Bab 1. Pertempuran di Tanah Bersalju

Beberapa tahun telah berselang, Kaisar Kho Cong itu digantikan oleh Kaisar Hauw Cong. Kaisar Hauw Cong digantikan Kaisar Kong Cong, lalu Kaisar Leng Cong. Pada tahun Keng-goan ke-5 dari Kaisar ini, selagi musim dingin, telah turun hujan salju lebat selama dua hari berturut-turut, hingga Hangciu, ibukota Kerajaan Song itu seperti bermandikan air perak, bercahaya berkilau, indah dipandang. Dan diwaktu begitu, Kaisar dan menteri-menterinya dengan duduk mengelilingi perapian, bersenang-senang menenggak air kata-kata......

Di luar kota Hangciu, di sebelah timurnya, di dusun Gu-kee-cun, dua orang gagah pun tengah minum arak putih sambil duduk berhadapan, oleh karena mereka adalah bagaikan saudara sejati. Dari mereka itu, yang satu bernama Kwee Siauw Thian, yang lainnya Yo Tiat Sim, kedua-duanya adalah turunan orang-orang kenamaan.

Siauw Thian itu adalah turunan dari Say-Jin-Kui Kwee Seng, itu adalah salah satu jago dari seratus delapan orang kosen dari gunung Liang San yang tersohor dengan ilmu silat tombaknya, hanya setelah tiba pada dia ini, tombak yang panjang itu diganti dengan sepasang tombak pendek dan bergaetan (siangkek). Sementara Yo Tiat Sim itu adalah turunan dari Panglima Yo Cay Hin, salah seorang bawahan Jenderal Gak Hui ( Jendral Yue Fei ) dan ilmu tombaknya adalah warisan leluhurnya. Mulanya kedua orang ini bertemu dalam pengembaraan, setelah merasa cocok, maka mereka mengangkat saudara, kemudian bersama-sama mereka pindah dan tinggal di dusun ini. Kebiasaan mereka adalah duduk berkumpul, pasang omong dan menyakinkan ilmu silat.

Demikian juga pada hari itu, selagi salju turun mereka duduk minum arak dan berbicara dengan asyiknya, tempo mereka omong hal nasibnya negera, keduanya menjadi berduka dan berdongkol, tiba-tiba saja Tiat Sim mengeprak meja dengan kerasnya. Justru saat itu ada seorang keluar dari ruang dalam, apabila gorden tersingkap, terlihatlah seorang wanita yang cantik sekali, tangannya memegang nampan di atas mana ada terdapat masakan daging sapi serta ayam.

"Hai, urusan apa lagi yang membuat kamu berdua saudara marah?" tanya wanita itu sambil tertawa.

"Kami tengah membicarakan urusan yang gila-gila dari negara!" sahut Siauw Thian. "Enso, mari kau pun minum satu cawan!"

Wanita itu adalah Pauw-sie, istri dari Yo Tiat Sim. Di Lam-an ini, dia adalah merupakan wanita tercantik dan halus budi pekertinya, hingga ia tepat dengan romannya. Siapa yang melihat dia, pasti kagumlah hatinya. Dengan Tiat Sim, belum lama ia menikah, tetapi dia itu orangnya luwes dan dapat dengan gampang bergaul dengan kaum pria-dalam halnya dengan Siauw Thian, iparnya itu. Begitulah, setelah ia meletakkan barang makanan-nya, ia mengambil cawan dan mengisinya, sesudah itu mengambil kursi dan meneguk araknya itu.

"Kemarin selagi aku berada di dalam warung teh di Tong Lam di ujung jembatan Cong An Kio, aku mendengar orang membicarakan halnya Han To Cu si perdana menteri keparat itu!" Tiat Sim menyahuti pertanyaan istrinya tadi. "Rapi pembicaraan itu, hingga aku percaya itu bukanlah omong kosong belaka. Orang itu bilang, pembesar siapa juga, jikalau dia hendak mengajukan laporan, apabila di ujung sampulnya tidak disertai keterangan dia menghadiahkan sesuatu, pasti perdana keparat itu tidak akan memeriksanya!"

Siauw Thian menghela napas. "Ada rajanya, ada menterinya" katanya masgul. "Ada menterinya, ada pembesar-pembesar bawahannya.Lihat saja Tio Tayjin, residen dari kota Lim-an kita ini. Hari itu Han To Cu pesiar di luar kota dengan diiringi banyak pembesar. Kebetulan aku lagi mencari kayu di dekat situ. Tentu saja aku tidak ambil mumat padanya itu. Lalu aku mendengar dia menghela napas dan berkata seorang diri: 'Di sini rumah-rumah berpagar bambu dan beratap, sungguh suatu desa yang indah menarik hati, hanya sayang sekali, disini tidak terdengar suara ayam berkokok dan anjing menggonggong...' Belum lagi dia menutup mulutnya lalu terdengar gongongan anjing dari dalam semak-semak!"

Pauw-sie bertepuk tangan sambil tertawa. "Sungguh anjing yang tahu diri!" katanya.

"Memang anjing yang sangat tahu diri!" sahut Siauw Thian. "Setelah menggonggong, dia muncul dari semak-semak itu! Enso tahu, anjing apakah itu? Dialah Tio Tayjin, residen kita!"

Pauw-sie menjadi tertawa terpingkal-pingkal. Tiat Sim dan Siauw Thian pun tertawa.

Mereka minum terus hingga terlihat salju turun makin lebat.

"Nanti aku undang enso minum bersama,!" kata Pauw-sie kemudian.

"Tidak usah," Siauw Thian mencegah. "Selama beberapa hari ini, dia merasa kurang sehat...."

Pauw-sie terkejut, "Ah, mengapa aku tidak tahu!" katanya. "Nanti aku tengok!"

Siauw Thian tidak bilang apa-apa lagi, dia malah tersenyum. Menampak hal itu, legalah hati Tiat Sim. Itu artinya nyonya Kwee tidak berat sakitnya.

Tak lama, nyonya Yo kembali sambil tersenyum-senyum. Ia isikan satu cawan, lalu mengansurkan cawan itu kepada suaminya.

"Lekas minum sampai habis!" katanya. "Inilah tanda hormat kepada Toako!"

"Eh, apakah artinya ini?" tanya Tiat Sim tidak mengerti.

"Minum, lekas minum!" desak Pauw-sie. "Habis minum nanti baru aku beri keterangan!" katanya kemudian.

Tiat Sim lalu meminum kering cawan itu.

"Nah, Toako, kau biacaralah sendiri!" kata Pauw-sie sambil tertawa kepada Siauw Thian.

Orang she Kwee itu tersenyum dan berkata, "Selama sebulan ini dia senantiasa mengeluh pinggangnya pegal dan sakit. Baru kemarin dia pergi ke Thio Ie-seng di dalam kota, kata tabib itu dia sudah mengandung selama tiga bulan...."

Tiat Sim menjadi girang sekali. "Kiong hie, Toako!" katanya sambil memberi selamat.

Lalu ketiganya meneguk arak mereka, masing-masing tiga cawan. Tentu saja dengan meminum sebanyaknya itu, sedikitnya arak itu telah mempengaruhi mereka.

Pada saat itu di arah timur kelihatan satu tosu atau imam sedang mendatangi. Dia memakai tudung bambu dan tubuhnya di tutupi dengan baju rumput, yang seluruhnya penuh dengan salju. Ia bertindak dengan tegap dan cepat. Segera tertampak di punggungnya ada tergantung sebatang pedang, yang roncenya kuning dan memain di antara tiupan angin yang keras.

"Adik, imam ini pasti mengerti ilmu silat," Siauw Thian bilang. "Entah dari mana dia datang. Coba kita dapat berkenalan dengannya. Sayang kita belum tahu namanya..........."

"Benar," sahut Tiat Sim. "Baik kita undang dia minum untuk ikat persahabatan......"

Keduanya segera berbangkit dan pergi keluar. Ketika itu karena cepat jalannya, si imam sudah lewat beberapa puluh tombak.

Siauw Thian dan Tiat Sim saling melihat dengan herannya. "Totiang, tunggu sebentar!" Tiat Sim segera memanggil.

Cepat sekali si imam memutar tubuh dan mengangguk.

"Salju turun dengan lebatnya dan hawa pun sangat dingin," kata Tiat Sim pula, "Sudilah Totiang mampir untuk minum beberapa cawan guna melawan hawa dingin."

Iman itu menyahuti dengan tertawa dingin, lalu ia bertindak menghampir – cepat sekali tindakannya.

Siauw Thian dan Tiat Sim berdua sangat terperanjat dan heran guna menyaksikan muka orang yang berwajah sangat dingin sekali.

"Kamu pandai bergaul, eh!" katanya tawar

Tiat Sim masih muda dan dia tidak senang dengan sikap orang. "Dengan baik hati aku mengundang kau minum, kenapa kau begini tidak tahu aturan?" pikirnya. Maka ia menjadi diam saja.

Siauw Thian sebaliknya lantas memberi hormat. "Totiang, harap anda tidak marah dengan sikap saudaraku ini. "Kami sedang minum arak, melihat Totiang melawan salju, dia besarkan nyali untuk mengundang Totiang minum bersama...."

Imam itu memutar matanya. "Baik,baik!" katanya. "Minum arak ya minum arak!" Dan dengan tindakan lebar ia menuju ke dalam.

Tiat Sim merasa dongkol, ia ulurkan tangannya hendak mencekal tangan kiri si imam untuk ditarik ke samping. "Aku belum belajar kenal dengan Totiang!" katanya. Tapi tiba-tiba ia merasa kaget. Ia merasai tangan orang sangat licin. Ketika ia berniat menarik pulang tangannya, tahu-tahu tangan itu bagaikan terjepit dengan keras, rasanya sakit dan panas. Ia kerahkan tenaganya untuk melawan. Justru dengan berbuat demikian ia merasakan tangannya hilang tenaga dan sakit sekali, rasa sakitnya sampai ke ulu hati.

Siauw Thian tampak wajah saudaranya merah dan pucat, ia tahu saudaranya ini tentu telah "ketemu batunya". Ia mengerti gelagat yang kurang baik itu dan sangsi turun tangan untuk membantu.

"Totiang, mari silakan duduk di sini!" ia mengundang.

Dua kali si imam kasih dengar tertawanya yang dingin itu, baru ia lepaskan cekalannya atas tangan Tiat Sim. Hal ini membuat orang she Yo itu mendongkol dan heran, ia terus masuk ke dalam, akan diberitahukannya istrinya tentang imam itu.

"Dia sangat aneh, pergi temani dulu," kata Pauw-sie. "Jangan turun tangan, perlahan-lahan saja kita cari tahu tentang dirinya..."

Tiat Sim menuruti perkataan istrinya itu.

Pauw-sie segera menyiapkan arak dan barang hidangan dan menyuruh Tiat Sim membawa keluar.

"Tunggu sebentar!" memanggil sang istri. Tiat Sim pun memutar kembali.

Pauw-sie menurunkan sebuah pisau belati yang tajam mengkilap, yang tergantung pada tembok, ia memasukkan belati itu ke dalam saku suaminya.

Tiat Sim pun kemudian keluar membawa barang hidangan itu dan mengaturnya di meja. Ia menuangkan tiga cawan, terus ia mengundang tamunya untuk minum. Ia juga meneguk satu cawan, habis minum ia berdiam saja.

Imam itu memandang keluar jendela dan mengawasi salju. Ia tidak meminum araknya dan ia pun tidak membuka mulutnya melainkan hanya tertawa dingin saja.

Siauw Thian menduga si imam tentu curigai araknya, ia mengambil cawan arak di hadapan imam itu, terus ia cegluk di hadapan imam itu. Ia menyambuti, terus diminumnya.

"Arakmu telah dingin Totiang, nanti aku tukar dengan yang baru," katanya. Dan ia mengisikan pula.

Si imam dapat mencium bau harum dari arak itu, ia menyambuti dan terus diminumnya. "Walaupun arak ini di campuri dengan obat pulas, tidak nanti aku kena diracuni!" katanya.

Tiat Sim menjadi hilang sabar. "Kita undang kau minum dengan maksud baik, mustahil kami hendak mencelakai kau!" tegurnya. "Totiang, kau omong tidak karuan, silakan lekas keluar! Arak kita tidak bakalan menjadi rusak dan sayur kita tak nanti tak ada yang memakannya!"

"Hm!" bersuara si imam itu. Tak lebih. Ia jemput poci arak dan menuang arak itu sendiri, lalu ia tenggak habis tiga cawan. Habis itu dia buka baju luarnya dan letaki tudungnya.

Sekarang baru Tiat Sim dan Siauw Thian dapat melihat dengan tegas wajah orang. Mereka menduga si imam baru berumur tiga puluh tahun lebih, sepasang alisnya panjang lancip, kulit mukanya merah segar, mukanya lebar dan kupingnya besar. Ia bukan sembarang imam. Ketika ia kasih turun kantung di punggungnya, ia terus lempar barang itu ke atas meja hingga terbitlah suatu suara yang keras, hingga kedua tuan rumah itu menjadi kaget sekali. Sebab yang menerbitkan suara nyaring itu yang menggelinding keluar dari dalam kantung itu adalah kepala manusia yang masih berlumuran darah, hingga tak nampak jelas raut mukanya.

Tiat Sim meraba pisau belati dalam kantungnya.

Si imam menukik pula kantungnya, kali ini dikeluarkannya dua potong daging yang penuh darah juga, karena itu adalah hati dan jantung manusia.

"Jahanam!" teriak Tiat Sim yang sudah tak tahan sabar lagi, sedang tangannya melayang ke dada si imam.

"Kebetulan, aku memang menghendaki barang ini!" seru si imam sambil tertawa. Ia tidak menghiraukan tikaman itu, hanya ketika si orang she Yo itu datang mendekat, ia menggempur dengan tangan kirinya, hingga seketika juga Tiat Sim merasa bahunya tergetar, lalu tiba-tiba saja pisau belatinya kena dirampas orang!

Siauw Thian kaget bukan kepalang. Ia tahu lihaynya adik angkatnya itu, yang cuma kalah sedikit dengannya. Tidak disangka, demikian gampang imam ini merampas senjata orang. Itulah ilmu silat "Khong-ciu toat pek-jin" atau "Tangan kosong merampas senjata tajam" yang lihay, yang baru pernah ia saksikan. Meskipun ia kaget, ia toh segera bersiap dengan memegang bangku, guna membela diri umpama kata si imam terus menyerang. Akan tetapi dugaannya ini salah adanya. Imam itu tidak menyerang siapa juga, ia hanya lantas gunai pisau itu untuk memotong-motong hati dan jantung manusia itu, lalu dengan tangan kiri mencekal poci arak, dengan tangan kanan ia jumputi potongan daging satu demi satu, untuk dimasukkan ke dalam mulutnya, buat dikuyah dan ditelan, saban-saban dia selang itu dengan tenggakan arak pada pocinya. Cepat daharnya, sebentar lagi habis sudah makanan yang rupanya sangat lezat itu!

Siauw Thian dan Tiat Sim berdua saling mengawasi dengan tercengang. Sungguh aneh imam ini. Akan tetapi itu masih belum semua. Habis dahar, imam itu berdongak, lalu ia bersiul nyaring sekali, umpama kata genting sampai bergetar, kemudian tangan kanannya menyerang ke meja, hingga piring dan cawan berlompat! Yang hebat adalah sasaran serangan itu, ialah kepala manusia itu, yang remuk seketika! Sedang ujung meja turut sempal sedikit........

Selagi dua saudara angkat itu berdiam, wajah si imam yang tadinya bermuram durja dan bengis, tiba-tiba berubah menjadi penuh dengan air mata, dengan air mata bercucuran ia lalu menangis dengan meraung-raung!

"Kiranya dia seorang yang edan...!" bisik Siauw Thian kepada adik angkatnya, yang ujung bajunya ia tarik. "Dia lihay sekali, jangan kita ladeni dia...."

Tiat Sim mengangguk, ia awasi imam itu. Sekarang tidak lagi ia gusur, sebaliknya ia merasa kasihan. Sedih tangisnya si imam ini, ilmu silat siapa sebaliknya ia kagumi. Maka kemudian ia lari ke dalam untuk mengambil semangkok kuwah yang masih panas.