Bab 1 --- Part 3
maju, ia lihat kedua mata orang itu mendelik beringas, wajahnya penuh rasa gusar dan dendam, tapi napasnya sudah putus. Kejut Co Cu-bok tak terkatakan, lekas ia berusaha menolong, namun tak berdaya lagi.

Kiranya orang itu bernama Yong Goan-kui, Sute atau adik seperguruan Co Cu-bok. Meski ilmu silatnya lebih rendah daripada sang Suheng, namun jauh di atas Kiong Jin-kiat. Maka aneh sekali bahwa tabrakan tadi tak bisa dihindarkannya, bahkan sekali tabrak roboh binasa.

Co Cu-bok tahu sebelum tabrakan tentu sang Sute sudah terluka parah, maka cepat ia membuka baju Yong Goan-kui untuk diperiksa. Begitu baju terbuka, segera tertampak di dada Yong Goan-kui jelas tertulis sebaris huruf, "Tengah malam ini Sin-long-pang akan membasmi Bu-liang-kiam!"

Huruf-huruf hitam yang dekuk melekat di daging itu bukan ditulis dengan tinta, juga bukan ukiran benda tajam. Setelah ditegasi, Co Cu-bok menjadi gusar, ia angkat pedangnya hingga berbunyi mendenging, teriaknya dengan murka, "Hm, lihatlah apakah Sin-long-pang yang akan membasmi Bu-liang-kiam atau Buliang-kiam yang akan memusnahkan Sin-long-pang? Sakit hati ini tidak kubalas, kusumpah tak mau hidup lagi!"

Kiranya huruf-huruf yang terdapat di dada Yong Goan-kui itu ditulis dengan semacam obat racun, daging yang terkena racun lantas membusuk dan dekuk ke dalam.

Waktu Co Cu-bok periksa tubuh Yong Goan-kui pula, ternyata tiada tanda luka lain. Segera ia membentak, "Jin-ho, Jin-kiat, melihat keluar sana!"

Karena kejadian itu, seketika suasana dalam ruangan besar itu menjadi gempar, semua orang tidak urus lagi pada Toan Ki dan dara cilik di atas belandar itu, tapi beramai-ramai merubung jenazahnya Yong Goan-kui serta mempercakapkan peristiwa ini.

"Makin lama perbuatan Sin-long-pang makin tidak pantas," kata Be Ngo-tek setelah berpikir sejenak. "Cohiante, entah sebab apa mereka bermusuhan dengan golonganmu?"

Karena berduka atas matinya sang Sute, Co Cu-bok menjawab dengan terguguk-guguk, "Itu ... itu disebabkan urusan mencari obat. Musim rontok tahun yang lalu, empat Hiangcu (hulubalang) dari Sin-long-pang datang ke Kiam-oh-kiong sini dan permisi akan mencari semacam obat di belakang gunung kami ini. Soal memetik obat sebenarnya urusan kecil, Sin-long-pang memang hidup dari memetik obat dan menjual jamu. Biasanya tiada banyak berhubungan dengan golongan kami, tapi juga tiada permusuhan apa-apa. Namun Be-goko tentu tahu, belakang gunung ini tidak sembarangan boleh didatangi orang luar, jangankan Sin-long-pang, sekalipun para sobat kental juga dilarang pesiar ke sana, ini adalah peraturan turun-temurun dari leluhur kami, dengan sendirinya kami tidak berani melanggarnya. Padahal urusan ini pun tidak jadi soal ...."

Sampai di sini, tiba-tiba dari luar melangkah masuk seorang dengan tindakan perlahan dan lesu.Aneh, Leng-siau-cu dari Giok-cin-koan yang terburu-buru pergi karena takut pada ular emas tadi kini telah kembali.

Imam itu tunduk kepala dan lesu, mukanya terdapat sejalur luka, kopiah di atas kepalanya juga sudah lenyap, rambut terurai kusut, terang baru saja dia telah dihajar orang.

"Leng-siau Toheng, ken ... kenapa kau?" tanya Co Cu-bok kaget.

Dengan gemas Leng-siau-cu menjawab, "Sungguh belum pernah kulihat manusia sewenang-wenang seperti ini, katanya tidak boleh pergi dari sini dan ... dan aku sendirian tak ... tak mampu melawan mereka yang banyak, maka ...."

"Apakah engkau bergebrak dengan orang Sin-long-pang?" tanya Co Cu-bok.

"Ya, siapa lagi kalau bukan mereka?" sahut Leng-siau-cu penasaran. "Mereka telah menduduki jalan-jalan penting di sekitar gunung, katanya sebelum esok pagi, siapa pun dilarang turun gunung."

Dalam pada itu si dara cilik di atas belandar tadi masih asyik menyisil kuaci sambil mengayun kedua kakinya ke depan dan ke belakang. Tiba-tiba ia sambitkan kulit kuaci ke batok kepala Toan Ki dan berkata dengan tertawa, "He, kau kepingin makan kuaci tidak? Marilah naik ke sini!"

"Tidak ada tangga, aku tak sanggup naik ke situ," sahut Toan Ki.

"Itu gampang," ujar si gadis. Terus saja ia lepaskan seutas tali panjang warna hijau pupus dari pinggangnya, katanya pula, "Pegang erat tali ini, biar kukerek kau ke atas."

"Badanku cukup berat, mana mampu kau kerek diriku?" ujar Toan Ki.

"Boleh coba, paling-paling kau akan mati terbanting," sahut si gadis dengan tertawa.

Melihat tali itu tergantung di depan hidungnya, tanpa pikir Toan Ki terus memegangnya. Di luar dugaan, apa yang terpegang itu terasa basah-basah dingin, bahkan terasa kelogat-keloget bisa bergerak. Waktu ditegasi ... astaga!

Benda yang tadinya disangka tali pinggang itu ternyata adalah seutas tali hidup alias ular, cuma badan ular itu sangat panjang dan kecil, atas dan bawah sama besarnya, sepintas pandang orang pasti tak menyangka kalau itu adalah ular hidup. Keruan Toan Ki kaget dan cepat lepas tangan.

Dara cilik itu mengikik geli, katanya, "Ini adalah Jing-leng-cu, lebih lihai daripada Thi-soa-coa (ular kawat besi), biarpun ditebas dengan pedang juga takkan putus. Ayo, lekas pegang yang erat!"

Toan Ki tabahkan hati dan kerahkan seluruh keberanian buat pegang badan ular tadi, ia merasa badan ular itu rada kasap dan tidak terlalu licin."Pegang yang erat!" seru si gadis sambil mengangkat ke atas dengan perlahan hingga tubuh Toan Ki terapung di atas tanah. Hanya beberapa kali tarikan saja, gadis itu sudah mengerek Toan Ki ke atas belandar.

Toan Ki menjadi kagum dan takut-takut pula melihat gadis cilik itu mengikat Jing-leng-cu ke pinggangnya hingga mirip benar seutas tali pinggang, tanyanya, "Apakah ularmu tidak menggigit orang?"

"Kalau kusuruh dia menggigit, tentu dia menggigit, kalau tak kusuruh, dia takkan menggigit, jangan takut," sahut gadis itu.

"Apakah kau yang piara ular-ular ini, sudah jinak ya?" tanya Toan Ki lagi.

"Ya, coba memegangnya," kata si gadis sambil mengangsurkan seekor ular kecil padanya.

Tentu saja Toan Ki kelabakan, serunya gugup, "He, jangan, jangan! Aku tidak mau."

Ia menggoyang-goyang tangannya sembari menggeser tubuh ke belakang, dan karena duduknya kurang tepat, hampir saja ia terjungkal ke bawah belandar.

Untung si gadis keburu menjambret kuduknya dan menariknya ke samping lagi, katanya dengan tertawa, "Apakah engkau benar tak mahir ilmu silat? Sungguh aneh!"

"Kenapa aneh?" tanya Toan Ki.

"Engkau tak bisa ilmu silat, tapi berani datang ke sini seorang diri, tentu saja kau akan dianiaya oleh mereka yang jahat itu," ujar si gadis. "Sebenarnya untuk apa kau datang ke sini?"

Melihat sikap ramah si gadis, meski baru kenal, tapi menganggapnya seperti sobat lama, maka selagi Toan Ki hendak menceritakan maksud kedatangannya, tiba-tiba terdengar suara langkah orang, dari luar berlari masuk dua orang. Kiranya adalah Kam Jin-ho dan Kiong Jin-kiat berdua.

Waktu itu Kiong Jin-kiat sudah mengenakan kembali celananya, hanya bagian atas masih telanjang.

Sikap kedua murid Bu-liang-kiam itu tampak rada takut, mereka mendekati Co Cu-bok dan melapor, "Suhu, orang Sin-long-pang telah berkumpul di atas gunung depan, jalan-jalan penting telah dijaga, kita dilarang turun gunung. Karena jumlah musuh lebih banyak, sebelum mendapat perintah Suhu, kami tidak berani sembarang turun tangan."

"Ehm, ada berapa banyak mereka?" tanya Cu-bok.

"Kira-kira 70 sampai 80 orang," sahut Jin-ho.

"Hm, hanya sejumlah itu lantas ingin membasmi Bu-liang-kiam? Rasanya takkan semudah itu!" jengek Co Cubok.

Baru selesai ucapannya, tiba-tiba terdengar suara mendengung di udara, dari luar terbidik masuk sebatang panah bersuara. Tanpa pikir Kiong Jin-kiat tangkap tangkai panah itu sebelum jatuh ke tanah. Ternyata di atas panah terikat sepucuk surat. Jelas kelihatan pada sampul surat itu tertulis, "Ditujukan untuk Co Cu-bok."

Waktu Jin-kiat menyerahkan surat itu pada sang guru, Cu-bok menjadi gusar membaca tulisan pada sampul yang kurang hormat itu, katanya, "Coba membukanya!"

Jin-kiat mengiakan dan merobek sampul surat itu.

Saat itulah, si dara cilik membisiki Toan Ki, "Orang jahat yang menjotos engkau itu segera akan mampus!"

"Sebab apa?" tanya Toan Ki terheran-heran.

"Di atas panah dan surat itu beracun semua," sahut si gadis.

"Masakah begitu lihai?" ujar Toan Ki.

Sementara itu terdengar Jin-kiat membaca isi surat yang telah dibukanya itu, "Sin-long-pang memberitahukan pada Co ...." ia merandek karena tidak berani menyebut nama sang guru, lalu melanjutkan, "... kalian diberi tempo dalam satu jam, seluruhnya harus keluar dari Kiam-oh-kiong, masing-masing mengutungi tangan kanan sendiri. Kalau tidak, sebentar seantero isi istanamu, tua-muda, besar-kecil, ayam dan anjing pun tak terkecuali dari kematian."

"Hm, Sin-long-pang itu macam apa, begitu besar mulutnya!" jengek Liu Cu-hi, itu jago dari Tiam-jong-pay.

Sekonyong-konyong terdengar suara gedebukan, tahu-tahu Kiong Jin-kiat roboh terjungkal.Saat itu Kam Jin-ho masih berdiri di samping sang Sute, ia berteriak kaget, "Sute!"

Segera ia bermaksud membangunkan saudara seperguruannya itu.

Namun Co Cu-bok keburu menyela maju, ia dorong Jin-ho ke samping sambil membentak, "Jangan sentuh tubuhnya! Mungkin beracun."

Benar juga, muka Kiong Jin-kiat tampak berkerut-kerut kejang, tangan yang memegang surat tadi dalam sekejap saja sudah berubah hitam hangus, sekali kedua kakinya berkelejet, putuslah napasnya.

Tiada satu jam lamanya, beruntun Bu-liang-kiam sekte timur sudah kematian dua jago pilihannya. Keruan para tokoh silat yang hadir di situ sama terkesiap.

"Apakah kau pun orang Sin-long-pang?" tiba-tiba Toan Ki tanya si dara cilik dengan perlahan."Hus, jangan kau sembarangan omong!" semprot si gadis.

"Habis, dari mana kau tahu panah dan surat itu beracun?" tanya Toan Ki.

Gadis itu tertawa, sahutnya, "Cara memberi racun itu terlalu kasar, lamat-lamat di atas panah dan surat itu kelihatan ada selapis sinar fosfor. Caranya ini hanya bisa mencelakai orang yang goblok saja."

Ucapan terakhir si gadis itu sengaja dibikin keras sehingga dapat didengar oleh semua orang di dalam ruangan.

Segera Co Cu-bok memeriksa panah dan surat tadi, tapi tak terlihat sesuatu. Waktu diawasi dari samping, benar juga lamat-lamat kelihatan gemerdepnya sinar fosfor.

"Siapakah she dan nama nona yang mulia?" segera Cu-bok tanya si gadis.

"She dan namaku yang mulia tak bisa kukatakan padamu, itu artinya rahasia tak boleh dibongkar," sahut si gadis.

Dalam keadaan tertimpa malang, mendengar pula ucapan si gadis yang menggoda itu, sedapatnya Co Cu-bok menahan perasaannya dan coba tanya pula, "Jika begitu, siapakah ayahmu dan siapa gurumu? Dapatkah memberi tahu."

"Haha, jangan kira aku bisa kau tipu," sahut si gadis dengan tertawa. "Kalau kukatakan siapa ayahku, tentu kau tahu aku she apa dan mudahlah menyelidiki namaku yang mulia. Tentang guruku ialah ibuku, nama ibuku lebih-lebih tak boleh kuberi tahukan pada orang luar."

Diam-diam Co Cu-bok mengingat-ingat siapakah gerangan tokoh persilatan di Hunlam yang suka piara ular. Tapi seketika ia pun tak ingat, sebab daerah Hunlam yang terkenal banyak pegunungan dan hutan belukar, di mana-mana banyak terdapat ular, begitu pula orang yang piara ular.

Segera Be Ngo-tek tanya Leng-siau-cu, "Leng-toheng, tadi kau sebut 'Uh-hiat-su-leng' segala, apakah itu artinya?"

"Apa? Ah, kapan aku berkata demikian? Entahlah aku tidak tahu," sahut Leng-siau-cu.

Sebagai seorang kawakan Kangouw, maka tahulah Be Ngo-tek pasti Leng-siau-cu sangat jeri terhadap 'Uhhiat-su-leng' yang disebutnya itu, sudah terang tadi tercetus dari mulutnya istilah itu, tapi kini tidak mengaku, tentu ada udang dibalik batu. Maka ia pun tidak tanya lebih jauh.

Dalam pada itu Co Cu-bok berkata pula terhadap si gadis, "Jika nona tidak sudi memberi tahu, ya sudahlah. Silakan turun saja untuk berunding, Sin-long-pang melarang setiap orang turun gunung, tentu kau pun akan dibunuh mereka."

"Hah, tidak nanti mereka berani membunuhku," sahut si gadis tertawa, "mereka hanya membunuh orang Buliang-kiam. Justru ketika mendengar berita itu sengaja kudatang kemari untuk menonton pembunuhan. Hai, kakek jenggot, ilmu pedang kalian lumayan juga, tapi tidak bisa menggunakan racun, pasti bukan tandingan Sin-long-pang!"

Apa yang dikatakan si gadis itu tepat mengenai titik kelemahan golongan "Bu-liang-kiam." Kalau saling gebrak dengan kepandaian sejati, Kungfu Tang-cong dan Se-cong dari Bu-liang-kiam, serta delapan jago terkemuka yang diundang datang sebagai juri itu, betapa pun takkan gentar terhadap Sin-long-pang, tapi kalau bicara tentang menggunakan racun dan menawarkannya, semuanya memang tidak becus.

Diam-diam Co Cu-bok mendongkol mendengar ucapan si gadis bahwa kedatangannya itu ingin menonton pembunuhan, seakan-akan makin banyak orang Bu-liang-kiam yang mati terbunuh, akan membuat hatinya semakin senang.

Maka ia menjengek sekali, lalu bertanya pula, "Berita apakah yang didengar nona di tengah jalan?"

Sebagai seorang ketua suatu aliran persilatan terkemuka, dia sudah biasa memerintah, maka ucapannya itu seakan-akan mengharuskan si gadis lekas menjawabnya.

Tak terduga, tiba-tiba dara cilik itu berkata, "Eh, kau suka makan kuaci tidak?"

Keruan Co Cu-bok semakin panas hatinya, coba kalau tidak lagi menghadapi musuh besar di luar sana, tentu sejak tadi ia sudah memberi hajaran pada anak dara itu, sedapatnya ia menahan gusar, sahutnya, "Tidak suka!"

"Kuaci apakah itu?" mendadak Toan Ki menimbrung. "Apakah digoreng dengan bawang? Atau gorengan Ngohiang? Atau bumbu vanili? Tampaknya enak juga."

"Aneh, masa begitu banyak juga cara menggoreng kuaci?" sahut si gadis. "Aku tidak tahu kuaci ini digoreng dengan bumbu apa. Yang terang, ibuku menggoreng kuaci ini dengan empedu ular. Kalau sering makan akan membikin mata terang dan otak tajam. Kau mau mencicipi?"

Habis berkata, terus saja ia meraup segenggam dan ditaruh di tangan Toan Ki.

Mendengar kuaci gorengan empedu ular, rasa hati Toan Ki menjadi mual.

"Kalau tidak biasa, memang rasanya sedikit pahit," ujar si gadis lagi. "Padahal enak dan gurih sekali."

Merasa tidak enak untuk menolak maksud baik si gadis, Toan Ki coba-coba menyisil sebiji kuaci itu, begitu menempel bibir, rasanya memang sedikit pahit, tapi sesudah disisil dan dikunyah, eh, rasanya benar gurih dan lezat, berbau harum pula. Terus saja ia menyisil kuaci itu tanpa berhenti.Kulit kuaci satu per satu ia taruh di atas