Bab 2 --- Part 4
terdapat sebuah air terjun raksasa dengan airnya yang dituang ke bawah bagai sungai gantung.

Cepat Jin-ho berhenti sambil berteriak, "Hei, di depan adalah tempat larangan golongan kami, jika kau berani maju lagi hingga melanggar larangan, pasti kau akan mati tak terkubur!"

Bukannya Toan Ki berhenti, sebaliknya ia sangat girang dan berlari ke depan malah, pikirnya, Jika di sana adalah tempat larangan Bu-liang-kiam, tentu dia sendiri tidak berani mengejar pula. Jiwaku memang lagi terancam, takut apa?"

"Hai, lekas berhenti!" kembali Jin-ho berteriak. "Apa kau tidak pikirkan nyawamu lagi?"

"Aku justru ingin nyawaku, maka aku lari ...." baru sekian jawaban Toan Ki, sekonyong-konyong kakinya terasa menginjak tempat kosong. Ia tidak mahir ilmu silat, pula sedang berlari, tentu saja ia tidak bisa menahan diri, langsung tubuhnya anjlok ke bawah.

"Haya!" teriak Toan Ki kaget, namun badannya sudah terjerumus ke bawah jurang yang berpuluh tombak dalamnya.

Waktu Jin-ho memburu sampai di tepi jurang, yang terlihat hanya kabut tebal, apa yang terjadi di bawah jurang sedikit pun tidak terlihat. Ia menduga Toan Ki pasti akan terbanting hancur lebur, sedangkan tempat di mana dia berdiri adalah tempat terlarang golongan sendiri, maka ia tidak berani lama-lama di situ, cepat ia putar balik melaporkan kepada sang guru.

Sementara itu tubuh Toan Ki yang terapung di udara itu, kedua tangannya meraup ke sana-sini dengan harapan bisa menangkap sesuatu untuk menahan daya turunnya.

Kebetulan juga mendadak Jing-leng-cu yang masih dipegang olehnya itu dapat melilit pada suatu dahan pohon Siong yang tumbuh di dinding tebing. Beberapa kali badan ular itu membelit dengan kencang dan kuat di atas dahan itu.

Ketika mendadak Toan Ki merasa daya turunnya berhenti, hampir saja ia tidak kuat memegang Jing-leng-cu dan hampir pula terberosot ke bawah. Untung Jing-leng-cu cukup cerdik, cepat ekornya melilit beberapa kali di pergelangan tangan Toan Ki. Maka menjeritlah mendadak anak muda itu kesakitan.

Kiranya daya turunnya tadi sangat keras, sekali ditahan oleh ekor Jing-leng-cu secara mendadak, seketika lengan kanannya keseleo alias terkilir.

Badan Jing-leng-cu ternyata sangat keras dan kuat luar biasa, meski dibuat gantungan Toan Ki yang bobotnya ratusan kati itu sambil membuai-buai, namun masih bisa bertahan dengan baik.

Waktu Toan Ki memandang ke bawah, ia lihat awan terapung mengambang di udara jurang, betapa dalamnya jurang itu tidak terlihat. Untuk mendaki ke atas, terang tidak mungkin, apalagi tangannya keseleo, tenaga habis.

Pada saat itulah, badannya yang terayun terasa menempel dinding tebing, cepat ia ulur tangan kiri untuk meraih pangkal dahan, segera kakinya mendapatkan tempat berpijak pula, baru sekarang ia merasa lega dan tenang.

Ketika jurang itu diamat-amati, ia lihat di tengah jurang merekah sebuah celah panjang, di tengah celah itu banyak terdapat sebangsa batu pasir, kalau mau, mungkin juga bisa dibuat jalan merambat turun ke bawah dengan perlahan.

Setelah mengaso sebentar, Toan Ki merasa serbarunyam kalau tinggal di situ, kalau tidak bisa naik ke atas, terpaksa turun ke bawah jurang untuk mencari jalan keluar lain.

Meski dia hanya seorang sekolahan, namun mempunyai semangat banteng. Ia pikir jiwanya toh sisa temuan, kalau akhirnya mesti melayang lagi, biarlah. Mati ya mati, seorang laki-laki kenapa takut mati?

Segera ia bersuit pula, lalu mendesis-desis sebagai tanda kembalinya Jing-leng-cu.

Mendengar suara suitan, Jing-leng-cu lantas melepas belitannya di atas dahan dan kembali ke tangan Toan Ki. Maka badan binatang itu diikat pula pada dahan tempat berpijak, kemudian sambil memegangi badan ular, ia merosot ke bawah.

Setelah dekat ujung ekor ular, kakinya memperoleh tempat berpijak lagi, lalu menarik kembali Jing-leng-cu untuk dipakai tali memberosot ke bawah pula dan begitu seterusnya. Untung bagian bawah jurang itu tidak terlalu curam, akhirnya ia tidak perlu bantuan Jing-leng-cu sudah dapat turun ke bawah.

Ia dengar suara gemuruh air makin lama makin keras, ia menjadi khawatir lagi, "Jika di bawah sana ada arus air yang dahsyat, celakalah aku."

Ia merasa butiran air sudah berhamburan dan menciprat mukanya, begitu besar butiran air itu hingga menimbulkan rasa sakit pedas.

Akhirnya sampailah dia di dasar jurang. Waktu memandang ke depan, tanpa tertahan Toan Ki bersorak memuji. Ternyata di tebing kiri sana ada sebuah air terjun raksasa yang menuangkan airnya yang jernih ke sebuah danau besar, begitu luas danau itu hingga tidak kelihatan tepi sebelah sana.

Walaupun dituangi air terjun sekeras itu, namun air danau itu tidak menjadi penuh, tentu ada saluran yang membuang air itu ke tempat lain.

Tempat air terjun menggerujuk itu airnya bergulung-gulung, tapi belasan tombak di luar air terjun itu, air danau tenang bening bagai kaca.

Toan Ki terkesima oleh pemandangan alam yang menakjubkan itu. Karena itu ia sampai lupa pada sakit lengannya yang keseleo itu.

Ketika kemudian ia sadar akan rasa sakit itu, segera ia gulung lengan baju dan berkata pada ruas tulang yang keseleo itu, "Wahai, ruas tulang, jika kudapat membetulkanmu, tentu takkan sakit lagi. Tapi kalau salah sambung biarlah terserah nasib, lebih kesakitan juga masa bodoh."

Ia kertak gigi dan menarik sekuatnya lengan yang terkilir itu. "Krek", eh, tulang yang keseleo itu dapat diluruskan kembali, walaupun rasa sakitnya tidak kepalang, tapi lengan itu kini dapat bergerak dengan bebas lagi.

Toan Ki sangat girang, walaupun sudah menderita setengah harian, namun dasar semangat banteng, ia penuh gairah. Ia meraba Jing-leng-cu dan berkata, "Wahai, Jing-leng-cu, hari ini kalau kau tidak menyelamatkan jiwaku, tentu sejak tadi tuanmu ini sudah naik ke surga. Maka kelak pasti akan kusuruh tuan putrimu memiaramu terlebih baik."

Ia mendekati tepi danau dan meraup air untuk diminum, terasa airnya segar dan rada-rada manis pula.

Setelah tenangkan diri, Toan Ki pikir, "Urusan hari ini sudah sangat mendesak, aku harus lekas mencari jalan keluar, jangan-jangan Kam Jin-ho itu sebentar akan menyusul ke sini, kan bisa celaka."

Segera ia menyusur tepi danau untuk mencari jalan.

Danau itu ternyata berbentuk lonjong, sebagian besar teraling-aling oleh semak-semak tetumbuhan. Toan Ki mengitar kira-kira tiga li jauhnya, ia lihat tebing curam di sekeliling sana terlebih terjal, hanya tebing yang dia turun tadi lebih mendingan, suasana sunyi senyap, jangankan jejak manusia, jejak binatang pun tidak tampak, hanya kicau burung terkadang terdengar.

Karena itu, Toan Ki sedih lagi, ia pikir tak jadi soal dirinya mati kelaparan di situ, tapi jiwa nona Ciong bagaimana jadinya? Ia duduk di tepi danau dengan rasa cemas dan gelisah, sedikit pun tak berdaya.

Kemudian ia pikir, "Boleh jadi jalanku terlalu buru-buru hingga tidak memerhatikan kalau ada sesuatu jalan kecil yang teraling semak-semak atau tertutup batu-batu gunung?"

Karena itu ia bangkit pula, dengan riang sambil bernyanyi-nyanyi kecil ia menyusuri tepi danau lagi untuk mencari jalan keluar.

Kali ini ia telah periksa setiap semak pohon di tepi danau, namun di balik semak-semak itu adalah batu karang melulu yang menempel di dinding jurang yang menjulang tinggi ke langit. Jangankan jalan keluar, bahkan liang ular atau lubang jangkrik pun tidak tampak sesuatu.

Makin lama makin perlahan nyanyi Toan Ki, perasaannya semakin lama semakin tertekan. Ketika berputar kembali sampai di depan air terjun tadi, kakinya sudah lemas, ia mendomprok ke tanah.

Dalam putus asa, timbul khayalannya, "Bila aku bisa menjadi seekor ikan, aku akan menyusur air terjun itu dan berenang ke atas jurang sana."

Sambil berpikir sinar matanya terus mengikuti jalannya air terjun itu dari bawah ke atas. Ia lihat di sebelah kanan air terjun itu mencuat sepotong batu putih gilap bagai kemala. Melihat gelagatnya, boleh jadi air terjun itu pada masa dahulu jauh lebih besar lagi daripada sekarang ini, Entah sudah mengalami gerujukan berapa lama hingga dinding batu itu tergosok rata licin bagai kaca. Kemudian air terjun berubah kecil dan dinding batu sehalus kaca itu pun kelihatan.

Tiba-tiba Toan Ki ingat kata-kata Sin Siang-jing sehabis bertanding di Kiam-oh-kiong, ia telah menyindir ketua sekte timur Bu-liang-kiam, Co Cu-bok, menanyakan selama lima tahun itu apakah sudah banyak meyakinkan pelajaran dinding kemala. Karena itu, Co Cu-bok rada gusar dan menegur sang Sumoay apakah sudah lupa pada pantangan perguruan sendiri, akhirnya Siang-jing bungkam.

Teringat pula olehnya sebabnya Bu-liang-kiam bermusuhan dengan Sin-long-pang adalah karena Sin-longpang minta mencari obat ke belakang gunung ini. Lereng gunung Bu-liang-san ini penuh dengan hutan belukar, kalau cuma mencari sedikit bahan obat saja apa alangannya?

Dasar otak Toan Ki sangat cerdas, mendadak timbul rasa curiganya. Segera ia menyelami setiap pembicaraan yang pernah didengarnya setelah datang di Kiam-oh-kiong itu, maka teringatlah ketika Ciong Ling bertanya tentang "Bu-liang-giok-bik" apa segala pada Co Cu-bok, seketika ketua Bu-liang-kiam itu tercengang dan pura-pura tidak tahu, sebaliknya Ciong Ling terus menyindir atas sikap orang itu.

Tampaknya apa yang dimaksudkan "Giok-bik" itu adalah dinding gunung kemala dan bukan "Giok-bik" dari batu kemala. Sekarang di hadapannya terdapat suatu dinding gunung yang putih gilap bagai kemala, pula terletak di belakang gunung Bu-liang-san, terang dinding tebing gunung ini banyak hubungannya dengan apa yang terjadi hari ini.

Menyusul teringat pula ketika dirinya terjerumus ke dalam jurang tadi, berulang-ulang Kam Jin-ho membentaknya agar berhenti, katanya tempat itu adalah tempat Bu-liang-kiam yang terlarang didatangi siapa pun juga.

Maka pikirnya pula, "Ketika aku ikut Be Ngo-tek ke Kiam-oh-kiong, pernah kutanya sebab apa ketiga sekte Bu-liang-kiam itu setiap lima tahun harus saling bertanding sekali dan yang menang berhak menghuni Kiamoh-kiong selama lima tahun? Namun jago tua she Be itu hanya garuk-garuk kepala dan menyatakan itu adalah rahasia golongan Bu-liang-kiam, orang luar tidak mengetahuinya."

Ia coba menganalisis apa yang telah dilihat dan didengarnya itu, ia menduga di atas Giok-bik itu tentu terukir semacam rahasia pelajaran ilmu pedang yang ditetapkan oleh leluhur Bu-liang-kiam, bahwa sekte mana yang menang dalam pertandingan boleh tinggal di situ untuk mempelajari ilmu pedang itu selama lima tahun.

Berpikir sampai di sini, ia bertambah yakin akan rekaannya itu.

Sejak kecil Toan Ki sangat dipengaruhi oleh ajaran agama Buddha, ia benci terhadap ilmu silat. Ia minggat dari rumah juga disebabkan tidak mau belajar silat. Tapi setelah beruntun-runtun dianiaya, dihina dan diracun orang, yang berbuat itu semuanya adalah orang persilatan pula, maka bencinya terhadap ilmu silat makin mendalam.

Maka demi ingat dinding kemala itu ada sangkut-pautnya dengan ilmu silat, segera ia melengos tidak sudi memandangnya lagi. Pikirnya, "Sebabnya orang suka berkelahi dan bunuh-membunuh di dunia ini, semuanya gara-gara ilmu silat masing-masing. Apabila di atas dinding kemala itu terukir ilmu silat yang tiada tandingannya di seluruh kolong langit, itu berarti akan membawa bencana lebih hebat bagi manusia, akibatnya tentu jauh lebih celaka daripada Kim-leng-cu, Toan-jiong-san dan sebagainya."

Ia pikir sambil berjalan terus, namun akhirnya rasa ingin tahunya lebih kuat daripada segala pikiran lain, ia pikir pula, "Rahasia ilmu silat yang tertera di atas dinding kemala itu pasti sangat susah diyakinkan, bila tidak, rasanya Co Cu-bok dan saudara-saudara seperguruannya tidak perlu bersusah payah mempelajarinya selama lima tahun dan ternyata tidak banyak hasilnya. Aku justru ingin tahu macam apakah ilmu silat yang aneh itu?"

Segera ia menengadah pula, ia lihat dinding itu halus gilap seperti kaca, dari mana bisa terukir sesuatu rahasia ilmu pedang atau ilmu silat lain? Ia coba mengincar dari samping dan mengamati dari depan pula, namun tetap tiada sesuatu yang menarik, pikirnya pula, "Apa yang dikatakan orang kuno belum tentu sungguh-sungguh. Boleh jadi leluhur Bu-liang-kiam sengaja membohongi anak murid mereka agar bisa lebih giat berlatih. Atau mungkin juga dugaanku yang salah?"

Setelah memandang sekian lama pula, ia merasa letih dan lapar. Tanpa pikir lagi ia rebahkan diri dan tertidur. Ketika mendusin esok paginya, perutnya semakin keroncongan, tapi di tengah lembah itu tiada sesuatu makanan, buah-buahan pun tidak tampak.

Sampai tengah hari, saking lapar Toan Ki terus petik beberapa bunga hutan sekadar tangsel perut. Walaupun pahit getir rasanya bunga itu, terpaksa ia telan mentah-mentah.

Setelah beberapa jam lagi, sang surya sudah doyong ke barat, ia lihat di angkasa danau timbul selarik bianglala yang indah permai. Ia tahu di mana ada air terjun, pantulan sinar matahari sering menimbulkan bayangan bianglala yang berwarna-warni. Menghadapi pemandangan permai itu, ia merasa tidak penasaran biarpun harus terkubur di lembah gunung itu. Setelah termenung-menung agak lama, akhirnya ia rebah dan terpulas lagi.

Tidurnya itu nyenyak benar, ketika mendusin, waktunya sudah tengah malam. Ia lihat sang dewi malam sedang memancarkan cahaya yang tenang lembut. Ketika mendongak memandang ke dinding batu sana, ia lihat di dinding itu jelas terlukis dua benda.

Toan Ki terkesiap, ia kucek-kucek mata dan memandangnya lebih jelas, kiranya kedua benda itu hanya bayangan saja. Yang satu berbentuk melengkung mirip pelangi yang dilihatnya siang tadi, yang lain adalah bayangan sebatang pedang.

Bayangan pedang itu sangat terang, baik batang pedang, tangkainya, ujungnya, semuanya mirip benar.

Setelah pikir sejenak, Toan Ki menarik kesimpulan di depan dinding batu itu pasti ada sebatang pedang, karena sinar bulan yang menyorot miring itu, maka bayangan pedang tercetak di atas dinding itu.

Ia lihat ujung bayangan pedang itu menunjuk ke pucuk bayangan benda melengkung itu. Waktu ditegasi, Toan Ki merasa bayangan itu makin mirip pelangi. Tidak lama, awan