Bab 1 --- Part 2
Siapa duga tempelengan Kiong Jin-kiat yang sepele itu tak bisa dihindarnya, tampaknya pemuda ini memang betul sedikit pun tak bisa ilmu silat.Ini sungguh luar biasa!

Umumnya orang hanya mendengar cerita tentang jago silat kosen sengaja pura-pura bodoh untuk menggoda lawan, tapi tidak mungkin seorang yang tidak mahir ilmu silat berani main gila.

Bagi Kiong Jin-kiat sendiri yang secara mudah berhasil menempeleng orang, seketika ia rada terkesima juga. Tapi segera ia jambret dada baju Toan Ki serta diangkat ke atas sambil membentak, "Tadinya kukira seorang tokoh yang tak dikenal, siapa tahu tak becus begini!"Terus saja ia banting tubuh orang ke tanah.

"Bluk", Toan Ki terbanting keras ke lantai, kepala membentur kaki meja hingga benjut.

Be Ngo-tek merasa tidak tega, cepat ia membangunkan pemuda itu dan berkata, "Kiranya Laute (saudara) memang tak bisa ilmu silat, lantas untuk apa ikut ke sini?"

Toan Ki meraba-raba batok kepalanya yang benjut itu, sahutnya dengan tertawa, "Memangnya aku melulu datang untuk menonton keramaian. Kulihat ilmu pedang Bu-liang-kiam paling-paling juga cuma begini saja, sang guru dan si murid berjiwa kerdil pula, tampaknya juga takkan mampu lebih maju lagi daripada ini. Biarlah aku pergi saja."

Tiba-tiba seorang murid Co Cu-bok yang lain melompat maju mengadang di depan Toan Ki, katanya, "Jika engkau tidak mahir ilmu silat, lantas mau pergi mencawat ekor begini saja memang bolehlah. Tapi kenapa kau mengolok-olok ilmu pedang kami hanya biasa saja dan paling-paling hanya sekian? Sekarang kuberi dua jalan padamu dan boleh kau pilih. Pertama boleh coba-coba ilmu pedang kami yang hanya begini saja ini, atau kau menyembah delapan kali kepada guruku dan mengaku omonganmu sendiri cuma 'kentut' belaka!"

"O, kau kentut? Kenapa tidak bau?" sahut Toan Ki dengan tertawa.

Murid muda itu menjadi gusar, segera bogem mentahnya menjotos ke hidung Toan Ki. Pukulan ini sangat keras, tampaknya hidung Toan Ki pasti akan bocor dan keluar kecapnya. Tak terduga baru kepalan sampai setengah jalan, tiba-tiba dari udara menyambar tiba sesuatu dan melilit di pergelangan tangan murid muda itu.

Benda itu lemas-lemas dingin dan licin, begitu melilit, terus bergerak merambat.

Keruan pemuda itu terkejut dan cepat menarik tangannya, waktu diperiksa, ternyata yang melilit di tangannya itu adalah seekor ular Jik-lian-coa atau ular rantai merah yang berwarna belang-bonteng menyeramkan, panjangnya kira-kira 30 senti.

Dalam kagetnya, pemuda itu menjerit sambil mengipas-kipaskan tangannya dengan maksud melepaskan lilitan ular kecil itu, tapi binatang itu semakin erat melilit di tangannya tak mau lepas.

Mendadak Kiong Jin-kiat juga berteriak, "Ular, ular!"

Wajahnya tampak berubah hebat sambil tangan menggagap ke dalam baju sendiri, lalu meraba leher, punggung dan ketiak, tapi tiada sesuatu yang kena dipegangnya, saking gugupnya sampai Jin-kiat berjingkrak-jingkrak, buru-buru ia lepas baju sendiri.

Datangnya perubahan ini sungguh sangat mendadak, selagi semua orang terkesiap dan heran, tiba-tiba terdengar di atas kepala mereka ada suara orang mengikik sekali.

Waktu semua orang mendongak, buset, ternyata di atas belandar rumah duduk seorang anak dara jelita, kedua tangannya penuh memegang bermacam ular.

Dara jelita itu berusia antara 16-17 tahun, berbaju hijau, wajah cantik, tersenyum menggiurkan. Pada tangannya sedikitnya memegangi belasan ekor ular yang kecil dan macam-macam warnanya, hijau, merah, hitam, belang dan warna lain, jelas semuanya adalah ular berbisa. Tapi dara cilik itu memegangi ular-ular berbisa itu bagai barang mainan belaka, sedikit pun tidak jeri. Bahkan beberapa ular di antaranya merayap ke muka dan pipinya bagai seorang anak lagi dimanjakan sang ibu yang penuh kasih sayang.

Semua orang hanya sekilas menengok saja, segera terdengar Kiong Jin-kiat dan Sutenya menjerit-jerit, maka cepat mereka berpaling memandang kedua orang itu. Sebaliknya Toan Ki lantas mendongak dan memandang si dara cilik itu dengan terkesima.

Gadis itu duduk di atas belandar sambil kedua kakinya berayun-ayun bagai anak kecil. Melihat dia, entah dari mana datangnya lantas timbul rasa suka dalam hati Toan Ki, katanya segera, "Nona, apakah engkau yang menolong aku?"

"Ya," sahut dara cilik itu. "Orang jahat itu memukulmu, kenapa tidak kau balas hantam dia?"

"Aku tidak bisa membalas ...." baru sekian Toan Ki menjawab, mendadak terdengar teriakan tertahan orang banyak.

Waktu Toan Ki berpaling, terlihat Co Cu-bok sudah menghunus pedang, mata pedang tampak bernoda darah, sedang ular Jik-lian-coa tadi sudah terkutung menjadi dua di lantai, terang kena ditebas mati oleh pedang Co Cu-bok itu.

Sementara itu baju atas Kiong Jin-kiat sudah terlepas semua, dengan setengah telanjang ia masih berjingkrakjingkrak kelabakan, seekor ular hijau kecil tampak merayap kian kemari di punggungnya, ia ulur tangan ke belakang hendak menangkap, tapi beberapa kali dilakukannya tetap tak berhasil.

"Jangan bergerak, Jin-kiat!" bentak Co Cu-bok.

Selagi Jin-kiat merandek, tiba-tiba sinar perak berkelebat, ular hijau itu sudah tertebas menjadi dua potong. Gerakan Co Cu-bok itu secepat kilat hingga semua orang tidak tahu jelas cara bagaimana ia turun tangan, tahutahu ular hijau itu terkutung jatuh ke lantai, sebaliknya punggung Kiong Jin-kiat sedikit pun tidak cedera. Betapa jitu dan cepat permainan pedang Co Cu-bok itu, seketika bersoraklah orang memuji.

"Hm, hanya membunuh seekor ular kecil, kenapa mesti heran?" jengek Toan Ki.

Sedang dara cilik di atas belandar lantas berteriak-teriak, "Hai, si kakek jenggot, kenapa kau binasakan dua ekor ularku? Aku tidak mau sungkan lagi padamu sekarang!"

"He, kau anak perempuan siapa, untuk apa datang ke sini?" tegur Co Cu-bok dengan gusar.

Diam-diam ia sangat heran, bilakah gadis cilik ini berada di atas belandar? Padahal di tengah ruangan besar ini terdapat sekian banyak tokoh terkemuka, masakah tiada seorang pun yang tahu, sekalipun semua orang tadi lagi asyik mengikuti pertandingan Tang-cong dan Se-cong, tapi mustahil tidak mengetahui kalau di atas kepala mereka lagi mengintip seseorang. Kalau kejadian ini tersiar di dunia Kangouw, lantas muka "Bu-liang-kiam" akan ditaruh ke mana?

Gadis cilik itu tidak menjawab pertanyaan Co Cu-bok, kedua kakinya masih bergerak-gerak ke muka dan ke belakang, tampak sepatunya bersulam bunga kuning kecil, ujung sepatu dihias sebuah bola merah terbuat dari benang wool, itulah dandanan anak perempuan kecil yang lazim.

Maka kembali Co Cu-bok berkata, "Lekas melompat turun kemari!"

"Jangan!" tiba-tiba Toan Ki berseru. "Begitu tinggi, kalau melompat turun, apa tidak terbanting? Lekas ambilkan tangga!"

Mendengar itu, banyak orang tertawa geli lagi. Beberapa murid wanita dari Se-cong sama berpikir, "Orang ini tampak cakap dan ganteng, tapi ternyata seorang dogol. Kalau gadis cilik itu mampu naik ke atas belandar tanpa diketahui jago silat sebanyak ini, dengan sendirinya ilmu silatnya pasti sangat tinggi, masakan untuk turun diperlukan tangga, kan lelucon yang tidak lucu?"Sementara itu terdengar si gadis kecil sedang menjawab, "Harus kau ganti dulu kedua ularku, baru aku mau turun bicara padamu."

"Hanya dua ekor ular saja, kenapa dibuat pikiran, di mana-mana dapat kutangkap dua ular seperti ini," ujar Co Cu-bok.

Nyata diam-diam ia sudah jeri terhadap gadis cilik itu. Gadis semuda itu telah berani bermain ular berbisa, tak pelak lagi di belakang si gadis tentu masih ada guru atau orang tua yang sangat lihai, maka nada bicaranya sedapat mungkin mengalah pada si gadis.

Dengan tertawa gadis itu mendebat, "Omong sih gampang, cobalah kau tangkap dulu ekor ular seperti itu."

"Lekas melompat turun!" kembali Co Cu-bok mendesak.

"Tidak mau!" sahut si gadis.

"Jika tetap bandel, segera kuseret turun," ujar Co Cu-bok.

Gadis itu terkikik-kikik, jawabnya, "Boleh kau coba menarik, kalau kena, anggap kau pintar!"Sungguh serbarunyam Co Cu-bok menghadapi seorang gadis cilik nakal seperti itu, katanya pada Siang-jing, "Sumoay, harap kau suruh seorang murid perempuan naik ke atas untuk menyeretnya turun."

"Anak murid Se-cong tiada yang memiliki Ginkang setinggi itu," sahut Siang-jing.

Co Cu-bok menjadi kurang senang, selagi hendak buka suara pula, tiba-tiba terdengar si dara cilik berseru, "He, tidak mau kau ganti ularku, ya? Nih, kuperlihatkan sesuatu yang lihai, biar kalian tahu rasa!"

Segera dari bajunya ia merogoh keluar sesuatu benda yang mirip seutas rantai emas dan disambitkan ke arah Kiong Jin-kiat.

Jin Kiat menyangka tentunya semacam Am-gi atau senjata rahasia yang aneh, maka tidak berani menangkapnya dengan tangan, melainkan melompat hendak menghindar. Tak terduga rantai emas itu adalah seekor ular emas yang kecil.

Ular kecil itu sangat gesit gerak-geriknya, sekali hinggap di punggung Kiong Jin-kiat, terus saja merayap ke dada, ke muka, ke leher dan ke perut dengan cepat luar biasa.

"Bagus, bagus! Ular emas ini sungguh sangat menarik!" seru Toan Ki sambil tertawa senang.Ular emas kecil itu merayap makin cepat, hingga antero badan Kiong Jin-kiat seakan-akan kemilauan oleh cahaya emas dan membikin pandangan semua orang menjadi silau.

Mendadak Leng-siau-cu, itu imam dari Giok-cin-koan di Ay-lo-san, teringat sesuatu, dalam kejutnya ia berseru, "Bukankah ini Kim-leng-cu dari 'Uh-hiat-su-leng'?"

"Numpang tanya, To-heng, permainan apakah 'Uh-hiat-su-leng' itu?" tanya Be Ngo-tek.

Air muka Leng-siau-cu berubah, sahutnya, "Di sini bukan tempat bicara, kelak saja kita omong-omong lagi."

Lalu ia mendongak dan berkata pada gadis cilik di atas belandar sembari memberi hormat, "Terimalah hormat Leng-siau-cu, nona!"

Meski tangannya penuh memegang macam-macam ular, namun dara cilik itu masih sempat merogoh saku dan mengambil sebiji kuaci dan dimasukkan ke mulut, ia hanya tersenyum kepada Leng-siau-cu tanpa menjawab.

Leng-siau-cu berpaling kepada Co Cu-bok, katanya, "Kionghi atas kemenangan yang dicapai pihak Co-heng dalam pertandingan tadi, karena masih ada sesuatu urusan, maafkan kumohon diri dulu!"

Dan tanpa menunggu jawaban Co Cu-bok, buru-buru ia bertindak keluar, ketika lewat di samping Kiong Jinkiat, ia menyingkir jauh-jauh dengan rasa ketakutan.

Co Cu-bok tidak urus sikap orang itu karena lagi mencurahkan perhatian pada ular emas tadi, sebaliknya Be Ngo-tek merasa sangat heran, pikirnya, "Ilmu golok dari Giok-cin-koan terhitung salah satu kepandaian khas dalam dunia persilatan di Hunlam, biasanya Leng-siau-cu pun angkuh terhadap orang, kenapa terhadap ular emas ini ia menjadi ketakutan? Terhadap nona cilik itu pun ia sangat menghormat, entah apa sebabnya?"

Tiba-tiba terdengar gadis cilik tadi bersuit beberapa kali, mendadak ular emas merayap ke muka Kiong Jinkiat, cepat Jin-kiat menangkap dengan kedua tangannya, tapi ular emas itu teramat cepat, badan ular saja tak bisa disentuh tangan Kiong Jin-kiat. Keruan ia tambah kelabakan dan menangkap serabutan, namun tetap menangkap angin.

Segera Co Cu-bok melangkah maju, pedang menusuk cepat, tatkala itu ular emas lagi merayap ke atas mata kiri Kiong Jin-kiat, karena diserang, sekali badan ular berkeloget, dapatlah menghindar. Sebaliknya ujung pedang Co Cu-bok pun berhenti di depan kelopak mata sang murid.

Walaupun serangan itu tidak mengenai sasaran, tapi para penonton sama merasa kagum.Bayangkan saja, asal ujung pedang setengah senti lebih maju, pasti biji mata Kiong Jin-kiat sudah dibutakan.

Diam-diam Sin Siang-jing membatin, "Ilmu pedang Co-suheng ternyata sudah sedemikian saktinya, aku harus mengaku bukan tandingannya, terutama jurus 'Kim-ciam-toh-kiap' (jarum emas menolak baju) barusan, terang aku tak bisa mengungguli dia."

Sementara itu Co Cu-bok telah menyerang pula empat kali beruntun, tapi ular emas itu seperti punya mata di punggungnya, setiap kali dapat menyelamatkan diri.

"Hai, kakek jenggot, ilmu pedangmu bagus juga!" seru si dara cilik. Tiba-tiba ia bersuit lagi, cepat ular emas itu merayap ke bawah terus menghilang.

Selagi Co Cu-bok tertegun kehilangan sasaran, tahu-tahu Kiong Jin-kiat sibuk meraba paha sambil berjingkrakjingkrak, ternyata ular emas itu telah menerobos ke dalam celananya.

"Hahahaha!" Toan Ki tertawa geli. "Tontonan hari ini benar-benar sangat menyenangkan, hahaha!"

Dalam pada itu Kiong Jin-kiat telah melepaskan celana hingga tertampak kedua pahanya yang penuh berbulu lebat. Namun dara cilik itu memang masih kekanak-kanakan, sama sekali ia tidak kenal urusan lelaki dan perempuan, bahkan ia terus berseru, "Kau terlalu jahat, suka menganiaya orang, biarkan kau telanjang bulat. Coba malu atau tidak!"

Habis berkata, ia bersuit lagi.

Ular emas itu benar-benar sangat penurut, sekali mengegos terus menyusup pula, kali ini lebih lucu lagi, celana dalam Kiong Jin-kiat yang diterobos.

Keruan Kiong Jin-kiat semakin kelabakan. Sudah tentu, bagaimanapun ia tak dapat lepas celana dalam di hadapan orang banyak. Ia menjerit sekali terus berlari keluar.

Tapi celaka tiga belas, baru berlari sampai di ambang pintu, mendadak dari luar juga menyerobot masuk seseorang, karena tak sempat mengerem "bluk", kedua orang itu saling tumbuk dengan keras.Tabrakan ini benar-benar sangat keras, tapi Kiong Jin-kiat hanya terpental mundur beberapa tindak, sebaliknya orang dari luar itu terus jatuh terjengkang ke lantai.

"He, Yong-sute!" seru Co Cu-bok kaget.

Melihat siapa yang telah ditabrak olehnya, cepat Kiong Jin-kiat maju membangunkannya, rupanya ia lupa bahwa si ular emas masih mengeram di dalam celana. Maka baru saja orang itu ditarik bangun, begitu merasa si ular merayap di dalam celana, kembali ia menjerit sambil berusaha hendak menangkap ular nakal itu, dan karena pegangan terlepas, orang yang sudah dibangunkan itu terbanting roboh pula.

Tentu saja kejadian lucu itu sangat menggelikan si dara cilik di atas belandar, setelah puas mengikik tawa, akhirnya ia berkata, "Rasanya sudah cukup kau dihajar!"

Segera ia bersuit lagi sekali, ular emas kecil itu lantas merayap keluar dari celana dalam Kiong Jin-kiat terus merayap ke atas dinding tembok dengan kecepatan luar biasa, lalu kembali ke pangkuan si gadis.

Untuk kedua kalinya dapatlah Kiong Jin-kiat membangunkan orang tadi sambil berseru kaget, "Yong-susiok, ken ... kenapa engkau?"Waktu Co Cu-bok memburu