Bab 2. Berlalunya Dua Sahabat Kekal --- Part 2

Siauw Thian menggeleng kepala, ia lemparkan sepasang tombaknya.

Tiat Sim lihat istrinya ketakutan, hatinyapun menjadi lemah, maka seraya menghela napas, ia lemparkan panah dan tombaknya.

Atas itu belasan tombak tajam dipakai mengurung empat orang itu, kemudian delapan serdadu maju mendekati, untuk membelenggu mereka berempat.

Tiat Sim berdiri tegak, dia tertawa dingin. Sikap ini tidak menyenangi si pemimpin tentara, ia ayun cambuknya seraya mendamprat: "Pemberontak bernyali besar, benarkah kamu tidak takut mampus?!"

"Bagus!" kata jago she Yo itu. "Siapakah namamu?!"

Perwira itu menjadi semakin gusur, cambuknya disabetkan berulang-ulang. "Tuan besarmu tak pernah ubah she dan namanya!" katanya dengan jumawa. "Tuan besarmu she Toan namanya Thian Tek. Thian Tek itu berarti kebijaksanaan Tuhan, kau mengerti? Ingatkah kau? Supaya kapan nanti kau bertemu Giam Kun, kau boleh ajukan dakwaanmu!"

Tiat Sim tidak takut, ia malah mengawasi dengan bengis.

"Ingat olehmu, tuanmu ada cacat luka di jidatnya dan tanda biru di pipinya!" Thian Tek membentak pula. Ia angkat pula cambuknya.

Pauw-sie menangis. "Dia orang baik, ia belum pernah berbuat jahat, kenapa kau aniaya dia sampai begini?" tanya istri ini yang tidak tega melihat suaminya dicambuki.

Tiat Sim meludah tepat mengenai mukanya perwira she Toan itu. Dia menjadi sangat murka, ia lalu cabut golok di pinggangnya.

"Aku akan bunuh dulu padamu, pemberontak!" teriaknya.

Tiat Sim tidak sudi mandat dibacok, ia berkelit ke samping. Tapi segera ia merasa ada tombak-tombak yang menahan tubuhnya.

Thian Tek membacok pula.

Tiat Sim tidak melihat lain jalan, ia berkelit mundur dengan mengkeratkan tubuhnya.

Melihat bacokkannya kembali gagal, Thian Tek terus menikam. Kali ini goloknya yang tajam bagaikan gergaji dapat melukakan pundaknya orang she Yo itu. Dia tapinya belum puas, kembali ia ulangi bacokannya.

Siauw Thian lihat adik angkatnya terancam bahaya, ia lompat maju seraya mendupak.

Thian Tek terkejut, ia batal menyerang, terus dia menangkis.

Siauw Thian lihay, ia tarik kakinya untuk ayun kakinya yang lain. Itulah tendangan saling susl dari ilmu tendangan Wan-yo-twie, maka tak ampun lagi, perwira itu terjejak pinggangnya.

"Hajar mampus dia!" dia berseru.

Beberapa serdadu segera menyerang. Siauw Thian melawan, ia dapat menendang terguling dua serdadu, tetapi karena ia terbelenggu tangannya, akhirnya ia kena dibokong Thian Tek yang sambar ia dari belakang, hingga tangan kanannya terbacok kutung!

Bukan main panasnya hati Tiat Sim menampak kakaknya itu menjadi korban keganasan si perwira, entah darimana datangnya tenaganya ketika ia berteriak keras sekali, belengguan pada tangannya terputus terlepas, maka sambil melompat maju, ia hajar rubuh satu serdadu, untuk rampas tombaknya yang panjang dengan apa ia terus mengamuk.

Thian Tek menginsyafi bahaya, ia sudah mendahului mundur.

Yo Tiat Sim menyerang bagaikan kalap, matanya menjdi merah.

Semua serdadu mejadi kalah hati, dengan ketakutan mereka lari bubaran..

Tiat Sim tidak mengejar musuh, hanya ia menubruk kakak angkatnya yang telah mandi darah. Tanpa merasa ia kucurkan airmata.

"Adik sudah kau jangan pedulikan aku," kata Siauw Thian lemah. "Lekas, lekas kau singkirkan diri..."

"Akan aku merampas kuda, mari kita pergi bersama!" kata Tiat Sim.

Siauw Thian tidak menyahut, ia hanya pingsan.

Tiat Sim buka bajunya, hendak ia membalut luka kakak itu, tetapi lukanya lebar sekali, dari pundaknya merembet ke dada, sulit untuk membalutnya.

Siauw Thian sadar pula. " Adik, kau pergilah..." ia kata dengan suara yang sangat lemah. "Pergi kau tolong teehu serta ensomu...aku, aku sudah habis..." Dan ia meramkan matanya untuk selamanya.

Hampir Tiat Sim menyemburkan darah, sangking berduka dan mendongkol. Ia lantas berpaling ke arah di mana istrinya dan ensonya, istri Siauw Thian. Karena kagetnya ia tidak dapat melihat mereka itu.

"Toako, aku akan balaskan sakit hatimu!" ia berteriak. Lalu dengan membawa tombaknya, ia lari kepada barisan serdadu, yang sekarang sudah berkumpul pula.

Toan Thian Tek memberi perintahnya, maka barisannya itu menyambut dengan hujan anak panah.

Tiat Sim maju terus seraya putar tombaknya, akan halau setiap busur. Ketika satu perwira dekati dia dan membacok, ia berkelit sambil mendak, akan nelusup ke bawahan perut kuda. Si perwira membacok sasaran kosong, hendak ia putar kudanya, tetapi tombaknya Tiat Sim tahu-tahu sudah menikam tepat kepadanya, maka ketika tubuhnya rubuh, orang she Yo itu gantikan ia lompat naik ke atas kudanya itu hingga dengan apa punya binatang tunggangan, Tiat Sim bisa menyerang dengan terlebih hebat. Sekali lagi barisan serdadu itu lari buyar.

Tiat Sim mengejar, hingga ia lihat satu perwira lagi kabur sambil peluki seorang perempuan. Ia tidak mengejar, hanya ia lompat turun dari kudanya, akan rampas gendawanya satu serdadu Song lalu diantara terangnya api obor, ia panah perwira itu. Tepat panahnya ini, si perwira rubuh dari kudanya yang jatuh ngusruk. Dia rubuh bersama si wanita dalam pelukannya, hingga orang jadi terlepas.

Lagi sekali Tiat Sim memanah. Selagi orang merayap bnagun. Kali ini perwira itu rubuh pula untuk tidak dapat bangun lagi.

Tiat Sim lari kepada wanita itu untuk kegirangannya ia dapatkan pada istrinya. Sek Yok kaget dan girang, ia lompat ke dalam rangkulan suaminya itu.

"Mana enso?" Tiat Sim tanya. Dia lantas ingat istrinya Siauw Thian.

"Ia ada di sebelah depan, ia pun dibawa lari serdadu jahanam itu!" sahut Pauw-sie.

Kapan Tiat Sim menoleh, ia tampak mendatanginya satu barisan lain.

"Toako telah menemui ajalnya, biar bagaimana aku mesti tolongi enso!" ini adik angkat ambil keputusan, ia bicara sama istrinya. "Turunan toako mesti dilindungi. Kalau Thian mengasihi kita, kita berdua dapat bertemu pula..."

Sek Yok segera merangkul keras leher suaminya itu, ia menangis menggerung-gerung.

"Tak dapat kita berpisah!" ia kata. "Kau yang bilang sendiri, kalau kita mesti binasa, kita mesti binasa bersama! Bukankah benar kau pernah mengatakan demikian?"

Tiat Sim peluki istrinya, hatinya karam. Tapi ia tiba-tiba keraskan hati, ia menolak dengan keras, ia sambar pula tombaknya, untuk lari. Ketika sudah lari beberapa puluh tindak, ia lihat istrinya menangis bergulingan di tanah, dan barisan serdadu yang mendatangi sudah mendekati istrinya itu. Ia usap mukanya, peluhnya bercampur sama darah muncratan. Ia lari pula. Telah bulat tekadnya untuk menolongi Lie-sie. Di sebelah depan, ia dapat rampas seekor kuda, maka itu ia jadi tambah semangat. Kebetulan ia dapat membekuk seorang serdadu, atas pertanyaannya, serdadu itu bilang Lie-sie berada di sebelah depan. Maka secepatnya ia membedal kudanya.

Tiba-tiba dari samping jalanan mana ada perpohonan lebat, terdengar cacian seorang wanita. Ia lekas tahan kudanya, yang ia putar untuk hampirkan tempat lebat itu. Dengan tombaknya ia menyingkap cabang-cabang pohon.Maka di hadapannya terlihat dua serdadu sedang menyeret-nyeret Lie-sie.

Tanpa ampun lagi, Tiat Sim menikam  mereka satu demi satu sampai mati.

Lie-sie berbangkit dengan rambut kusut dan pakaian penuh tanah tidak karuan. Diwaktu begitu, tidak ada ketika untuk omong banyak, maka Tiat Sim angkat tubuh iparnya itu, dikasih naik ke atas kudanya, untuk mereka menunggang bersama. Ia lari balik untuk cari istrinya di tempat dimana tadi mereka berpisah. Untuk kedukaannya ia tak dapatkan Pauw-sie, tempat itu sunyi senyap dari segala apa. Ia turun dari kudanya untuk memeriksa tanah. Ketika itu sudah fajar. Ia lihat tapak-tapak kaki dan tanda bekas orang diseret, maka sakitlah hatinya. Ia percaya istrinya telah jatuh pula ke dalam tangan musuh....

"Mari!" katanya seraya melompat naik ke atas kudanya yang ia terus kasih lari, perut kudanya pun dijepit hingga binatang itu kesakitan dan lari kabur.

Sedang kuda lari keras mendadak dari samping jalanan muncul belasan orang yang hitam semua pakaiannya, orang yang terdengar segera menyerang dengan toyanya.

Tiat Sim sempat menangkis, dapat ia menikam.

Orang itu sebat dan gesit, ketika ia membuat perlawanan, nyata permainan toyanya pun lihay. Hal ini membuat heran kepada orang she Yo itu.

Pernah Tiat Sim dan Siauw Thian berbicara tentang ilmu silat, bahwa dijamannya kawanan Liang San, Pek-lek-hwee Cin Beng adalah yang terlihay ilmu toyanya, tetapi dijaman itu orang Kim-lah yang terkenal. Maka itu sekarang ia curigai lawannya itu ada satu perwira Kim. Ia hanya heran, kenapa perwira Kim bisa muncul di situ. Tapi ia tidak bisa berpikir lama-lama, ia lantas menyerang dengan hebat. Kali ini ia berhasil membuat lawan itu terjungkal, karena mana barisan serdadunya lantas kabur.

Segera Tiat Sim menoleh, hatinya lega akan dapatkan iparnya tak kurang satu apapun. Ia masih mengawasi iparnya itu ketika "Ser!" sebatang gendewa menyambar kepadanya, menyambar dari arah pepohonan yang lebat, hingga ia tidak sempat menagkis atau berkelit, busur itu tembus di punggungnya.

"Encek, kau kenapa?" tanya Lie-sie kaget.

Tiat Sim tidak menyahuti, hanya di dalam hatinya ia kata: "Aku tidak sangka bahwa aku bakal habis disini... Sebelum aku terbinasa, aku mesti labrak dulu musuh, supaya enso dapat lolos!" Ketika ia geraki tombaknya, ia menjadi kaget. Ia merasa sakit hingga ke peparunya.

"Cabut panah ini!" ia kata.

Lie-sie tapi hatinya lemah, tenaganya tidak ada, tak dapat ia menolong.

Tiat Sim lantas mendekam di atas kudanya, tangan kirinya diapakai mencekal gagang panah, dengan satu kali sentak, ia cabut busur itu terus ia pandangi.

Anak panah itu nancap dalam kira tiga dim, gagangnya memakai bulu burung rajawali, batangnya terbuat dari perunggu. Itu bukanlah sembarang busur. tempo ia memeriksa lebih jauh, pada gagang itu ada terukir tiga huruf "Wanyen Lieh" Ia terkejut.

"Wan-yen" itu adalah she, yaitu nama keluarga dari bangsa Kim, dari golongan keluarga raja. Biasanya dari raja hingga jenderalnya, bangsa itu memakai nama keluarga tersebut.

"Bagus!" serunya. "Benar-benar si pembesar jahanam itu telah bersekongkol sama bangsa asing, bersama-sama mereka mencelakai rakyat negeri!"

Ia serahkan busur itu kepada Lie-sie. "Enso ingat baik-baik nama ini!" ia pesan. "Pesanlah anakmu untuk menuntut balas....!"

Habis berkata, ia putar tombaknya, ia menerjang ke antara musuh, tetapi darah di punggungnya membanjir keluar, tiba-tiba matanya menjadi gelap, tak dapat ia menahan diri lagi, ia rubuh dari kudanya.

* * *

Hatinya Pauw-sie sakit bagai disayat-sayat karena tolakan suaminya, tempo ia mengawasi suaminya itu, sang suami sudah lantas lenyap, di pihak lain, rombongan serdadau telah mendatangi ke arahnya. Ia mencoba lari, tetapi sudah kasep, ia kena kecandak dan ditawan, tubuhnya segara dikasih naik ke atas seekor kuda.

"Aku tidak sangka dua orang itu demikian kosen hingga mereka dapat mencelakai tak sedikit saudara-saudara kita!" berkata seorang perwira sambil tertawa.

"Tapi sekarang kita toh peroleh hasil!" kata perwira yang lain. "Eh, sahabatku Ciong, untuk keringat kita ini kita bakal dapat persen tiga atau empat puluh tail perak!"

"Hm!" menyahut si Ciong itu. "Aku harap asal saja potongannya dikurangi sedikit...!" Terus ia menoleh kepada barisannya, akan beri titahnya: "Kumpulkan barisan!" Serdadu tukang terompet sudah lantas kasih dengar suara alat tiupnya

Pauw-sie menangis tersedu-sedu, ia lebih memikirkan suaminya yang ia tidak tahu bagaimana jadinya.

Ketika itu sang fajar telah tiba, dijalanan sudah ada beberapa orang yang berlalu lintas, akan tetapi mereka nampak serdadu, mereka lalu menyingkir jauh-jauh.

Mulanya Pauw-sie berkhawatir sangat kawanan serdadu itu nanti perlakukan kasar atau kurang ajar terhadapnya, kemudian ia merasa sedikit lega. Ia tidak saja tidak diganggu, ia malah diperlakukan dengan manis dan hormat.

Barisan ini baru berjalan beberapa lie, tiba-tiba mereka dicegat oleh belasan orang yang mengenakan pakaian serba hitam, yang semua berbekal senjata. Mereka itu muncul dengan tiba-tiba dari pinggir jalanan. Seorang yang berada di paling depan sudah lantas kasih dengar suaranya yang bengis: "Kawanan serdadu tak tahu malu dan kejam, tukang ganggu rakyat, kamu semua turun dari kuda kamu dan serahkan diri!"

Perwira yang pimpin barisan itu menjadi gusar.

"Kawanan berandal dari mana yang berani mengacau di wilayah kota raja?!" dia balas membentak. "Lekas menggelinding pergi!"

Pihak baju hitam itu tidak menggubris bentakan itu, sebaliknya mereka buktikan ancaman mereka, ialah tanpa bilang suatu apa lagi, mereka maju menerjang, dengan begitu pihak jadi bertempur kalut.

Kawanan baju hitam itu berjumlah lebih kecil akan tetapi mereka mengerti ilmu silat denag baik, dengan begitu pertempuran menjadi berimbang.

Menyaksikan pertempuran itu, diam-diam Pauw-sie bergirang. "Bukankah mereka ini dalah kawan-kawannya suamiku, yang mendengar kabar dan telah datang menolong?" demikian ia menduga-duga.

Selagi pertempuran berjalan terus, tiba-tiba satu busur nyasar menyambar punggung kudanya Pauw Sek Yok. Binatang itu kaget dan kesakitan, ia berlompat dan lari kabur.

Sek Yok kaget dan ketakutan, ia mendekam di kudanya itu yang lehernya ia peluki keras-keras. Ia takut jatuh.

Kuda itu kabur terus hingga beberapa li, sampai di sebelah belakangnya, terdengar datangnya kuda lain, lalu tertampak satu penunggang kuda datang memburu. Cepat sekali larinya kuda pengejar ini segera ia menyandak dan lewat di samping Pauw-sie, si penunggangnya sendiri sambil melarikan kudanya itu memutar sehelai dadung panjang di atasan kepalanya, apabila ia melepaskan sebelah tangannya, dadung itu ialah lasso, lantas menyambar ke kudanya Sek Yok. Sekarang kedua kuda jadi lari berendeng, si penunggang kuda menahan dengan perlahan-lahan, dari itu sesaat kemudian kedua kuda itu larinya perlahan, akan akhirnya selang beberapa puluh lie, kuda si penunggang berhenti dengan tiba-tiba, sebab mulutnya penunggang itu perdengarkan tanda. Dengan begitu kuda Sek Yok pun berhenti seketika. Kuda itu meringkik dan mengangkat kedua kaki depannya.