Bab 2 --- Part 2
berulang-ulang ia bersuit mendesak Kim-leng-cu menyerang musuh.

Kembali ular emas itu memelesat ke depan, namun obat yang terpoles di tangan Sikong Hian itu justru adalah obat jitu anti Kim-leng-cu, binatang itu tidak berani sembarangan memagut lagi, jika hendak menggigit muka atau bagian bawah badan, segera Sikong Hian mainkan kedua telapak tangannya sedemikian cepatnya hingga air pun tak bisa tembus.

Segera Ciong Ling putar Jing-leng-cu mengeroyoknya dari samping. Karena tidak tahu Jing-leng-cu itu tak berbisa, Sikong Hian menjadi waswas, ia menjaga diri dengan rapat sambil membentak-bentak memberi perintah kepada begundalnya.

Maka tertampaklah berpuluh orang anggota Sin-long-pang mengepung maju, setiap orang membawa segebung rumput obat yang dinyalakan, asap rumput itu mengepul tebal sekali.

Baru saja Toan Ki merangkak bangun dari jatuhnya tadi, begitu mencium bau asap rumput itu, seketika ia roboh dan pingsan pula. Lamat-lamat ia lihat Ciong Ling juga mulai sempoyongan menyusul gadis itu pun terjungkal.

Segera dua anggota Sin-long-pang menubruk maju hendak meringkus Ciong Ling, tapi Kim-leng-cu dan Jingleng-cu teramat setia membela sang majikan, segera dipagutnya pula kedua orang itu. Kontan yang satu meringkal keracunan bagai ebi dan yang lain tulang kaki patah kena dibelit oleh Jing-leng-cu yang keras bagai kawat baja itu.

Seketika itu jago-jago Sin-long-pang menjadi jeri, beramai-ramai mereka merubung kedua muda-mudi yang menggeletak di tanah itu dan tidak berani sembarangan turun tangan.

Cepat Sikong Hian berseru, "Bakar kunyit di sebelah timur, di sebelah selatan dibakar Sia-hio (semacam bibit wangi dari musang), semua orang menyingkir dari barat-laut!"

Segera anak buahnya mengikuti perintah itu, biasanya segala macam bekal obat-obatan selalu tersedia dalam Sin-long-pang, obat yang dibakar itu baunya sangat keras, begitu dibakar, seketika menyiarkan asap tebal yang berbau menusuk hidung dan tertiup ke arah Ciong Ling.

Tak terduga, meski di bawah embusan asap yang merupakan obat anti mereka, namun Kim-leng-cu dan Jingleng-cu masih tetap lincah dan gesit, dalam sekejap saja lagi-lagi beberapa orang Sin-long-pang digigit roboh lagi.

Sikong Hian berkerut kening, cepat ia mendapat akal, serunya, "Lekas gali tanah dan uruk anak perempuan ini hidup-hidup bersama ular-ularnya."

Gegaman sebangsa cangkul dan sebagainya selalu tersedia di tangan anak buah Sin-long-pang, cepat saja mereka menggali tanah dan diuruk ke atas tubuh Ciong Ling.

Waktu itu pikiran sehat Toan Ki masih belum lenyap sama sekali, ia pikir sebab musabab dari segala peristiwa itu berpangkal atas dirinya, kalau Ciong Ling mengalami nasib mati dikubur hidup-hidup, rasanya dirinya juga tak bisa hidup sendiri. Maka sekuatnya ia melompat ke atas tubuh si gadis dan merangkulnya sambil berseru, "Bagaimanapun biarlah kita gugur bersama!"

Menyusul ia merasa batu pasir beterbangan menjatuhi badannya.

Mendengar kata-kata "bagaimanapun biarlah kita gugur bersama" itu, hati Sikong Hian ikut tergerak, ia lihat di sekitarnya menggeletak lebih 20 anak buahnya, beberapa di antaranya bahkan adalah tokoh penting, termasuk pula dua orang Sutenya, jika anak perempuan ini dibunuh untuk melampiaskan rasa gusar sendiri, namun racun ular emas itu terlalu lihai, tanpa obat penawar si gadis, tentu sukar menolong jiwa orang-orangnya itu. Maka cepat katanya, "Biarkan jiwa kedua bocah itu tetap hidup, jangan uruk bagian kepala mereka!"

Ciong Ling sendiri lemas tak bertenaga, ia merasa badan tertindih Toan Ki dan makin lama makin berat, keduanya sama-sama tak bisa berkutik. Maka dalam sekejap saja, badan kedua muda-mudi itu bersama Kimleng-cu dan Jing-leng-cu sudah terpendam di bawah tanah, hanya kepala mereka yang menongol keluar.

"Anak perempuan, coba katakan sekarang, ingin mati atau hidup?" tanya Sikong Hian dengan nada dingin.

"Sudah tentu ingin hidup," sahut Ciong Ling. "Jika aku dan Toan-heng tewas, kalian rasanya juga takkan bisa hidup."

"Baik," ujar Sikong Hian, "lekas serahkan obat penawar racun ular, lantas kuampuni jiwamu."

"Tidak, hanya jiwaku saja tidak cukup, harus jiwa kami berdua," kata Ciong Ling.

"Baiklah boleh kuampuni jiwa kalian berdua," sahut Sikong Hian. "Nah, mana obat penawarnya?"

"Aku tidak membawa obat penawar," kata si gadis. "Racun Kim-leng-cu ini hanya ayahku saja yang bisa mengobatinya. Bukankah sudah kukatakan padamu, jangan kau paksakan aku turun tangan, sebab ayah pasti akan marah padaku dan bagimu juga tiada gunanya."

"Bocah cilik, dalam keadaan begini masih berani membual!" sahut Sikong Hian bengis, "kalau kakek kadung murka, bisa kutinggalkan kau di sini hingga mati kelaparan."

"Eh, apa yang kukatakan adalah sesungguhnya, kenapa engkau tidak percaya," kata Ciong Ling. "Ai, pendek kata, urusan sudah kadung runyam, mungkin ayah tak dapat dibohongi, lantas bagaimana baiknya?"

"Siapa nama ayahmu?" tanya Sikong Hian.

"Usiamu sudah tua, kenapa engkau tidak kenal aturan?" sahut si gadis. "Nama ayahku mana boleh sembarangan kukatakan padamu?"

Sungguh kewalahan Sikong Hian, meski berpuluh tahun dia malang melintang di dunia Kangouw, tapi menghadapi dua bocah seperti Ciong Ling dan Toan Ki, ia benar-benar tak berdaya. Dengan gemas ia berkata pula, "Ambilkan api, biar kubakar dulu rambut anak perempuan ini, coba lihat dia mau mengaku atau tidak."

Segera anak buahnya mengangsurkan sebuah obor, Sikong Hian terus mendekati Ciong Ling dengan memegang obor itu.Keruan Ciong Ling ketakutan melihat wajah orang yang bengis itu, ia berteriak-teriak, "Hei, jangan! Memangnya tidak sakit rambut dibakar? Kenapa tidak coba kau bakar jenggotmu sendiri saja?"

"Sudah tentu kutahu sakit, buat apa kubakar jenggot sendiri?" sahut Sikong Hian dengan tertawa ejek. Terus saja ia angkat obor dan diabat-abitkan di depan hidung Ciong Ling, keruan gadis itu menjerit takut.

Cepat Toan Ki memeluk tubuh si gadis lebih kencang sambil berseru, "He, jenggot kambing, urusan ini berpangkal kesalahanku, biar rambutku saja boleh kau bakar!"

"Jangan, kau pun akan merasa sakit!" ujar Ciong Ling.

"Jika kau takut sakit, lekas keluarkan obat penawarnya untuk menolong saudara kami itu," desak Sikong Hian.

"Engkau ini orang tua, tapi bodoh melebihi kerbau," sahut Ciong Ling. "Sejak tadi sudah kukatakan bahwa hanya ayahku yang bisa menyembuhkan keracunan Kim-leng-cu, bahkan ibuku pun tidak bisa. Memangnya kau sangka mudah mengobatinya?"

Mendengar sekitarnya berisik dengan suara merintih orang yang digigit Kim-leng-cu tadi, Sikong Hian menduga pasti racun ular ini sangat menyakitkan, bila tidak, anak buahnya yang tergolong laki-laki gagah itu, biasanya biarpun sebelah kaki atau tangan dikutungi orang juga tidak sudi merengek sedikit pun. Tapi kini meski sudah minum obat penawar racun ular buatan sendiri, namun toh masih merintih tidak tahan, terang obat ular yang biasanya sangat mujarab itu pun tidak berguna, dalam putus asanya, Sikong Hian terus memelototi Ciong Ling sambil membentak, "Siapa bapakmu, lekas katakan namanya!"

"Apa benar engkau ingin tahu, kau tidak takut mendengarnya?" tanya si gadis.

Mendadak hati Sikong Hian tergerak, ia jajarkan istilah "Uh-hiat-su-leng" dengan nama seorang, pikirnya, "Apa mungkin 'Uh-hiat-su-leng' ini adalah piaraan orang ini? Jika orang ini belum mati, dan selama ini dia hanya mengasingkan diri, hanya pura-pura mati saja, lalu aku mengungkat namanya, kelak dia pasti akan bikin repot padaku."

Sekilas Ciong Ling melihat wajah Sikong Hian menampilkan rasa jeri, ia sangat senang, segera katanya pula, "Makanya lekas kau lepaskan kami, supaya ayahku tidak bikin susah padamu."

Secepat kilat benak Sikong Hian timbul beberapa pikiran, "Bila kulepaskan dia, dan ayahnya benar adalah orang yang kuduga, setelah nona ini ditanya, pasti dia akan tahu aku telah dapat meraba rahasianya, lalu jiwaku pasti takkan dibiarkan hidup oleh orang itu? Tentu dia akan membunuh diriku untuk menutupi rahasianya. Tapi kalau kini kubunuh anak perempuan ini, para saudara yang menderita ini pun susah dipertahankan jiwanya. Hm, sekali sudah berbuat, kepalang bila tidak kuteruskan sampai titik terakhir!"

Setelah ambil keputusan, diam-diam tangan kirinya terus mengerahkan tenaga dan menghantam kepala Ciong Ling.

Melihat sikap orang mendadak berubah, segera Ciong Ling tahu gelagat jelek, ketika melihat pula tangan orang memukul, cepat ia berteriak, "Hai, tahan, jangan pukul dulu!"

Namun Sikong Hian tidak ambil peduli lagi, pukulan tetap diteruskan, tapi baru saja hampir menyentuh kepala si gadis, sekonyong-konyong bagian kuduk terasa sakit seperti digigit sesuatu, karena itu, walaupun pukulannya itu tetap mengenai kepala Ciong Ling, namun tenaga sudah lenyap di tengah jalan hingga mirip mengusap rambut si gadis saja.

Kejut Sikong Hian tak terkira, cepat ia tarik napas panjang untuk melindungi jantungnya, tangan lain melepaskan obor terus berputar ke belakang leher untuk menangkap tapi celaka, lagi-lagi punggung tangan terasa digigit.

Kiranya sesudah Kim-leng-cu terpendam dalam tanah, diam-diam ia telah menyusup keluar, dan pada saat Sikong Hian tidak menduga-duga mendadak binatang itu menyerang. Keruan Sikong Hian sangat cemas dan khawatir, cepat ia duduk bersila di tanah dan mengerahkan tenaga dalam untuk mengusir racun.

Segera anak buahnya menyekop tanah dan menguruk lagi ke atas Kim-leng-cu, namun binatang itu sempat melejit dan menggigit roboh seorang lagi, dalam kegelapan tampak sinar emas gemerlap beberapa kali, tahutahu dia sudah lari ke dalam semak-semak rumput.

Lekas anak buah Sikong Hian mengambilkan obat ular untuk sang Pangcu, setelah luar-dalam memakai obat, mulut sang Pangcu dijejal pula sebatang Jin-som untuk memperkuat tenaganya. Berbareng Sikong Hian pun mengerahkan Lwekang untuk melawan racun ular, tapi tiada seberapa lama, ia lemas tak tahan, terpaksa ia ambil keputusan kilat, ia lolos sebatang golok pendek terus menebas lengan kanan sendiri hingga kutung. Namun tengkuknya yang juga digigit ular itu kan tak mungkin kepala mesti ikut dipenggal juga.

Melihat keadaan sang Pangcu yang luar biasa itu, anak buah Sin-long-pang sama ngeri, lekas mereka membubuhi lengan Sikong Hian dengan obat luka, namun darah mengucur bagai sumber air, begitu obat dibubuhkan, segera diterjang buyar oleh air darah. Cepat seorang anak buah sobek lengan baju sendiri untuk membalut lengan kutung sang Pangcu, dengan demikian lambat laun darah dapat dihentikan.

Melihat itu, muka Ciong Ling pun pucat ngeri, ia tidak berani bersuara lagi.

"Apakah ular emas tadi adalah Kim-leng-cu dari Uh-hiat-su-leng?" tiba-tiba Sikong Hian tanya dengan suara geram.

"Ya," sahut Ciong Ling.

"Kalau kena digigit, setelah linu pegal tujuh hari baru korban akan mati, betul tidak?" tanya Sikong Hian pula.

Kembali si gadis mengiakan.

"Seret anak muda itu," perintah Sikong Hian pada anak buahnya.

Beramai-ramai anggota Sin-long-pang terus menyeret Toan Ki dari bawah gundukan tanah.

"He, he, urusan ini tiada sangkut-pautnya dengan dia, jangan bikin susah padanya!" cepat Ciong Ling berteriak sambil meronta-ronta hendak melompat bangun.

Namun anak buah Sin-long-pang itu cepat menguruk pasir batu pula ke tempat yang luang bekas Toan Ki tadi hingga Ciong Ling tak bisa berkutik. Saking khawatir mengira Toan Ki akan dibunuh, gadis itu menangis tergerung-gerung.

Sebenarnya Toan Ki pun ketakutan, tapi sedapatnya ia tenangkan diri, katanya dengan tersenyum, "Nona Ciong, seorang jantan sejati pandang kematian bagai pulang ke rumah, kita tidak boleh takut di hadapan kawanan orang jahat ini."

"Aku bukan jantan sejati, maka aku tidak mau pandang kematian seperti pulang ke rumah," sahut Ciong Ling.

Mendadak Sikong Hian memberi perintah, "Beri minum bocah ini dengan Toan-jiong-san, pakai takaran untuk tujuh hari lamanya."

Segera anak buahnya mengeluarkan sebotol obat bubuk merah dan mencekoki Toan Ki dengan paksa.

Keruan Ciong Ling khawatir setengah mati, ia berteriak-teriak, "He, he, itu racun, jangan mau minum!"

Ketika mendengar nama "Toan-jiong-san" atau obat bubuk perantas usus, segera Toan Ki tahu racun itu sangat lihai, tapi dirinya sudah jatuh di bawah cengkeraman orang, tidak minum terang tidak mungkin, maka dengan ikhlas ia telan obat bubuk itu, malahan mulutnya sengaja berkecek-kecek, lalu katanya dengan tertawa, "Ehm, manis juga rasanya. Eh, Sikong-pangcu, apakah kau pun akan minum barang setengah botol?"

Sikong Hian menjengek gusar tanpa menjawab, sebaliknya Ciong Ling yang sedang menangis itu mendadak tertawa geli, tapi lantas menangis lagi.

"Toan-jiong-san ini baru akan bekerja sesudah tujuh hari nanti hingga usus dan perutnya akan hancur," kata Sikong Hian kemudian. "Maka selama tujuh hari ini hendaknya lekas kau pergi mengambilkan obat penawar racun ular itu, bila tugas ini kau lakukan dengan baik, nanti aku pun memberi obat penawar racun padamu."

"Sulit," sahut Ciong Ling. "Racun Kim-leng-cu itu hanya bisa dipunahkan dengan Lwekang khas ayahku sendiri, selamanya tidak ada obat penawar."

"Jika begitu, suruh ayahmu datang ke sini untuk menolongmu," kata Sikong Hian."Enak saja kau bicara," sahut si gadis, "tak mungkin ayahku sembarangan keluar rumah. Sudah pasti dia takkan keluar selangkah pun dari lembah gunung kami."

Sikong Hian dapat memercayai apa yang dikatakan Ciong Ling itu, seketika ia menjadi ragu-ragu.

"Paling baik begini saja," tiba-tiba Toan Ki mengusul, "kita beramai-ramai pergi ke rumah nona Ciong dan mohon orang tuanya menyembuhkan racun ular, cara demikian bukankah lebih cepat dan tepat."

"Tidak, tidak boleh jadi!" kata Ciong Ling. "Ayahku pernah menyatakan, tak peduli siapa pun juga, asal menginjak setindak ke dalam lembah kami, orang itu harus dibinasakan."

Sementara itu luka gigitan ular di belakang leher Sikong Hian terasa makin pegal dan gatal, dengan gusar ia berteriak, "Aku tak peduli tetek bengek itu, kalau kau tidak mengundang ayahmu kemari, biarlah kita gugur bersama."

Ciong Ling pikir sejenak, lalu katanya, "Kau lepaskan aku dulu, biar kutulis sepucuk surat kepada ayah untuk memohon kedatangannya. Tapi harus kau suruh seorang yang tidak takut mati untuk menyampaikan surat pada beliau."

"Bukankah bocah she Toan ini bisa kusuruh ke sana, buat apa suruh orang