Bab 2

"Jangan bodoh!" cepat Ciong Ling mencegah. "Urusan orang Kangouw sedikit pun engkau tidak paham, kalau sampai bikin sirik orang, aku takkan mampu menolongmu."

"Jangan khawatir bagiku" sahut Toan Ki. "Kau tunggu saja di sini, sebentar aku akan kembali."

Habis berkata, dengan langkah lebar ia terus bertindak ke arah asap tebal sana.

Ciong Ling berteriak mencegahnya lagi, dan Toan Ki tetap tidak menurut.

Setelah tertegun sejenak, mendadak gadis itu berseru, "Baiklah, engkau pernah menyatakan 'kuaci kita makan bersama, pedang kita terima serentak', biar kuikut bersamamu!"

Segera ia berlari menyusul Toan Ki dan berjalan berjajar dengan dia.

Tidak lama, dari depan tertampak memapak dua orang lelaki berbaju kuning. Seorang di antaranya yang lebih tua lantas membentak, "Siapa kalian? Mau apa datang ke sini?"

Dari jauh Toan Ki dapat melihat kedua orang itu sama memanggul sebuah kantong obat dan membawa golok lebar-pendek, segera sahutnya, "Cayhe bernama Toan Ki, ada urusan penting mohon bertemu dengan Sikongpangcu kalian."

"Urusan apa?" tanya lelaki tua tadi.

"Setelah bertemu dengan Pangcu kalian, dengan sendirinya akan kututurkan," kata Toan Ki.

"Saudara tergolong aliran mana, siapa gerangan gurumu?" tanya pula lelaki tua itu.

"Aku tidak termasuk sesuatu golongan dan aliran." sahut Toan Ki. "Guruku bernama Bing Sut-seng, beliau

khusus mempelajari Koh-bun-siang-si, dalam hal ilmu Kong-yang, dia juga mahir."

Kiranya guru yang dia maksudkan adalah guru yang mengajarkan dia membaca dan menulis. Tapi bagi pendengaran lelaki tua itu, istilah "Koh-bun-siang-si" (sastra kuno dan kitab baru) dan "Kong Yang" (cerita tentang kambing jantan) disangkanya dua macam ilmu silat yang sakti. Apalagi melihat Toan Ki mengipaskipas dengan sikap dingin, seakan-akan seorang yang memiliki ilmu kosen. Maka ia tidak berani sembrono lagi, walaupun tidak pernah mendengar ada seorang jago silat bernama Bing Sut-seng, tapi orang menegaskan mahir dalam macam-macam ilmu, tentunya bukan membual belaka. Cepat ia berkata, "Jika demikian, harap Toan-siauhiap tunggu sebentar, akan kulaporkan Pangcu."

Habis itu, buru-buru ia tinggal pergi ke balik lereng gunung sana.

"Kau bohongi dia tentang Kong-yang dan Bo-yang (kambing jantan dan kambing betina) segala, ilmu macam apakah itu?" tanya Ciong Ling. "Sebentar jika Sikong Hian hendak mengujimu, mungkin sukar bagimu menjawabnya."

"Seluruh isi Kong-yang-toan (kitab cerita tentang kambing jantan) sudah kubaca hingga hafal, kalau Sikong Hian mengujiku, tidak nanti aku kewalahan," sahut Toan Ki.

Ciong Ling terbelalak bingung oleh jawaban yang tak keruan juntrungannya. Sudah tentu ia tidak tahu bahwa Kong-yang-toan itu adalah nama kitab sastra karya Kong-yang Ko di zaman Chun-chiu.

Sementara itu tertampak lelaki tua tadi telah kembali dengan muka masam, katanya pada Toan Ki, "Tadi kau sembarangan mengoceh apa, sekarang Pangcu memanggilmu."

Melihat gelagatnya, agaknya dia telah didamprat oleh sang Pangcu, Sikong Hian.

Toan Ki mengangguk dan ikut di belakang orang.

"Mari kutunjukkan jalan," kata lelaki tua itu sembari menarik tangan Toan Ki. Setelah berjalan beberapa tindak, perlahan ia kerahkan tenaga di tangan.

Keruan Toan Ki kesakitan, sambil merintih tertahan ia berkaok, "Aduh! Perlahan sedikit!"

Akan tetapi genggaman lelaki tua itu semakin kencang hingga mirip tanggam kuatnya. Saking tak tahan, akhirnya Toan Ki menjerit kesakitan.

Kiranya ketika lelaki itu menyampaikan tentang "Koh-bun-siang-si" dan "Kong-yang-toan" yang dikatakan Toan Ki tadi, ia telah didamprat sang Pangcu. Karena mendongkol, ia sengaja hendak mengukur ilmu silat Toan Ki. Di luar dugaan, baru sedikit meremas, pemuda itu sudah gembar-gembor kesakitan.

Segera ia bermaksud meremas patah beberapa tulang jari orang, tapi mendadak pergelangan tangan sendiri terasa "nyes" dingin seperti dibelit oleh sesuatu. "Krek", tahu-tahu tulang pergelangan tangannya patah.

Saking sakitnya, lelaki tua itu cepat memeriksa tangan sendiri, tapi tidak tampak sesuatu benda apa pun. Sudah tentu ia tidak tahu bahwa diam-diam Ciong Ling yang telah membantu Toan Ki dengan melepaskan Jing-lengcu untuk mematahkan tulang tangannya, sebaliknya ia menyangka dari tangan Toan Ki yang telah timbul semacam tenaga getaran lihai. Dalam dongkolnya, timbul juga rasa jerinya, ia pikir Lwekang orang ini sedemikian hebatnya, kalau dirinya tidak kenal gelagat, boleh jadi akan lebih celaka lagi nanti.

Meski menanggung rasa sakit luar biasa hingga keringat dingin menetes dari jidatnya sebesar kedelai, namun lelaki itu masih berlagak kuat, sedikit pun tidak merintih sakit, tetap bertindak dengan langkah lebar seakanakan tidak terjadi sesuatu.

"Engkau ini sungguh orang kasar," Toan Ki mengomel, "orang berjabatan tangan kan tidak perlu menggunakan tenaga sebesar itu, kukira engkau tidak bermaksud baik."

Lelaki itu tidak menggubrisnya, ia percepat langkahnya dan membelok ke balik lereng sana.

Waktu Ciong Ling memandang, ia lihat di tengah gundukan batu padas sana berduduk lebih 20 orang. Ia sadar telah masuk ke sarang harimau, maka ia pun cepat menyusul rapat di belakang Toan Ki.

Setelah dekat, Toan Ki melihat di tengah gerombolan orang itu berduduk seorang kakek kurus kecil di atas batu padas yang paling tinggi, berjenggot macam kambing tua, sikapnya sangat angkuh. Pantas lelaki tadi didamprat ketika melaporkan ucapan Toan Ki tentang "cerita si kambing jantan" segala, sebab ternyata kakek kurus kecil itu berjenggot ala kambing.

Toan Ki tahu pasti kakek inilah Pangcu Sin-long-pang, Sikong Hian. Segera ia memberi hormat dan berkata, "Sikong-pangcu, terimalah hormatku, Toan Ki."

Sikong Hian hanya sedikit membungkukkan badan, tapi tidak berbangkit, tanyanya, "Ada urusan apa saudara datang ke sini?"

"Kabarnya kalian ada permusuhan dengan Bu-liang-kiam," tutur Toan Ki. "Cayhe sendiri hari ini telah menyaksikan kematian dua orang Bu-liang-kiam secara mengenaskan, karena tidak tega, maka sengaja datang kemari untuk memberi jasa baik. Hendaklah diketahui bahwa permusuhan lebih baik dilenyapkan daripada diperpanjang. Apalagi bunuh-membunuh dan berkelahi juga melanggar undang-undang negara, kalau diketahui pembesar setempat, pasti sama-sama tidak enak. Maka sudilah Sikong-pangcu membatalkan maksud kurang baik ini sebelum terlambat dan lekas-lekas pergi dari sini, jangan mencari perkara lagi kepada Bu-liang-kiam."

Dengan sikap dingin dan tak acuh Sikong Hian mendengarkan cerita Toan Ki itu tanpa komentar, ia hanya meliriknya.

Maka Toan Ki berkata lagi, "Apa yang kukatakan ini timbul dari maksud baikku, harap Pangcu suka pikirkan dengan baik."

Masih dengan sikap aneh Sikong Hian memandangi pemuda itu, mendadak ia terbahak-bahak, katanya, "Siapakah kau bocah ini berani bergurau dengan tuanmu? Siapa yang suruh kau ke sini?"

"Siapa yang suruh aku ke sini?" Toan Ki menegas. "Sudah tentu aku sendiri!"

"Hm," jengek Sikong Hian mendongkol. "Selama berpuluh tahun aku berkelana di Kangouw dan belum pernah kulihat seorang bocah bernyali sebesar kau ini hingga berani main gila padaku. A Toh, tangkap kedua bocah ini."

Segera seorang laki-laki tegap mengiakan dan melompat maju hendak mencengkeram lengan Toan Ki.

"Eeh, jangan!" seru Ciong Ling cepat. "Sikong-pangcu. Toan-siangkong ini menasihati engkau dengan maksud baik, jika tidak mau menurut boleh terserah, kenapa main kekerasan?"

Lalu ia berpaling pada Toan Ki dan berkata, "Toan-heng, jika Sin-long-pang tidak mau mendengar nasihatmu, kita juga tidak perlu ikut campur urusan orang lain. Marilah pergi!"

Akan tetapi lelaki tegap tadi sudah memegangi kedua tangan Toan Ki terus ditelikung ke belakang sambil menunggu perintah sang Pangcu lebih jauh. Keruan Toan Ki meringis kesakitan.

Maka Sikong Hian berkata pula dengan dingin, "Hm, Sin-long-pang justru tidak suka orang lain ikut campur urusannya, kalian berdua bocah ini anak siapa, masa boleh pergi datang sesukamu, ha? Pasti di balik layar ada sesuatu yang mencurigakan. A Hong, tawan sekalian anak perempuan itu!"

Kembali seorang laki-laki kekar lain mengiakan terus hendak menangkap Ciong Ling.

Namun sedikit mengegos mundur, Ciong Ling berkata pula, "Sikong-pangcu, jangan kira aku takut padamu. Soalnya ayahku melarang aku bikin onar di luaran, maka aku tidak suka cari perkara. Lekas suruh orangmu melepaskan Toan-heng itu, jangan kau paksa aku turun tangan, akibatnya pasti tidak enak."

"Hahaha, anak perempuan omong besar," Sikong Hian terbahak-bahak. "A Hong, lekas kerjakan!"

Kembali lelaki bernama A Hong mengiakan terus mencengkeram lengan Ciong Ling. Di luar dugaan, sekonyong-konyong telapak tangan kiri si gadis memotong ke kuduk A Hong. Cepat A Hong menunduk, namun celakalah dia, tahu-tahu kepalan kanan Ciong Ling secepat kilat menggenjot dari bawah ke atas, "plok", janggutnya tepat kena dipukul, tanpa ampun lagi tubuh A Hong segede kerbau itu mencelat dan jatuh terjengkang serta tak bisa berkutik.

"Ehm, tampaknya anak perempuan ini boleh juga," ujar Sikong Hian tawar, "tapi kalau hendak main gila dengan Sin-long-pang, rasanya belum cukup memadai."

Segera ia mengedipi seorang tua kurus tinggi di sampingnya.

Orang tua itu tinggi lencir mirip galah bambu, tanpa suara tahu-tahu ia sudah berada di depan Ciong Ling.

Lucu juga tampaknya kedua seteru itu, yang satu teramat tinggi, yang lain pendek, selisih kedua orang hampir setengah badan.

Segera kakek itu ulur kesepuluh jarinya yang mirip cakar burung terus mencengkeram pundak Ciong Ling.Melihat serangan lawan cukup lihai, cepat Ciong Ling berkelit ke samping, jari kakek itu menyambar lewat di samping pipinya hingga terasa angin serangan itu sangat keras, diam-diam gadis itu terperanjat, serunya cepat, "Sikong-pangcu, lekas kau perintahkan orangmu berhenti. Bila tidak, jangan salahkan aku turun tangan keji, kelak kalau aku diomeli ayah-ibu, kau pun tidak terlepas dari tanggung jawab."

Sedang Ciong Ling berkata, sementara itu si kakek jangkung beruntun sudah menyerang tiga kali lagi, tapi selalu dapat dihindarkan si gadis pada saat berbahaya.

"Tangkap dia!" bentak Sikong Hian tanpa peduli teriakan Ciong Ling.

Segera si kakek jangkung menyerang pula, tangan kanan pura-pura menghantam, tahu-tahu tangan kiri mencengkeram lengan Ciong Ling.

Gadis itu menjerit kaget, saking kesakitan hingga wajahnya pucat. Namun mendadak si gadis ayun tangan kiri ke depan, tiba-tiba selarik sinar emas menyambar, kakek jangkung itu hanya mendengus tertahan sekali terus melepaskan lengan Ciong Ling dan jatuh duduk di tanah. Kiranya Kim-leng-cu secepat kilat telah menggigit sekali punggung tangan lawan, lalu melompat kembali ke tangan Ciong Ling.

Lekas seorang laki-laki setengah umur berjubah panjang di samping Sikong Hian membangunkan si kakek jangkung, ia merasa sekujur badan sang kawan itu menggigil hebat, punggung tangan tampak bersemu hitam dan menjalar ke bagian tubuh yang lain dengan cepat.

Kembali Ciong Ling bersuit, Kim-leng-cu melejit ke muka lelaki yang menawan Toan Ki. Cepat orang itu hendak menangkis dengan tangan, tapi kebetulan bagi Kim-leng-cu, terus saja dipagutnya tangan itu.

Ilmu silat lelaki itu jauh di bawah si kakek jangkung, keruan ia lebih-lebih tak tahan, seketika ia meringkal di lantai bagai cacing sambil merintih-rintih.

Segera Ciong Ling menarik Toan Ki dan diajak pergi, bisiknya, "Kita sudah bikin onar, lekas lari!"

Orang-orang yang berada di sekitar Sikong Hian itu adalah gembong-gembong Sin-long-pang semua, selama hidup mereka berusaha mencari obat dan menjual jamu, maka segala macam ular atau lebah berbisa pernah dilihatnya, tapi Kim-leng-cu yang bisa melayang pergi datang secepat kilat dan berbisa jahat itu, tiada seorang pun di antara mereka yang kenal jenis ular apakah itu.

Dalam kagetnya, tanpa merasa Sikong Hian berseru, "He, apakah 'Uh-hiat-su-leng'? Lekas tangkap bocah perempuan itu, jangan sampai lolos!"

Segera empat lelaki di sampingnya melompat maju dan mengepung dari beberapa penjuru. Namun sekali bersuit, Ciong Ling sudah lolos Jing-leng-cu yang melilit di pinggangnya itu, sekali sabet, ia tahan dua musuh yang menubruk maju. Berbareng Kim-leng-cu telah dilepaskan hingga berturut-turut keempat lelaki itu kena dipagutnya. Cukup sekali gigit saja, setiap orang itu lantas terkapar, ada yang berkelejetan, ada pula yang meringkal bagai cacing.

Melihat ular kecil itu terlalu lihai, namun jago-jago Sin-long-pang itu tiada yang berani mundur di hadapan sang Pangcu, kembali 7-8 orang memburu maju pula sambil membentak-bentak.

"Jika ingin selamat, hendaklah jangan maju," seru Ciong Ling. "Siapa pun yang kena tergigit Kim-leng-cu ini, tiada obat penolongnya."

Jago-jago Sin-long-pang itu bersenjata semua, ada yang membawa golok, ada yang memakai cangkul pendek dan lain-lain, mereka berharap dengan senjata itu dapat menahan serangan ular emas lawan.

Namun ular kecil itu teramat gesit, lebih cepat daripada segala macam senjata rahasia, setiap kali asal senjata lawan menyerang, cukup sekali tolak ekornya di atas senjata lawan, tahu-tahu ia sudah melejit ke depan dan dapat menggigit musuh. Maka dalam sekejap saja, kembali beberapa orang roboh terjungkal pula.

Sikong Hian tak dapat tinggal diam lagi, ia gulung lengan baju dan cepat mengeluarkan sebotol obat air, ia tuang obat itu dan gosok-gosok telapak tangan dan lengannya, lalu melompat ke depan Ciong Ling dan Toan Ki sambil membentak, "Berhenti!"

Sekonyong-konyong Kim-leng-cu melejit lagi dari tangan Ciong Ling hendak menggigit batang hidung Sikong Hian. Cepat Pangcu Sin-long-pang itu angkat tangannya ke atas dengan rada mengirik sendiri, sebab ia tidak tahu apakah obat ular ciptaan sendiri itu manjur tidak untuk menghadapi ular emas yang gesit dan lihai luar biasa itu, jika tidak manjur, bukan saja nama baiknya selama ini akan hanyut, bahkan Sin-long-pang sejak itu pun akan ludes.

Untung baginya, baru saja Kim-leng-cu pentang mulut hendak pagut tangannya, mendadak binatang itu menikung di atas udara, ekornya menutul telapak tangan Sikong Hian, terus melompat kembali ke tangan Ciong Ling.

Girang Sikong Hian tak terkira, terus saja tangan kirinya memukul, saking hebat angin pukulannya itu, pula tak sempat berkelit, Ciong Ling tergetar sempoyongan, hampir saja terjungkal. Bahkan angin pukulan itu masih terus menyambar ke belakang hingga Toan Ki ikut tergetar dan roboh terjengkang.

Ciong Ling terkejut,