Bab 1 --- Part 5
keluargamu itu." ujar si gadis. "Cuma sayang, engkau tak bisa It-yang-ci, sebaliknya ular-ular ini pun bukan punyaku."

"Gadis sekecil dirimu ini, kenapa yang kau pikir melulu urusan berkelahi dan membunuh orang saja?"

"Kau benar-benar tidak tahu atau sengaja berlagak dungu?"

"Apa maksudmu?" tanya Toan Ki bingung.

"Lihatlah itu!" kata si gadis sambil menunjuk ke arah timur.

Menurut arah yang ditunjuk, Toan Ki melihat di pinggang gunung arah timur itu mengepul belasan gumpal asap hijau, ia tidak paham apa maksud si gadis.

"Coba, meski kau tidak ingin memukul atau membunuh orang, tapi orang lain justru akan menghajar dan membunuhmu," kata Ciong Ling pula, "lalu apa kau rela dibinasakan orang? Asap hijau itu adalah tanda orang Sin-long-pang lagi menggodok racun untuk melayani Bu-liang-kiam nanti. Kuharap semoga diam-diam kita dapat mengeluyur pergi dari sini agar tidak ikut tersangkut."

Toan Ki kebas-kebas kipasnya dan merasa kurang tepat ucapan si gadis, katanya, "Cara perkelahian orang Kangouw seperti ini makin lama makin tidak pantas. Orang Bu-liang-kiam telah membunuh putra Sikongpangcu dari Sin-long-pang, tapi kini itu Yong Goan-kui juga sudah dibinasakan mereka. Bahkan ditambah dengan Kiong Jin-kiat yang menempeleng aku itu. Balas-membalas, seharusnya sudah selesai. Seumpama masih ada sesuatu yang tidak adil, seharusnya melapor pada pembesar negeri dan minta diberi keputusan secara bijaksana, mana boleh bertindak dan menjadi hakim sendiri sesukanya? Memangnya negeri Tayli kita ini dianggap sudah tidak punya undang-undang lagi?"

"Ck, ck, ck!" mulut Ciong Ling berkecek-kecek, "mendengar ucapanmu ini seakan-akan kau ini tuan besar atau bangsawan yang berkuasa. Bagi rakyat jelata kita justru tidak urus segala tetek bengek itu."

Ia menengadah, lalu tuding ke arah barat-daya dan berkata pula, "Sebentar kalau hari sudah gelap diam-diam kita mengeluyur pergi dari situ, tentu orang Sin-long-pang takkan pergoki kita."

"Tidak!" seru Toan Ki mendadak. "Aku harus menemui Pangcu mereka untuk memberi petuah dan ceramah padanya, tidak boleh mereka sembarangan membunuh orang."

Ciong Ling merasa kasihan pada pemuda yang polos ketolol-tololan itu, katanya, "Toan-heng, engkau ini benar-benar tidak kenal tebalnya bumi dan tingginya langit. Pangcu dari Sin-long-pang itu, Sikong Hian, orangnya kejam dan ganas, suka main racun, berbeda daripada orang Bu-liang-kiam. Maka lebih baik kita jangan cari perkara, lekas pergi dari sini saja."

"Tidak, urusan ini aku harus ikut campur, jika kau takut, bolehlah kau tunggu aku di sini," sembari berkata, terus saja Toan Ki melangkah ke arah timur.

Ciong Ling memandangi kepergian pemuda itu, setelah beberapa tombak jauhnya, mendadak ia memelesat maju mengejar, ia jambret pundak Toan Ki, menyusul kaki menjegal, pemuda itu disengkelit ke depan.

Waktu tiba-tiba mendengar suara tindakan orang dari belakang, selagi Toan Ki hendak menoleh, tahu-tahu pundak dicengkeram orang, bahkan kaki keserimpet dan tubuh terus terjerungup terbanting ke depan. Keruan hidungnya mencium tanah dan bocor, keluar kecapnya.

Dengan meringis Toan Ki merangkak bangun, dan demi mengetahui orang yang menghajarnya itu adalah Ciong Ling, ia menjadi gusar, katanya, "Kenapa kau begini nakal, apa tidak sakit orang kau banting?"

"Aku hanya ingin mencoba lagi apakah engkau hanya pura-pura atau sungguh-sungguh tak mahir ilmu silat," sahut Ciong Ling. "Maksudku adalah demi kebaikanmu."

Ketika Toan Ki mengusap hidungnya, tangannya lantas berlepotan darah, bahkan darah terus menetes hingga dadanya merah dan kuyup. Sebenarnya lukanya sangat enteng, tapi melihat sekian banyak darah mengalir, terus saja ia berkaok-kaok, "Aduh, aduuuh!"

Ciong Ling menjadi rada khawatir, cepat ia keluarkan saputangan hendak mengelap darah orang. Tapi Toan Ki kadung mendongkol, tanpa pikir ia mendorong dan berkata, "Tidak perlu kau ambil hatiku, aku tak mau gubris padamu lagi."

Karena tak mahir ilmu silat, maka cara mendorong Toan Ki hanya sekenanya saja, siapa tahu justru menyentuh dada si gadis. Keruan Ciong Ling kaget, tanpa pikir dan dengan sendirinya ia pegang tangan si pemuda, sekali ditarik terus disengkelit dengan gaya judo, kembali Toan Ki terbanting pula, batok kepala belakang terbentur batu, seketika jatuh semaput.

Melihat pemuda itu menggeletak tak berkutik, Ciong Ling membentaknya, "Ayo lekas bangun, aku ingin bicara padamu!"

Tapi ia lantas gugup ketika melihat Toan Ki tetap tak bergerak, ia berjongkok dan memeriksa, ia lihat kedua mata anak muda itu mendelik, napasnya lemah, orangnya sudah kelengar. Lekas-lekas ia memijat Jin-tiong-hiat bagian atas bibir serta mengurut dada si pemuda.

Selang agak lama, perlahan barulah Toan Ki siuman. Ia merasa dirinya bersandar di tempat yang empuk, hidungnya mengendus bau wangi pula, ia membuka mata dan melihat sepasang mata-bola Ciong Ling yang jeli bening itu lagi memandangnya dengan rasa khawatir.

Melihat Toan Ki sudah siuman, Ciong Ling menghela napas lega, "Ah, syukurlah engkau tidak mati."

Melihat dirinya bersandar di pangkuan si gadis, tanpa merasa hati Toan Ki terguncang, tapi segera terasa batok kepala belakang masih kesakitan, kembali ia berkaok-kaok sakit.

Ciong Ling terkejut oleh kelakuan Toan Ki itu, "Kenapa?" tanyanya.

"Aku ... aku kesakitan!" sahut Toan Ki.

"Hanya sakit, kan tidak mati, kenapa berkaok-kaok?""Jika mati, masakah bisa berkaok-kaok?"

Ciong Ling mengikik tawa, ia merasa salah tanya. Ia coba angkat kepala Toan Ki, ternyata di bagian belakang benjol sebesar telur ayam, cuma tidak mengeluarkan darah, namun sakitnya tentu tidak kepalang. Maka katanya setengah mengomel, "Habis, siapa suruh kau berlaku rendah. Apabila orang lain, mungkin kontan sudah kubunuh, tapi kau hanya terbanting saja, masih murah bagimu."

Toan Ki bangun duduk, tanyanya dengan heran, "Aku berbuat ren ... rendah bagaimana? Kapan terjadi? Inilah fitnah belaka!"

Dasar perasaan gadis remaja seperti Ciong Ling yang baru mulai bersemi, terhadap urusan laki-perempuan baru taraf paham tak-paham, ia menjadi jengah oleh sangkalan Toan Ki itu, katanya dengan wajah merah, "Tak dapat kukatakan, pendek kata kau yang salah, siapa suruh kau mendorong ... mendorong sini."

Baru sekarang Toan Ki paham duduknya perkara, ia merasa kikuk, ingin dia jelaskan, tapi sukar mengucapkannya.

Maka Ciong Ling berkata lagi, "Syukur akhirnya kau siuman, bikin aku khawatir saja."

"Tadi di Kiam-oh-kiong, kalau kau tidak menolong aku, pasti aku akan dipersen dua kali tempelengan lebih banyak. Kini kau membanting dua kali diriku, biarlah kuanggap kelop, siapa pun tidak utang. Agaknya memang sudah suratan nasibku, tak bisa terhindar dari malapetaka ini."

"Demikian ucapanmu, jadi kau gusar padaku?" tanya si gadis.

"Memangnya orang sudah dipukul harus memuji dan berterima kasih pula padamu?" sahut Toan Ki.

"Ya, sudahlah, selanjutnya aku takkan pukul kau lagi," kata Ciong Ling dengan menyesal sambil memegang tangan si pemuda. "Sekarang kau tidak marah lagi, bukan?"

"Tidak, kecuali kalau aku pun balas memukulmu dua kali," ujar Toan Ki.

Ciong Ling tidak lantas menjawab, ia merasa enggan dipukul orang. Tapi demi tampak pemuda itu hendak tinggal pergi lagi dengan marah, cepat ia tegakkan leher dan berkata, "Baiklah, boleh kau pukul aku dua kali. Tapi ... tapi jangan keras-keras, ya!"

"Tidak bisa," kata Toan Ki. "Kalau tidak keras, mana bisa dianggap membalas dendam. Maka pukulanku sudah pasti sangat keras. Jika kau tidak tahan, lebih baik jangan."

Ciong Ling menghela napas, ia pejamkan mata dan berkata lirih, "Baiklah! Tapi ... tapi sesudah memukul, engkau jangan marah lagi!"

Namun sesudah ditunggu dan tunggu lagi, tangan Toan Ki masih belum juga terasa memukulnya. Waktu membuka mata, ia lihat pemuda itu lagi memandang kesima padanya dengan wajah tertawa-tertawa padanya. Ia menjadi heran, tanyanya, "He, kenapa kau tidak memukul?"

Tiba-tiba Toan Ki menyelentik perlahan dua kali di pipi Ciong Ling, katanya, "Hanya dua kali selentikan saja dan impas."

Ciong Ling tertawa manis, serunya, "Memang aku sudah tahu engkau orang baik"

Untuk sekian lamanya Toan Ki kesengsem menghadapi gadis jelita yang hanya belasan senti di depannya itu, makin dipandang makin cantik, bau harum gadis sayup-sayup menyusup hidungnya, berat nian untuk meninggalkannya pergi. Akhirnya ia berkata, "Sudahlah, sekarang sakit hatiku sudah terbalas, kini aku hendak pergi mencari Sikong Hian dari Sin-long-pang itu."