Bab 2 --- Part 3
lain?" kata Sikong Hian gemas.

"Ai, engkau benar-benar pelupa." ujar si gadis. "Bukankah sudah kukatakan, barang siapa berani menginjak selangkah saja ke lembah kami dia akan binasa. Dan aku tidak ingin Toan-heng ini mati, tahu tidak?"

"Jika dia takut mati, apa anak buahku tidak takut mati?" sahut Sikong Hian. "Sudah, sudah, tak perlu pergi, biarlah kita lihat saja, aku mati kemudian atau dia mampus duluan."

Kembali Ciong Ling menangis tergerung-gerung lagi, serunya, "Kau kakek jenggot kambing ini sungguh tidak tahu malu, hanya pandai menghina seorang nona cilik! Perbuatanmu ini apakah terhitung seorang kesatria sejati kalau diketahui orang Kangouw?"

Namun Sikong Hian tidak menggubrisnya, ia mengerahkan Lwekang sendiri untuk melawan bisa ular.

"Biarlah aku berangkat saja", kata Toan Ki tiba-tiba. "Nona Ciong, jika ayahmu tahu kedatanganku ke sana adalah untuk memohon dia datang ke sini menolongmu, kuyakin beliau pasti takkan mengapa-apakan diriku."

Tiba-tiba Ciong Ling mengunjuk girang, katanya, "Ah, aku mendapat akal. Begini, jangan kau katakan pada ayahku di mana aku berada. Tapi setelah kau bawa beliau ke sini, segera kau melarikan diri, kalau tidak, tentu celaka!"

"Ehm, bagus juga akalmu ini," ujar Toan Ki sambil manggut-manggut.Lalu Ciong Ling berkata pula pada Sikong Hian, "He, jenggot kambing, begitu kembali nanti Toan-heng harus segera melarikan diri, lalu cara bagaimana engkau akan memberi obat penawar racun padanya?"

Sikong Hian menunjuk sepotong batu besar jauh di barat-laut sana dan berkata, "Aku akan suruh orang menunggu di sana dengan obat penawar, begitu Toan-kongcu ini lari sampai di sana bisa segera mendapatkan obatnya."

Ia berharap Toan Ki berhasil mengundang ayah Ciong Ling untuk menolong jiwanya, maka panggilannya kepada Toan Ki sekarang berubah menjadi terhormat.

Segera Sikong Hian memberi perintah agar anak buahnya menggali keluar Ciong Ling, tapi sebagai gantinya kedua tangan si gadis dibelenggu. Dalam pada itu tampak Jing-leng-cu masih kelogat-keloget di dalam tanah, sedang ular kecil lainnya sudah mati terpendam.

"Kau belenggu kedua tanganku, cara bagaimana aku bisa menulis surat?" kata Ciong Ling kemudian.

"Kau dara cilik ini terlalu licin, kau bilang hendak menulis surat, jangan-jangan akan main gila lagi," ujar Sikong Hian. "Tak perlu pakai surat segala, berikan sepotong barang milikmu kepada Toan-kongcu sebagai tanda pengenal untuk ayahmu."

"Kebetulan," sahut Ciong Ling tertawa. "Aku memang tidak suka tulis-menulis. Lalu benda apakah yang berada padaku? Ah, biarlah Jing-leng-cu saja kau bawa kepada ayahku, Toan-heng."

"He, jang ... jangan," seru Toan Ki cepat. "Dia takkan turut perintahku, kalau di tengah jalan aku digigitnya, kan celaka!"

"Jangan khawatir." ujar Ciong Ling tersenyum. "Dalam saku bajuku ada sebuah kotak kemala kecil, harap kau keluarkannya."

Segera Toan Ki masukkan tangan ke saku si nona, tapi baru tangan menyentuh baju, cepat ia tarik kembali tangannya. Ia merasa perbuatannya kurang sopan, masa tangan seorang pemuda gerayangan di dalam baju seorang gadis.

Namun Ciong Ling tidak pikir sampai di situ, desaknya malah, "Ayo, kenapa tidak lekas mengambil? Di saku sebelah kiri!"

Toan Ki pikir urusan sudah telanjur runyam, keadaan sangat mendesak, nona cilik ini pun masih kekanakkanakan, sedikit pun tiada rasa perbedaan antara lelaki perempuan, maka aku pun tidak perlu pikir yang tidak-tidak.

Segera ia merogoh saku si gadis dan mengeluarkan sepotong benda bundar yang keras dan hangat-hangat.

"Di dalam kotak kemala itu terdapat benda anti Kim-leng-cu dan Jing-leng-cu," kata Ciong Ling. "Jika Jingleng-cu tidak menurut perintah, boleh kau ayun-ayun kotak kemala itu di atas kepalanya, dengan sendirinya dia tak berani main gila lagi."

Toan Ki menurut, ia angkat kotak kemala di depan kepala Jing-leng-cu, maka terdengarlah suara mendesis aneh beberapa kali di dalam kotak itu, seketika Jing-leng-cu sangat ketakutan hingga mengkeret badannya.

Senang sekali Toan Ki melihat itu, "Benda apakah di dalam kotak ini? Biar kumelihatnya!"

Segera ia hendak membuka tutup kotak itu.

Namun Ciong Ling keburu mencegah, "He, jangan! Tutup kotak sekali-kali tak boleh dibuka!"

"Sebab apa?" tanya Toan Ki.

Ciong Ling melirik sekejap ke arah Sikong Hian, lalu berkata, "Ini rahasia, tidak boleh didengar orang luar. Nanti kalau sudah kembali akan kuberi tahukan padamu."

"Baiklah," kata Toan Ki, sebelah tangan memegang kotak kemala, tangan lain melepaskan Jing-leng-cu dari pinggang Ciong Ling dan diikat di pinggang sendiri.

Ternyata Jing-leng-cu membiarkan dirinya diperbuat sesukanya oleh Toan Ki, sedikit pun tidak berani membangkang. Keruan pemuda itu sangat senang, katanya, "Hah, ular ini menarik juga!"

"Bila dia lapar, dia akan mencari makan sendiri, tak perlu khawatir baginya," kata Ciong Ling pula, "dan bila kau bersuit begini, dia akan menggigit orang, kalau kau mendesis begini, dia lantas kembali ke tanganmu."

Sembari berkata, ia bersuit memberi contoh.

Dengan rasa tertarik, Toan Ki menirukan ajaran si gadis.

Sebaliknya Sikong Hian tidak sabar, ia pikir anak muda ini benar-benar kurang ajar, sudah dekat ajal, masih main ular segala, segera ia membentak, "Lekas pergi dan cepat kembali! Jiwa semua orang tinggal beberapa hari saja, jika ada alangan dalam perjalanan tentu jiwa masing-masing akan melayang. Nona Ciong, dari sini ke tempat tinggalmu makan waktu berapa lama?"

"Kalau cepat, dua hari bisa sampai, pergi-pulang empat hari pun sudah cukup," sahut Ciong Ling.

Sikong Hian rada lega oleh jawaban itu, ia mendesak pula, "Baiklah, lekas berangkat, lekas!"

"Tapi belum kuberi tahu jalannya kepada Toan-heng, harap kalian menyingkir dari sini, siapa pun dilarang mendengarkan," kata si gadis.Segera Sikong Hian memberi tanda hingga anak buahnya sama menyingkir pergi.

"Kau pun menyingkir," kata Ciong Ling pada Sikong Hian.

Diam-diam Sikong Hian geregetan, katanya dalam hati, "Kurang ajar! Kelak bila lukaku sudah sembuh, kalau tidak kubalas permainkan kau, percumalah aku menjadi manusia."

Segera ia berbangkit dan menyingkir pergi juga.

"Toan-heng," kata Ciong Ling kemudian sambil menghela napas lega, "baru saja kita berkenalan, kini sudah harus berpisah."

"Tidak apa, paling lama pergi-pulang cuma empat hari," sahut Toan Ki tertawa.

Sepasang mata bola Ciong Ling termangu memandangi anak muda itu, katanya, "Setiba di sana, harap menemui ibuku lebih dulu untuk menceritakan duduk perkaranya dan biar ibuku yang bicara kepada ayahku. Dengan demikian urusan akan lebih mudah diselesaikan."

Lalu ia gunakan ujung kaki untuk menggores-gores tanah, untuk menjelaskan jalan ke rumah tinggalnya itu.

Kiranya tempat tinggal Ciong Ling itu terletak di sebuah lembah di tepi barat sungai Lanjong. Meski jaraknya tidak jauh, tapi tempatnya tersembunyi dan sukar ditempuh, kalau tidak diberi petunjuk, orang luar tak nanti menemukannya.

Namun daya ingat Toan Ki sangat baik, apa yang ditunjukkan Ciong Ling biarpun menikung ke sana dan membelok ke sini secara membingungkan, tapi sekali dengar ia lantas ingat.

Setelah Ciong Ling selesai menguraikan, segera katanya, "Baiklah, sekarang aku akan berangkat!"

Terus saja ia putar tubuh dan bertindak pergi.

Tapi baru pemuda itu berjalan belasan tindak, tiba-tiba Ciong Ling teringat sesuatu, serunya, "Hei, kembali!"

"Ada apa?" tanya Toan Ki sambil memutar balik.

"Paling baik engkau jangan mengaku she Toan, lebih-lebih jangan bilang ayahmu mahir menggunakan It-yangci," pesan si gadis. "Sebab ... sebab mungkin sekali akan menimbulkan prasangka ayahku."

"Baiklah," sahut Toan Ki tertawa. Ia pikir nona ini meski masih sangat muda, tapi pikirannya ternyata amat teliti. Segera ia bertindak pergi sembari bernyanyi-nyanyi kecil.

Tatkala itu hari sudah gelap, sang dewi malam sudah menongol di tengah cakrawala, di bawah cahaya bulan Toan Ki terus menuju ke barat. Meski dia tak bisa ilmu silat, tapi usianya muda, tenaganya kuat, jalannya cukup cepat.

Setelah belasan li jauhnya, ia sudah melintas sampai di belakang gunung Bu-liang-san. Ia dengar suara gemerciknya air, di depan ada sebuah sungai kecil, karena merasa haus, Toan Ki menuju ke tepi sungai itu, ia lihat air sungai sangat bening, segera ia gunakan tangan untuk meraup air. Tapi belum lagi mulutnya mengecup air, tiba-tiba ia dengar suara orang tertawa dingin di belakang.

Dalam kejutnya cepat Toan Ki berpaling, maka tertampaklah gemerdepnya senjata tajam, ujung pedang sudah mengancam di dadanya. Waktu mendongak, ia lihat seorang tersenyum mengejek, kiranya Kam Jin-ho dari Buliang-kiam.

"Eh, kiranya kau, bikin kaget aku saja," kata Toan Ki berlagak tertawa. "Sudah malam begini, ada apa Kamheng berada di sini?"

"Atas perintah guruku, aku justru lagi menunggumu di sini," sahut Kam Jin-ho. "Maka silakan Toan-heng ikut ke Kiam-oh-kiong untuk bicara sebentar."

"Urusan apakah? Harap tunda sampai lain hari saja," ujar Toan Ki. "Hari ini aku ada urusan penting dan perlu lekas berangkat."

"Tidak, betapa pun harap Toan-heng ke sana," kata Jin-ho. "Bila tidak, aku pasti akan didamprat oleh guruku."

Melihat wajah orang mengunjuk tanda kurang beres, hati Toan Ki tergerak, lamat-lamat ia dapat menebak apa maksud orang, pikirnya, "Celaka, mungkin dia sengaja hendak menahan aku agar penolong yang diundang tidak bisa datang, dengan demikian orang Sin-long-pang akan terbinasa dan Bu-liang-kiam mereka tidak khawatir lagi terhadap musuh utama itu."

Segera ia tanya pula, "Dari mana Kam-heng mengetahui aku akan datang ke sini?"

"Hm," jengek Jin-ho. "Perembukanmu dengan nona Ciong terhadap Sin-long-pang sudah kudengar dan lihat semuanya. Bu-liang-kiam tiada dendam permusuhan apa-apa denganmu, engkau pasti takkan dibikin susah. Yang diharap sukalah kau mampir barang beberapa hari ke tempat kami, kemudian engkau akan dibebaskan."

"Mampir beberapa hari?" Toan Ki menegas. "Kan bisa celaka, padahal aku telah minum Toan-jiong-san pihak Sin-long-pang, kalau racunnya bekerja lantas bagaimana?"

"Boleh jadi setelah minum sedikit obat urus-urus, perutmu takkan sakit lagi," kata Kam Jin-ho tertawa.

Diam-diam Toan Ki khawatir, seketika ia pun tiada akal untuk meloloskan diri. Kalau ikut pergi ke Kiam-ohkiong, mungkin dirinya akan menjadi korban, bahkan Ciong Ling, Sikong Hian dan lain-lain juga akan binasa.Dalam pada itu ujung pedang Kam Jin-ho sudah mengancam di dada Toan Ki hingga terasa sakit.

"Ayo, ikut! Mau atau tidak mau harus ikut ke sana!" kata murid Bu-liang-kiam itu.

"Dengan demikian, bukankah kalian sengaja hendak membunuh aku?" kata Toan Ki.

"Jika sudah berani berkelana di Kangouw, jiwa harus berani dibuat taruhan," ujar Jin-ho tertawa. "Orang penakut macammu ini sungguh terlalu."

Habis berkata, "sret", mendadak pedang terus mengiris ke bawah hingga baju Toan Ki terobek sepanjang puluhan senti.

Kam Jin-ho ini tidak malu sebagai murid pilihan Bu-liang-kiam, biarpun baju Toan Ki terobek disayat, namun badan sedikit pun tidak terluka. Maka tertampaklah perut Toan Ki yang putih itu, cepat pemuda itu memegangi bajunya yang kedodoran.

"Eh, putih juga, seperti perempuan," goda Jin-ho dengan tertawa. Mendadak ia berubah bengis, bentaknya, "Ayo, lekas jalan, jangan bikin tuanmu kehilangan sabar, sekaligus bisa kusayat mukamu hingga berpuluh jalur merah!"

Terpaksa, Toan Ki menurut, ia pikir nanti di tengah jalan harus mencari akal untuk meloloskan diri.

Segera ia betulkan bajunya, lalu katanya, "Jika sebelumnya kutahu Bu-liang-kiam kalian begini jahat, tentu aku tidak sudi ikut campur urusan kalian ini, biar kalian sekaligus diracun mampus oleh Sin-long-pang."

"Kau mengomel apa?" bentak Jin-ho. "Bu-liang-kiam kami adalah Eng-hiong-hohan (kesatria dan gagah) semua, masakan jeri terhadap kawanan Sin-long-pang yang tak kenal malu itu."

"Sret", kembali pedangnya menggores baju di punggung Toan Ki, ketika sampai pinggang, terdengar suara "krek", goresan pedang itu teralang sesuatu.

Mendadak barulah Toan Ki ingat bahwa di pinggangnya terlilit Jing-leng-cu, ia merasa dirinya terlalu goblok, kenapa sejak tadi tidak minta bantuan binatang itu? Segera ia bersuit menirukan Ciong Ling.

Begitu kepala Jing-leng-cu menegak, terus saja ia memagut ke muka Kam Jin-ho. Keruan jago Bu-liang-kiam itu kaget, cepat ia menyurut mundur. Sekali pagut tidak kena, Jing-leng-cu membalik ke bawah hendak melilit lengan Jin-ho.

Betapa lihainya ular hijau ini sudah dikenal Jin-ho, bahkan pedang gurunya pernah dililit patah. Maka cepat ia melompat berkelit pula.

Untung baginya, sebab Toan Ki belum pandai mengendalikan Jing-leng-cu, ia tidak melepaskan binatang itu dari pinggangnya, tapi terus bersuit memerintah untuk menyerang musuh, maka sebagian besar badan Jingleng-cu masih melilit di pinggang, sebab itulah serangannya terbatas hingga dua kali memagut dapat dihindarkan Kam Jin-ho.

Melihat Kam Jin-ho melompat mundur, Toan Ki pikir inilah kesempatan baik, cepat ia angkat langkah seribu, ia berlari-lari ke arah barat.

"Hai, berhenti!" bentak Jin-ho sambil menguber. "Aku membawa obat anti ular, ular hijau itu tidak berani menggigit aku, tak mungkin kau bisa lolos!"

Walaupun begitu katanya, namun ia pun tidak berani mendesak terlalu dekat.

Dasar Toan Ki, belum sampai satu li jauhnya, napasnya sudah megap-megap.

Sebaliknya Kam Jin-ho sangat cekatan larinya, ia mendapatkan sepotong tangkai kayu pula dan digunakan memukul punggung Toan Ki.

Dalam gugupnya tiba-tiba timbul juga kecerdasan Toan Ki, cepat ia lepaskan Jing-leng-cu dari pinggang sambil bersuit, sekuatnya ia ayun ular itu ke belakang. Dengan demikian Kam Jin-ho menjadi jeri dan tertinggal lebih jauh.

Pikir jago Bu-liang-kiam itu, "Kau anak sekolahan ini sedikit pun tak bisa ilmu silat, asal aku terus mengintil di belakangmu, tiada sejam, tentu kau akan mati lelah."

Maka uber-menguber itu terus berlangsung menuju ke arah barat.

Tiada lama kemudian, napas Toan Ki benar-benar terasa hampir putus, jantung memukul keras seakan-akan meledak. Pikirnya, "Jika aku tertawan dia, jiwa nona Ciong pasti akan ikut menjadi korban."

Karena gugupnya ia tak bisa pilih jalan lagi, yang ia tuju selalu rimba lebat hutan belukar, ke sanalah dia menyusup terus.

Setelah menguber sebentar pula, mendadak Jin-ho dengar suara gemerujuknya air yang gemuruh. Tergerak pikirannya, waktu mendongak, ia lihat diarah barat-laut sana