Bab 3. Tujuh Orang Luar Biasa --- Part 3

Dengan membekal uang, Wanyen Lieh pergi ke kota di bagaian yang ramai. Ia lihat penduduk kota ada halus gerak-geriknya, walaupun kuli, nampak beda juga, maka itu diam-diam ia mengaguminya. Ia lantas memikir untuk nanti, kapan ia mengepalai angkatan perang mendatangi wilayah ini, ia akan mohon ayahnya angkat ia menjadi Gouw Ong, pangeran wilayah selatan ini, supaya dapat ia tinggal tetap di Kanglam....

Dengan perasaan puas, orang bangsawan ini bertindak dengan perlahan-lahan, matanya memandangi sekitarnya hingga mendadak ia dengar larinya kuda derap. Jalan besar di situ tidak lebar, orang-orang yang berlalu lintas kebetulan banyak, dan pinggiran jalanan pun ditempati pedagang-pedagang gelar dan pikulan, kenapa ada orang yang larikan kudanya di situ. Ia lantas menyingkir ke pinggiran. Sebentar saja kuda itu telah tiba. Itulah seekor kuda kuning yang tinggi dan besar, tegap tubuhnya dan pesat gerakkannya. terang itu adalah kuda asal luar tapal batas. Menampak kuda itu, Wanyen Lieh memuji akan tetapi, kapan ia saksikan penunggangnya, ia jadi tertawa sendirinya.

Penunggang kuda itu adalah seorang yang tubuhnya kate dan terokmok dan romannya jelek, dengan bercokol di atas kuda yang tinggi besar, ia mirip setumpuk daging belaka. Sudah ia pendek tangan dan pendek kaki, lehernya pun seperti tidak ada, yang kelihatan cuma kepalanya yang gede, yangmuncul mengkeret di atasan pundaknya.

Di sebelah keanehan si penunggang kuda, aneh juga cara kudanya berlari-lari. Kuda itu tidak pernah menerjang barang atau menyentil orang, ia dapat bergerak merdeka, seperti kelit sana dan kelit sini, atau melompati pukulan pedagang-pedagang. Wanyen Lieh merasa ia adalah satu ahli penunggang kuda, tetapi sekarang tanpa merasa ia berseru; "Bagus!"

Si kate terokmok dengar orang memuji dia, dia berpaling, maka dengan itu Wanyen Lieh dapat lihat tegas muka orang. Itulah satu muka yang merah seperti ampas arak, dengan hitung besar dan bulat seperti buah prim merah ditempel di muka.

"Kuda itu jempol, baik aku beli denagn harga istimewa," pikirnya.

Hampir di itu waktu, di jalan itu muncul dua bocah berlari-lari main kejar-kejaran melintas di depan kuda. Kuda itu kaget, kakinya bergerak. Tepat di itu saat, kate terokmok angkat lesnya, tubuhnya pun terangkat dari bebokong kuda, kuda mana terus lompat melewati atas kepalanya dua bocah itu, sesudah itu, tubuh si kate turun pula, bercokol lagi di bebokong kuda seperti tadi, numprah dengan aman!

Wanyen Lieh kagum hingga ia menjublak. Lihay luar biasa si cebol itu, di negaranya sendiri – negera Kim tidak ada penunggang kuda sepandai dia walaupun ia ada punya banyak ahli penunggang kuda. Sekarang ia insyaf bahwa manusai tidak dapat di lihat dari romannya saja.

"Jikalau dia bisa diundang ke kota rajaku, untuk jadi guru, bukankah pasukan kudaku bakal menjagoi di kolong langit ini?" dia berpikir. Dia pun melamun, berapa besar faedahnya apabila ia berhasil membeli kuda istimewa itu.

Memang putra raja Kim ini adalah seorang dengan cita-cita luhur, dan teliti sepak terjangnya. Dengan mendatangi Kanglam, ia berberang sudah perhatikan keletakan daerah, hingga ia tahu baik sekali tempat-tempat dimana ia dapat pernahkan tentaranya atau dimana dia dapat seberangi sungai. Malah ia ingat juga nama-namanya setiap pembesar setiap tempat serta kepandaiannya setiap pembesar itu.

"Pemerintah di selatan ini justru buruk, sayang kalau orang pandai ini tak dapat digunai olehku," dia negelamun terlebih jauh. Karenanya ia lantas ambil ketetapan untuk undang kate terokmok itu. Malah ia lantas lari untuk menyusul penunggang kuda itu. Selagi ia khawatir nanti tak dapat menyandak, sedangnya ia berniat mengoaki si kate itu, mendadak kuda orang itu berhenti berlari. Kembali ia menjadi heran. Tak biasanya kuda larat dapat berhenti secara demikian tiba-tiba, biasanya kuda itu mesti berlari-kari perlahan dahulu.

Selagi Wanyen Lieh terheran-heran, si kate terokmok sudah lompat turun dari kudanya dengan cepat luar biasa, ia telah memasuki sebuah restoran di pinggiran mana kudanya dihentikan secara istimewa itu, maka dilain saat sudah terdengar tindakannya yang cepat di undakan tangga loteng.

Putra raja Kim itu angkat kepalanya, untuk berdongak, maka matanya lantas melihat sepotong papan merek dengan bunyi empat huruf "Tay Pek Ie Hong". Jadi itu sebuah ciulauw, atau sebuah restoran. Di atas loteng ada lagi sebuah papan merek dengan tiga huruf "Cui Sian Lauw", yang hurufnya kekar dan bagus, di samping aman ada pula empat huruf kecil bunyinya: "Tong Po Kie-su". Jadi itu ada ciulauw yang pakai nama Souw Tong Po, itu penyair yang terkenal, yang aliasnya Thay-pek dan julukannya Cui Sian, Dewa Mabuk. Riasannya ciulauw pun ada istimewa. Tadinya Wanyen Lieh ingin memasuki ciulauw itu atau segera ia tampak si kate sudah keluar pula sambil tangannya membawa satu guci arak yang terus dibawa ke depan kudanya.

Putra raja Kim ini ingin menontoni kelakuan, ia pun lantas berdiri di pinggiran.

Berdiri di tanah si kate nampaknya semakin tak mengasih. Tingginya tak ada tiga kaki, sebaliknya lebar tubuhnya ada tiga kaki penuh. Di depan ia adalah kudanya, yang istimewa tinggidan besarnya. Dengan berdiri berdekatan, si kate tidak cukup tinggi untuk kepalanya menyundul sanggurdi. Maka inginWanyen Lieh menyaksikan orang punya sepak terjang lebih jauh.

Si kate tidak lompat naik ke atas kudanya, hanya ia berdiri di depan binatang tunggangannya itu, di situ ia letak guci araknya, habis mana dengan sebelah tangannya, ia babat guci sebatas pundaknya guci itu hingga tempat arak itu menjadi terbuka bagaikan jambangan.

"Ah, ia mengenal ilmu tenaga dalam yang lihay," pikir Wanyen Lieh, Tanpa Iweekang, atau tenaga dalam yang sempurna, tidak nanti guci arak dapat ditebas kutung dengan tangan, dengan tidak pecah seluruhnya. Ia percaya ia dapat melakukan itu hanya tidak sedemikian sempurna.

Begitu lekas guci telah terbuka, kuda kuning itu angkat naik kaki depannya, mulutnya dibuka untuk perdengarkan ringkikkan, setelah turunkan kedua kakinya ia terus tunduki kepalanya, mulutnya dikasih masuk ke dalam guci, untuk sedot arak itu berulang-ulang!

Dalam keheranan, Wanyen Lieh segera dapat mencium baunya arak yang melulahkan terbawa angin. Ia kenali arak itu adalah arak Siauwhin yang kesohor, arak simpanan tiga atau empat puluh tahun. Pernah selama di Yan-khia, ibukotanya, ayahnya dikirimkan arak serupa oleh utusan kaisar Song dan oleh ayahnya ia dibagi beberapa guci. Ia sangat menyayangi arak jempolan itu, tak hendak ia sering-sering meminumnya, akan tetapi di sini, ia saksikan seekor kuda tunggangan diberikan arak itu!

Si kate tinggalkan kudanya minum, ia kembali ke restoran, sambil kasih dengar bentakan, ia lemparkan sepotong uang ke atas meja kuasa restoran itu. Nyata itu adalah sepotong emas yang berkilau kuning.

"Lekas kamu sajikan sembilan meja barang hidangan kelas satu!" kata si kate. "Yang delapan meja makanan dengan daging, yang satu sayuran saja."

"Baik, Han Samya!" berkata si kuasa ciulauw sambil tertawa. "Kebetulan hari ini kami dapat empat ekor ikan saylouw, yang tak ada lawannya yang lainnya untuk teman arak! Tentang emas ini, aku minta sudi apakah kiranya samya simpan dahulu. Mengenai nperhitungannya nanti perlahan-lahan kita mengurusnya..."

Mendengar itu, matanya si kate terbelalak. "Apa?!" serunya aneh. "Menenggak arak tanpa uangnya ? Apakah kau sangka Han Samya kamu ini tukang anglap?"

Kuasa ciulauw itu tertawa haha-hihi, tanpa layani si cebol itu, ia berpaling ke dalam dan berseru: "kawan-kawan, lekas sajikan arak dan makanan untuk Han Samya!"

Seruan itu sudah lantas sapat sambutan berulang-ulang.

Wanyen Lieh menjadi heran sekali. "Si kate ini berpakaian tidak karuan tetapi ia sangat royal," pikirnya. "Dan di sini orang sangat menghormatinya. Mungkinkah ia ada okpa di kota Kee-hin ini? Kalau benar, tentu sulit rasanya untuk undang ia menjadi guru...Baiklah, aku tunggu dulu, hendak aku saksikan orang-orang macam bagaimana yang ia undang berjamu."

Karena ini ia hampiri ciulauw itu untuk naik ke loteng dimana ia pilih satu meja di pinggir jendela. Ia minta satu poci arak serta barang makanan sekedarnya.

Restoran Cui Sian Lauw ini letaknya di pinggir Lam Ouw, Telaga Selatan. Itu waktu tengah telaga nampak kabut tipis, di muka air ada beberapa buah perahu kecil lagi mundar-mandir. Di situ pun kedapatan banyak pohon lengkak yang daunnya hijau-hijau. Lega hati untuk memandang permukaan telaga itu.

Di jaman dahulu, Kee-hin adalah sebuah kota negara Wat, buah lie keluaran sini kesohor manis, sama kesohornya dengan araknya. Di jaman Cun Ciu, Kee-hin dipanggil Cui Lie atau Lie Mabuk. Disini dahulu Raja Wat, Kouw Cian telah labrak Raja Gouw, Hap Lu. Telaga itu pun ada mengeluarkan hasil yang kesohor yaitu bu-kak-leng, atau lengkak yang tidak ada "tanduknya" yang rasanya empuk dan manis, tak ada bandingannya untuk Kanglam. Itu pun sebabnya di dalam telaga tumbuh banyak pohon lengkak itu.

Sambil hirup araknya perlahan-lahan, Wanyen Liaeh memandangi keindahan telaga. Dengan begitu ia pun menantikan tetamu-tetamunya si cebol. Tiba-tiba ia dengar suara beradunya sumpit da cawan-cawan arak, apabila ia menoleh, ia dapatkan beberapa jongos mulai mengatur sembilan buah meja. Hanya herannya untuk setiap meja ditaruhkan Cuma sepasang sumpit dan satu cawan arak.

"Kalau yang datang cuma sembilan orang, untuk apa meja sembilan ini?" ia menerka-nerka. "Jikalau jumlahnya banyak, mengapa Cuma disediakan sembilan cawan saja? Apa mungkin ini ada adat kebiasaan di selatan ini....? Ia memikir tetapi tidak dapat jawabannya.

Si cebol sudah lantas duduk minum arak di sebuah meja, minumnya ayal-ayalan.

Kembali Wanyen Lieh memandang ke telaga. Kali ini ia tampak sebuah perahu nelayan yang kecil, yang laju pesat sekali. Perahu itu kecil tatapi panjang, kepalanya terangkat naik. Di pinggiran perahu berdiri dua baris burung-burung air peranti menangkap ikan. Mulanya ia tidak menaruh perhatian, sampai sejenak saja perahu itu dapat melewati sebuah perahu kecil yang terpisah jauh darinya.

Setelah perahu kecil itu datang semakin mendekat, Wanyen Lieh lihat di tengah perahu ada berduduk satu orang, sedang yang mengayuh yang berbareng menjadi pengemudi, yang duduk di belakang ada seseoarng yang memakai baju rumput. Segera ternyata ia adalah seorang wanita. Dia masuki pengayuh ke dalam air, nampaknya ia mengayuh denagn perlahan, akan tetapi perahu itu lahu melesat, tubuh perahu seperti melompat di atasan air. Tenaga mengayuh itu mungkin ada tenaga dari dua ratus kati. Seorang wanita bertenaga demikian besar inilah aneh: maka aneh juga pengayuhnya itu yang dapat dipakai mengower air demikian kuat.

Lagi beberapa gayuan, kendaraan air itu segera mendekati restoran. Di sini ada sinar matahari yang menyoroti pengayuh itu, lalu tertampak suatu cahaya berkilau mengkeredep. Nyata pengayuh itu terbuat dari kuningan.

Si wanita tampak perahunya dipelatok di samping tangga batu di bawah loteng restiran, habis itu ia lompat ke darat. Orang yang menumpang perahu itu satu pria, lompat mendarat juga setelah ia samber sepotong kayu pikulan yang kasar. Keduanya terus mendaki tangga loteng.

"Shako!" memanggil si nona tukang perahu setibanya di atas loteng, kepada si kate terokmok. Dia pun lantas sambil sebuah meja, sebagaimana kawannya juga duduk dikursi lainnya.

"Sietee, citmoay, kamu datang siang-siang?" kata si cebol.

Wanyen Lieh diam-diam perhatikan dua pendatang baru ini. Si wanita berusia tujuh atau delapanbelas tahun, tengah remajanya. Dia beramta besar, panjang bulu matanya, kulitnya putih bagaikan salju. Itulah kulitnya orang Kanglam sejati. Ia mencekal pengayuh kuningannya dengan tangan kanan dan menenteng baju rumputnya dengan tangan kiri. Dia pun mempunyai rambut yang hitam mengkilap.