BAB 1. JIK - LIAN - SIN - CIANG

Maka mereka kembali ke rumah Liok Lip-ting. Setelah menghaturkan teh kepada tamu-tamunya, tak sempat tanya nama para tamunya, Liok Lip-ting: lantas masuk ke dalam hendak memberitahukan isterinya, tak tahunya sang isteri sudah mendapat laporan Bu-siang dan keluar mengejar bangsat itu dan belum kembali. Bertambah pula kekuatiran Liok Lip-ting, terpaksa ia kembali ke ruang tamu dan bicara dengan ketiga tamunya,

Ketiga tamunya lantas memperkenalkan diri, kiranya mereka adalah para Piausu An-wan Piaukiok dari Ki-lam di Soatang, seorang she Liong, she So dan she Cu.

Mendengar mereka hanya kawanan Piausu, seketika berubah dingin sikap Liok Lip-ting, hatinya kurang senang, katanya: "Selamanya aku tidak pernah berhubungan dengan Piausu, hari ini kalian kemari, entah ada keperluan apa ?"

Ketiga orang itu saling pandang lalu serentak berlutut, serunya: "Harap Liok-ya suka tolong jiwa kami!"

Liok Lip-ting sudah dapat meraba beberapa bagian, katanya tawar: "Berdirilah kalian, Entah cara bagaimana Cu-ya sampai terkena Jit-lian-sin-ciang ?"

Liong-piausu dan So-piausu berkata berbareng: "Kami berduapun terkena juga." Sembari berdiri mereka menyingkap lengan baju, tampak ke-empat lengan mereka sama berwarna merah darah dan mengerikan.

Liok Lip-ting terkejut katanya ragu2: "Tiga irang semua kena ? Siapa yang menyerang kalian ? )ari mana pula kalian mendapat tahu ayahku asa menolong ?" -

"Tujuh hari yang lalu, kami bertiga membara se-partai barang kawalan menuju ke Hokkianwat Yangciu, di jalan hawa sangat panas, kami berteduh di sebuah gardu minum di pinggir jalan, kami bersyukur sepanjang jalan ini tidak terjadi pa-apa, agaknya barang kawalan akan tiba di tempat tujuan dengan selamat," demikian tutur Liong-piausu.

"Pada saat itulah dari jalan raya sana berlari mendatangi seekor keledai berbulu loreng dengan langkah cepat, penunggangnya adalah seorang Tokoh setengah umur berjubah kuning. ia turun dari keledai dan masuk ke dalam gardu pula, Cu-hiante memang masih muda dan suka iseng lagi, melihat orang berparas elok, ia cengar-cengir dan main mata kepadanya.

Tokoh itupun balas tersenyum manis padanya, Cu-hiante kira orang ada maksud, segera ia menghampiri dan meraba pakaian orang, katanya tertawa: "Seorang diri menempuh perjalanan, apa tidak takut diculik perampok dan dijadikan isteri muda ?" - Tokoh itu tertawa, ujarnya: "Aku tidak takut perampok, hanya takut pada Piausu." - sembari bicara iapun menepuk ringan dipundaknya, Mendadak Cu-hiante seperti kesetrom, seluruh badan bergetar hebat, gigi berkerutukan.

"Sudah tentu aku dan So-hiante sangat kaget. Lekas aku memburu maju memayang Cu-hiante, sementara So-hiante segera menjambret si Tokoh dan bentaknya: "Kau gunakan ilmu sihir apa ? Tokoh itu hanya tersenyum saja, ia menepuk pula sekali di pundak kami berdua, seketika seluruh badan terasa panas seperti di-panggang, panasnya sukar tertahan, namun sekejap lain terasa seperti jatuh ke dalam sumur es, tak tertahan seluruh badan menggigil kedinginan.

"Para kerabat Piaukiok yang lain mana berani maju ? si Tokoh tertawa, ujarnya: "Kepandaian begini saja berani mengibarkan bendera Piaukiok, huh, bikin malu saja, sungguh besar nyali kalian, Kalau tidak kupandang muka kalian yang tebal, pastilah ku persen beberapa kali tamparan lagi", Kupikir sekali tepuk saja tidak tertahan, apalagi ditambah beberapa kali pukulan lagi, tentulah jiwa kami melayang.

Tokoh itu tertawa pula: "Kalian mau tunduk tidak kepadaku ? Masih berani main gila dijalan raya ?" -Lekas aku menyahut: "Kami menyerah ! Tidak berani lagi!" - si Tokoh mengetuk sekali belakang leherku dengan gagang kebutnya, seketika rasa dingin dalam badanku hilang, namun badan masih terasa kaku dan gatal, sudah tentu jauh lebih mending dari pada semula, Lekas aku menjura:

"Kami punya mata tapi lamur sehingga berbuat salah kepada Sian-koh. Harap Sian-koh tidak pikirkan kesalahan kami ini dan sukalah memberi ampun kepada kedua saudaraku."

"Tokoh itu tersenyum: "Dulu guruku hanya mengajarkan cara memukul orang, tidak pernah mendidik aku cara menolong orang, Tadi kalian sudah merasakan sekali tepukan ku, kalau badan kalian kuat, rasanya dapat bertahan sepuluh malam, Kalau hawa merah sudah merembes sampai ke dada, tibalah saatnya kalian pulang ke neraka." - lalu ia tertawa cekikikan, dengan kebutnya ia bersihkan kotoran di jubahnya terus keluar dan cemplak keledainya tinggal pergi.

Sudah tentu kejutku bukan kepalang, tanpa hiraukan pamor segala, lekas aku memburu maju dan berlutut di depannya serta berteriak memohon: "Harap Sian-koh bermurah hati, sudilah memberi ampun dan menolong jiwa kami!"

Mendengar sampai di sini Liok Lip-ting mengerut kening, Liong-piausu tahu perbuatannya terlalu rendah dan hina, segera ia menambahkan: "Xiok-ya, kami datang untuk mohon pertolonganmu, maka apa yang terjadi waktu itu harus kami ceritakan, sedikitpun kami tidak merahasiakannya kepadamu."

"O, ya, teruskan ceritamu." ujar Liok Lip-ting.

Tutur Liong-piausu lebih lanjut: "Tokoh itu hanya tersenyum saja, sesaat kemudian baru berkata: "Baiklah, akan kuberi petunjuk kepadamu. Dia sudi menolong tidak terserah pada keberuntunganmu sendiri, Nah, lekas kalian pergi ke Ling: ok-tin di Oh-ciu, mintalah pertolongan kepada Liok Tian-goan, Liok-lo-enghiong. Dalam dunia ini hanya dia saja seorang yang dapat mengobati luka-luka ini. Katakan pula kepadanya, dalam waktu dekat akupun akan menemui dia."

Tersentak hati Liok Lip-ting, teriaknya kaget:

"Memangnya orang yang mencuri jenazah ayah bundaku itu ada sangkut paut dengan persoalan ini ? ini wah sulit!"

"Begitulah Cayhe berpikir," kata Liong-piausu "Setelah mendengar kata2nya aku masih ingin memohon padanya, tapi dia lantas menukas: "Perjalanan ke Oh-ciu cukup jauh, memangnya kalian hendak membuang-buang waktu," - Tanpa kelihatan dia angkat kakinya, entah bagaimana tahu2 badannya sudah melayang ke punggung keledainya. Cepat sekali keledai itu mencongklang pergi, dikejar pun tidak keburu lagi Aku melongo sekian lamanya, kulihat So dan Cu-hiante masih gemetar, terpaksa ku payang mereka naik ke atas kereta,

"Begitu tiba di kota segera ku panggil tabib terpandai, namun para tabib itu mana dapat mengobati ? Waktu kami buka baju, di atas pundak kami masing2 ada tapak tangan merah darah yang menyolok sekali Sampai besok paginya, rasa, dingin kedua saudaraku baru hilang dan tidak gemetar lagi, namun warna merah tapak tangan itu semakin membesar, kuingat pesan si Tokoh, kalau hawa merah ini sampai merembes sampai ke dada dan ujung jari, jiwa kami bertiga akan tak tertolong lagi, maka kami tidak perdulikan lagi barang kawalan itu, selama beberapa hari ini siang-malam kami memburu kemari, siapa tahu Liok-loenghiong ternyata sudah wafat Memang Cayhe terlalu gegabah, kami hanya ingat kata-kata si Tokoh, tak tahunya Liok-ya telah mendapat ajaran warisan leluhur, engkaulah yang menjadi harapan sebagai tuan penolong jiwa kami."

Dasar banyak pengalaman dan pandai bicara lagi, belum Liok Lip-ting memberi jawaban, dia sudah sebut orang sebagai tuan penolong jiwa mereka, maksudnya supaya orang tidak enak menolak"

Liok Lip-ting tersenyum ewa, katanya: "Sejak kecil aku mendapat didikan keluarga, tapi tidak berani berkelana di Kangouw, jika kalian tidak kenal namaku yang rendah, inipun tidak perlu dibuat heran." Lahirnya dia bersikap merendah, sebetulnya amat tinggi hati, pelahan ia angkat kepala mendadak ia melonjak dan berteriak kaget:

"Apa itu ?" - di bawah sinar pelita jelas sekali kelihatan di atas dinding tembok putih itu berderet sembilan tapak tangan darah.

Mereka berempat terlongong mengawasi ke sembilan tapak tangan merah itu, seperti orang tersihir dan linglung, sesaat lamanya tak mampu bicara, Para Piausu dari An-wan Piaukiok tidak tahu asal-usul tapak tangan darah itu, namun melihat Liok Lip-ting begitu terkejut, serta merta mereka merasa ke sembilan tapak tangan itu pasti berlatar belakang, Ke sembilan tapak tangan itu berjajar tinggi di atas tembok dekat atap rumah, dua yang paling atas berjajar, demikian terus menurun ke bawah masing2 berjajar dua, paling bawah berjarak rada jauh dan berjumlah tiga, Ketiga tapak terbawah inipun tingginya kira-kira tiga meter lebih, kalau tidak naik tangga, tidak mungkin bisa menjajarkan cap2 tangan itu sedemikian rapi.

"lblis itu, untuk apa iblis itu mencari aku ?" demikian gumam Liok Lip-ting.

Dasar orang kasar, Cu-piauthau itu segera bertanya: "Liok-ya, apa maksud ke sembilan tapak tangan darah ini ?"

Hati sedang gundah, menguatirkan keselamatan istrinya lagi, maka Liok Lip-ting tidak hiraukan pertanyaannya, ia keluar rumah dan melihat isterinya, Liok-toanio, sedang mendatangi sambil menggandeng Thia Eng dan Liok-Bu-siang, begitu berhadapan dengan sang suami, nyonya itu hanya menggeleng kepala saja.

Supaya sang istri tidak kuatir, Liok Lip-ting tidak menyinggung tapak tangan darah di atas dinding itu, segera ia iringi orang masuk ke dalam kamar di belakang, lalu ia tuturkan ketiga Piau-thau yang terkena pukulan Ji-lian-sin-ciang dan minta diobati

"Lip-ting," ujar Liok-toanio, "malam ini jangan kita tidur di rumah, bagaimana pendapatmu ?"

"Kenapa ?" Liok Lip-ting menegas,

Liok-toanio suruh Thia Ing dan Liok Bu-siang keluar, setelah tutup pintu ia berkata lirih: "Kejadian hari ini amat ganjil, ayam dan anjing dalam rumah kita ini sudah tiada satupun yang hidup."

"Apa ?" teriak Liok Lip-ting kaget.

"Tiga ekor anjing penjaga pintu, empat ekor kucing, tujuh ekor babi puluhan itik dan dua puluhan ayam, semuanya sudah mati"

Belum lagi habis istrinya menutur, Liok Lip-ting sudah berlari keluar langsung ke belakang, Kim-seng, jongos tuanya menyapa: "Siauya !" -saking sedih hampir saja ia mengucurkan air mata.

Tampak oleh Liok Lip-ting anjing, kucing, ayam dan itik terkapar di atas tanah, semua sudah mati kaku tak bergerak lagi

Pelahan Liok Lip-ting berjongkok di depan anjing kesayangannya, didapatinya batok kepala binatang sudah hancur, terang bukan terkena pukulan atau hantaman benda keras, se-olah2 seperti dipukul dengan suatu benda keeiJ yang lemas, namun tidak mungkin hal itu terjadi ? Sedikit me-renung, tiba-tiba Liok Lip-ting teringat penuturan Liong-piauthau, si Tokok itu memegang sebuah kebutan, terang binatang itu mati dibawah pukulan kebutnya, Tapi kebutan itu terbuat dari barang lemas, cuma sekali kebut orang dapat membunuh anjing" dan babi, malah batok kepalanya hancur luluh, kekuatan lwekang orang itu sangat tinggi dan mengejutkan.

"Ayam anjing tidak ketinggalan ayam anjing tidak ketinggalan !" tanpa terasa mulutnya menggumam pikirnya: "Sejak kecil aku tidak pernah berkecimpung di Kangouw, mana mungkin aku ikat permusuhan ? Orang ini menyerang secara keji, tentu tujuannya hendak mencari perhitungan dengan ayah bunda."

"Segera ia masuk ke kamar tamu, katanya kepada ketiga Piauthau: "Bukan aku tidak suka menahan kalian, soalnya keluarga kami bakal tertimpa bencana, harap kalian suka segera pergi, saja supaya tidak terembet."

Ketiga Piausu ini tadinya mengira orang sudah, sudi memberi pertolongan kini mendengar tuan rumah mengusir mereka secara halus, mereka menjadi gugup dan bingung pula, kata mereka serempak sambil berdiri: "Liok-ya... Liok-ya... engkau...." gelisah dan cemas membuat mereka tidak kuasa meneruskan kata-katanya.

Liok Lip-ting mengerut kening, tiba2 ia masuk ke kamar dan mengeluarkan dua puluh tujuh batang jarum emas, setiap batangnya panjang sembilan incij tanpa suruh orang membuka pakaian, langsung ia tusukkan kedua puluh tujuh jarum itu ke badan ketiga Piausu, setiap orang sembilan batang, Gerak-geriknya amat cekatan, setiap tusukan jarum langsung menancap di Hiat-to penting dalam badan, Belum lagi ketiga Piausu tahu apa yang terjadi tahu2 kedua puluh tujuh batang jarum itu sudah menancap di atas badan mereka Kejadiannya memang aneh, meski jarum2 itu menusuk masuk tujuh-delapan inci ke dalam badan mereka, tapi karena semua Hiat-to itu sudah mati rasa, maka sedikitpun tidak terasakan sakit

"Lekaslah kalian cari tempat yang sepi dan sembunyi atau menetaplah di rumah petani, tiga hari lagi boleh kemari Kalau jiwaku masih hidup, nanti aku memberi pengobatan lebih lanjut."

Ketiga Piauthau itu amat kaget tanyanya: "Liok-ya bakal menghadapi bencana apa ?"

Liok Lip-ting tidak sabar untuk bicara lagi sahutnya: "Kalian terkena Jik-sin-ciang, sebetulnya racun bakal menyerang dalam sepuluh hari dan kalian akan meninggal kini aku sudah menusuk dengan jarum emas, kadar racun akan tertahan sementara, hawa merah itu tidak akan menjalar Tiga hari lagi biar kuberi pertolongan lebih lanjut dan pasti tidak akan terlambat."

"Kalau tiga hari lagi Liok-ya mengalami se suatu, lalu bagaimana ?" tanya Cu-piau-thau.

Mata Liok Lip-ting mendelik jengeknya: "Kecuali aku tiada orang Iain yang mampu mengobati luka-luka Jik-lian-sin-ciang. Kalau aku mati biarlah kalian mengiringi aku."

Liong dan So masih berkukuh hendak mohon pengobatan selekasnya, tapi Liok Lip-ting sudah berkata pula: "Kalian masih tunggu apa lagi Orang yang mencari perkara kepadaku bukan lain adalah Tokoh itu, sebentar dia akan tiba di sini.

Seketika ciut nyali ketiga piausu itu dan mereka berani tanya lagi, cepat mereka pamit dan mohon diri.

Liok Lip-ting tidak antar tamu2nya, ia duduk di kursi sambil mengawasi ke sembilan tapak tangan di atas dinding itu.

Entah berapa lama ia terlongong mengawasi tapak2 tangan itu, tiba2 dilihatnya A Kin jongos berlari masuk ter-gesa2 dan melapor "Siauya, di luar ada datang seorang tamu."

"Katakan aku tidak dirumah," ujar Liok Lip-ting.

"Siauya, Toanio nyonya itu mengatakan tidak mencari kau, dia sedang menempuh perjalanan dan mohon menginap semalam saja di sini," kata si A Kin.

"Apa ? jadi dia perempuan ?" teriak Lip-ting kaget.

"Benar, Toanio itu malah membawa dua anak, mungil dan elok sekali "

Mendengar tamu perempuan membawa anak, barulah Liok Lip-ting merasa lega, tanyanya menegas: "Dia bukan Tokoh ?"

"Bukan," sahut A Kin menggeleng, "Pakaian-nya bersih, kelihatannya nyonya dari keluarga baik-baik."

"Baik, bawalah masuk ke kamar tamu, siapkan makanan dan sediakan ala kadarnya," A Kin mengiakan sambil mengundurkan diri.

Liok