyamu membuka pantangan membunuh!"

Menampak itu, meluaplah amarah Tiat Sim, maka ia melompat ke ujung ruang untuk menyambar tombaknya, lalu ia terus lari keluar, ke depan pintu dimana salju terhampar luas.

"Mari, mari!" ia menantang. "Mari belajar kenal dengan tombak keluarga Yo!"

Imam itu tersenyum. "Tikus, pantaskah kau menggunai ilmu silat tombak keluarga Yo?" tanyanya. Ia bersuara sambil tubuhnya melompat keluar.

Melihat keadaan mengancam itu, Siauw Thian lari untuk mengambil sepasang gaetannya, dengan lekas ia berbalik kembali.

Imam berdiri tanpa menghunus pedangnya, Cuma sang angin menyampok-nyampok ujung bajunya.

"Hunus pedangmu!" seru Tiat Sim.

"Ah, dua tikus, kamu berdua majulah berbareng!" sahut si imam. "Toya kamu akan layani kamu dengan tangan kosong!"

Takabur bukan main orang pertapaan ini, hingga Tiat Sim tidak berayal sejenak juga untuk segera menikam dengan tombaknya yang beronce merah itu. Ia gunai tipu silatnya "Tok Liong Cut Tong" atau "Naga berbisa keluar dari gua"

"Bagus!" seru si imam kagm menampak serangan itu yang menuju ke dadanya. Ia berkelit ke samping, tangan kirinya bergerak, untuk sambar kepala tombak itu.

Lihay ilmu silat tombak keluarga Yo itu – Yo-kee Chio-hoat. Ketika Yo Cay Hin bersama tigaratus serdadunya – tentara kerajaan Song menghadapi empat laksa serdadu Kim, seorang diri ia telah membinasakan dua ribu lebih serdadu musuh berikut banyak perwiranya, sebelum akhirnya ia roboh karena terkena banyak panah, waktu ia binasa dan bangsa Kim membakar tubuhnya, dari dalam tubuhnya itu kedapatan banyak ujung panah, sebab selagi ia terpanah, gagang panah ia patahkan. Karena ini bangsa Kim menjadi jeri dan mengaguminya. Tiat Sim tidak segagah leluhurnya itu tetapi ilmu silatnya cukup sempurna, begitulah ia mencoba mendesak si imam tidak di kenal itu yang senantiasa lolos dari tikaman, tempo habis sudah dijalankan semua tujuh puluh dua jurus ilmu tombak itu, dia tidak kurang sesuatu apa. Baru sekarang si anak muda menjadi gentar, terpaksa ia seret tombaknya untuk keluar dari kalangan.

Imam itu mengejar apabila ia dapatkan lawannya itu lari.

Sekonyong-konyong Tiat Sim berseru keras, tubuhnya berputar balik, berbareng dengan itu, dengan kedua tangannya memegangi gagang tombak, ia menikam dengan hebat sekali. Itulah tipu silat "Cwie-pek po-kian" atau "menggempur tembok". Dengan tipu itu, musuh dibikin tidak menyangka dan menjadi kaget. Dengan tipu ini juga dulu Yo Cay Hin membikin rubuh Gak Hoan, adiknya Gak Hui.

"Bagus!" seru si imam buat kedua kalinya. Ia tidak menjadi gugup, justru ketika ujung tombak sampai, ia menyambutnya dengan kedua telapak tangan dirangkap, ditempel menjadi satu dengan keras, hingga ujung tombak itu kena terjepit.

Tiat Sim kaget bukan kepalang. Ia mendorong dengan keras, tombaknya itu tak dapat maju melewati telapak tangan lawan. Ketika ia menarik dengan sekuat tenaga, betotannya pun sia-sia belaka, tombaknya tak terlepas dari cekalan lawannya itu, kuda-kuda si imam juga nancap bagaikan terpaku. Tiga kali ia mencoba menarik tanpa hasil, mukanya menjadi merah.

Tiba-tiba saja si imam tertawa, lalu jepitan tangannya terlepas. Tapi ia tidak Cuma melepas, tempo tombak tertarik pulang, ia membacok dengan tangan kanannya kepada tombak, hingga dengan bersuara nyaring, tombak besi itu patah menjadi dua potong!

Imam itu segera tertawa pula, lalu ia berkata. Kali ini dengan suara manis. "Tuan, benar lihay ilmu silat tombakmu!" katanya. "Maaf untuk perbuatanku ini! Mohon ku tanya she ( marga ) tuan"

"Aku yang rendah she Yo bernama Tiat Sim," sahut Tiat Sim, selagi ia belum dapat tenangkan diri. Ia kesakitan pada kedua tangannya, ia pun heran sekali.

"Pernah apakah Tuan dengan Ciangkun Yo Cay Hin?" tanya si imam.

"Ia adalah leluhur saya," jawab Tiat Sim pula.

Mendadak si imam itu menjura kepada saudara angkat itu, sikapnya hormat sekali.

"Maaf, barusan aku menyangka Tuan-tuan adalah orang jahat," ia berkata dengan pengakuannya. 

"Aku tidak sangka Tuan-tuan adalah turunan orang-orang setia. Boleh kutanya she Tuan?" ia lanjuti kepada Siauw Thian.

Dengan cara hormat Siauw Thian perkenalkan dirinya.

"Tuan ini kakak angkatku, dia adalah keturunan dari Say Jin Kui Kwee Seng dari gunung Liang San," Tiat Sim menambahkan.

"Bagus!" berkata si imam, ia pun minta maaf pada pemuda she Kwee itu. Kembali ia menjura.

Tiat Sim berdua membalas hormatnya.

"Silahkan Totiang minum arak pula," ia mengundang pula kemudian.

"Memang kuingin minum dengan puas bersama jiwi!" kata si imam denagn tertawa.

Tiat Sim dan Siauw Thian undang orang masuk pula ke dalam.

Pauw-sie menyaksikan pertempuran dari muka pintu, girang ia mengetahui kesudahannya orang menjadi sahabat, ia terus lari ke dalam, untuk menyiapkan pula arak dan barang hidangan.

Kali ini Tiat Sim dan Siauw Thian tanya gelaran si imam.

"Pinto she Khu bernama Cie Kee," sahut imam itu.

Siauw Thian terperanjat mendengar nama itu. "Oh, apa bukannya Tiang Cun Cinjin?" ia menyela.

"Itulah nama pemberian rekan-rekanku, pinto malu menerimanya," kata Cie Kee sambil tertawa.

Siauw Thian segera berkata kepada adik angkatnya: "Adik, totiang ini adalah orang gagah nomor satu di ini jaman! Sungguh beruntung kita dapat berjumpa dengannya!"

"Oh!" Tiat Sim berseru kaget. Lalu berdua, mereka berlutut di depan imam itu.

Khu Cie Kee tertawa, ia memimpin bangun orang. "Hari ini pinto telah membunuh seorang jahat, karenanya para pembesar negeri sedang mencari aku," ia berkata. "Barusan pinto lewat di sini, pinto lihat kamu berdua lagi minum arak. Di sini adalah kota raja dan kamu kelihatannya bukan sembarang orang, dari itu pinto menjadi curiga sendiri...."

"Keliru adalah saudaraku ini, yang tabiatnya keras," Siauw Thian bilang. "Totiang lihat sendiri, dia suruh lantas turun tangan, pantas kalau Totiang jadi curiga karenanya."

Siauw Thian dan Tiat Sim tertawa. Begitulah mereka lalu minum dan dahar dengan gembiranya.

"Sebenarnya pinto adalah orang utara," kemudian Tian Cun Cinjin berkata pula. "Rumah tanggaku hancur lebur karena kejahatan bangsa Kim, sedang pemerintah selalu mencari muka daripadanya, dari itu pinto telah sucikan diri." Ia terus tuding kepala manusia yang remuk dan yang tergeletak di lantai itu. "Dia itu adalah Ong To Kian, si pengkhianat besar. Pada tahun yang lalu kaisar mengutus dia kepada raja Kim, buat memberi selamat ulang tahun raja itu. Ketika itu digunai ia untuk bersekongkol, supaya bangsa Kim bisa menyerbu ke Kanglam. Pinto susul dia selama sepuluh hari, baru ia dapat dicandak, lalu pinto membunuhnya. Pikiranku sedang kacau maka juga tadi pinto berlaku tidak selayaknya."

Siauw Thian dan Tiat Sim membilang tidak apa. Mereka memang kagumi imam ini yang kesohor lihay ilmu silatnya. Sekarang ternyata orangpun menyinta negara, mereka lebih-lebih lagi menghormatinya. Lalu mereka mohon pengajaran silat. Khu Cie Kee tidak keberatan, lalu ia memberi beberapa petunjuk.

"Totiang, sunggguh beruntung kami dapat bertemu dengan Totiang," kemudian Tiat Sim utarakan isi hatinya, "Maka itu sudilah Totiang berdiam untuk beberapa hari di gubuk kami ini."

Imam itu hendak menjawab tuan rumah itu, ketika mendadak air mukanya berubah.

"Ada orang datang mencari aku," ia bilang, "Ingat, tidak peduli bagaimana denganku, sebentar kamu tidak boleh munculkan diri! Mengerti?!"

Siauw Thian dan Tiat Sim heran akan tetapi mereka lantas mengangguk.

Cie Kee lantas sambar kepalanya Ong To Kian, dengan cepat ia bertindak keluar, lalu gesit bagaikan burung terbang ia loncat naik ke atas sebuah pohon besar di dalam pekarangan, di situ ia umpatkan dirinya.

Siauw Thian berdua heran bukan buatan. Kecuali deruan angin, mereka tidak dengar suara lainnya, mereka pun tidak nampak apa-apa. Baharu kemudian, sesudah memasang kuping dan angin pun lewat, mereka dengar tindakan kaki kuda.

"Sungguh jeli kuping cinjin!" puji Tiat Sim

Suara kuda itu datang semakin mendekat, dan kemudian tampaklah belasan penunggang kuda, setiap penunggangnya mengenakan pakaian hitam dan kopiah hitam. Mereka itu menghampiri pintu, setelah tiba, orang yang pertama pecahkan kesunyian: "Sampai di sini bekas-bekas kakinya, lalu lenyap!"

Beberapa orang lompat turun dari kudanya, mereka periksa tapak kakinya Khu Cie Kee.

Siauw Thian dan Tiat Sim berdua sembunyi di dalam rumah, dari mana mereka mengintai di antara sela-sela jendela. Mereka dapat kenyataan orang semuanya gesit, suatu tanda dia orang mengerti ilmu silat dengan baik.

"Masuki rumah itu dan geledah!" terdengar memerintah orang yang maju di muka itu.

Dua orang segera lompat turun dari kuda mereka, untuk itu lantas hampiri rumahnya Tiat Sim untuk menggedornya. Justru itu dari atas pohon menyambar sebuah benda, yang jitu sekali mengenai batok kepalanya satu di antara dua orang itu, hingga dia ini rubuh dengan kepalanya pecah hancur. Hingga kawannya menjadi kaget dan berteriak, hingga yang lain-lainnya turut berteriak pula, lebih-lebih setelah diketahui, benda yang dipakai menimpuk itu adalah kepalanya "Ong Tayjin". Dengan lantas itu mereka mengurung pohon dari mana serangan itu datang.

Orang yang menjadi pemimpin menghunus goloknya yang panjang, untuk memegang pimpinan, atas perintahnya lima orang menggunai panah untuk menyerang ke arah atas pohon!

Yo Tiat Sim sambar sebatang golok dari pojok rumahnya, hendak dia menerjang keluar untuk membantu si imam, akan tetapi Siauw Thian menariknya.

"Jangan!" katanya. "Totiang telah pesan kita jangan keluar! Kalau ternyata dia tidak sanggup melawan, baru kita turun tangan......."

Selagi orang she Kwee ini berbicara, Khu Cie Kee sudah beraksi. Dia sambut empat batang anak panah itu lalu ia pakai itu untuk menimpuk ke bawah tubuhnya sendiri turut lompat turun, hingga akibatnya dua musuh menjerit dan rubuh binasa kena tikaman pedang.

"Imam bangsat, kiranya kau!" berseru si pemimpin, yang bajunya hitam. Dia perdengarkan suaranya seraya tangkis anak panah yang ditimpukkan ke arahnya, kemudian ia keprak kudanya maju untuk menyerang untuk mana tiga batang panah di tangannya telah mendahului majunya itu.

Belum Cie Kee menyerang ini pemimpin, dia telah rubuhkan lagi dua musuh, hingga sebentar saja ia telah minta lima korban.

Tiat Sim kagum hingga ia tergugu. Dia telah belajar silat belasan tahun, tetapi sedikit juga ia tidak dapat tandingi imam itu, yang gesit dan lihay sekali. Maka ia merasa ngeri waktu ia ingat tadi ia telah berani lawan imam yang lihay itu.

Sekarang Cie Kee tengah layani si pemimpin, yang bengis sekali, meski demikian selang sesaat, Siauw Thian dan Tiat Sim segera mengerti bahwa sang imam tengah mempermainkan orang, sebab di lain pihak, saban-saban imam ini gunai ketika akan rubuhkan lain orang – ialah orang-orang yang mengepungnya. Terang si imam lagi gunai siasat, guna menumpas semua penyerangnya itu. Kalau dia lekas-lekas rubuhkan si pemimpin, mungkin bawahannya nanti lari kabur semua.

Selang tak lama, imam itu dikepung hanya tujuh orang, yang ilmu silatnya paling baik. Menampak ini, si pemimpin menjadi kecil hatinya, dari itu, dengan tiba-tiba ia keprak kudanya, buat dikasih berbalik untuk lari pergi. Sang imam ada sangat jeli matanya dan cepat gerakannya, selagi kuda berputar, ia menyambar dengan tangan kirinya, akan cekal ekornya kuda itu, untuk ditarik. Sembari menarik ia enjot tubuhnya, untuk melompat naik, tetapi belum lagi ia bercokol di atas kuda itu, pedangnya sudah menikam tembus punggung si pemimpin, tembus dari belakang ke depan, hingga tubuh orang itu rubuh ke depan. Demikian dengan menunggang kuda, sekarang si imam ini bisa serang lain-lain musuhnya. Ia tidak membutuhkan banyak waktu untuk membikin setiap kuda tanpa penumpangnya, sebaliknya mayat-mayat bergelimpangan di tanah bersalju itu, yang menjadi merah karena berlumuran darah mereka itu....

Seorang diri si imam tertawa. "Puas aku dengan pertempuran ini!" katanya kepada Siauw Thian dan Tiat Sim, yang telah lantas muncul. Hanya hati mereka masih kebat-kebit.

"Totiang, siapakah mereka ini?" tanya Siauw Thian.

"Kau geledah saja tubuh mereka!" sahut si imam.