Bab 1 --- Part 4
belandar, sebaliknya dara cilik itu tidak peduli, ia semburkan kulit kuaci sekenanya, keruan kulit kuaci itu beterbangan di atas kepala para jago silat itu hingga mereka sibuk menghindar sambil berkerut kening.

Maka Co Cu-bok bertanya lagi, "Berita apakah yang didengar nona di tengah jalan? Jika sudi memberi tahu, Cayhe pasti sangat berterima kasih."

"Kudengar orang Sin-long-pang bicara tentang 'Bu-liang-giok-bik' segala. Permainan macam apakah itu?" kata si gadis.

Co Cu-bok terkesiap mendengar itu, segera ia menjawab, "Bu-liang-giok-bik? Apakah maksudnya ada sesuatu Giok-bik (batu jade mestika) di Bu-liang-san sini? Hal ini tidak pernah kudengar. Apakah engkau pernah mendengarnya, Siang-jing Sumoay?"

Belum lagi Siang-jing menjawab, cepat si gadis memotong, "Sudah tentu ia pun tidak pernah mendengar! Hm, tak perlu kalian main sandiwara. Kalau tidak mau bicara, terus terang saja bilang tidak. Huh, siapa yang ingin tahu?"

Co Cu-bok serbarunyam, diam-diam ia mengakui kelihaian dara cilik itu. Segera ia berkata pula, "Ah, ingatlah aku sekarang! Apa yang dimaksudkan Sin-long-pang itu mungkin adalah Keng-bin-ciok (batu bermuka cermin) yang terdapat di puncak tertinggi dari Bu-liang-san ini. Batu itu halus dan licin bagai kaca, maka orang mengatakannya sebagai batu mestika. Padahal hanya sepotong batu biasa yang putih dan licin saja."

"Jika begitu, kenapa tadi tidak kau katakan terus terang?" ujar si gadis. "Lalu cara bagaimana kalian ikat permusuhan dengan Sin-long-pang? Sebab apa mereka hendak membasmi Bu-liang-kiam kalian hingga ayam dan anjing pun tak terkecuali?"

Sungguh konyol, pikir Co Cu-bok. Sebagai tuan rumah, masakah dia yang ditanyai seorang gadis cilik bagai terdakwa di pengadilan saja. Tapi karena ingin tahu berita apa yang didengar orang di tengah jalan, mau tak mau ia harus menjawab lebih dulu. Maka katanya, "Harap nona turun dahulu, nanti kuterangkan dengan jelas."

"Menerangkan dengan jelas kukira tidak perlu," sahut si gadis sambil kedua kakinya membuai ke depan dan ke belakang, "toh apa yang kau katakan meski ada yang benar, tapi juga banyak yang dusta, paling-paling aku hanya percaya tiga bagian saja. Maka bolehlah kau bicara sesukamu."

"Begini," tutur Co Cu-bok kewalahan, "tahun yang lalu, Sin-long-pang kutolak cari bahan obat di belakang gunung kami ini, tapi diam-diam mereka datang mencuri dan dipergoki oleh Suteku Yong Goan-kui bersama beberapa anak muridku. Ketika ditegur, mereka menjawab, 'Di sini toh bukan istana raja atau taman kaisar, kenapa orang luar dilarang kemari, memangnya Bu-liang-san sudah dikontrak oleh Bu-liang-kiam kalian?' Karena percekcokan mulut itu, akhirnya saling gebrak, tanpa ampun Yong-sute telah membunuh dua orang mereka. Waktu itu tiada seorang pun yang tahu bahwa satu di antara korban itu adalah putra tunggal Sikongpangcu dari Sin-long-pang. Maka permusuhan itu tak dapat dihindarkan lagi. Belakangan terjadi saling tempur pula di tepi sungai Lanjong dan kedua pihak jatuh korban beberapa jiwa."

"O, kiranya begitu," ujar si gadis. "Daun obat apakah yang mereka petik?"

"Itulah kurang terang," sahut Cu-bok.

"Hm, apa benar kurang terang?" jengek si gadis. "Bukankah bahan obat yang hendak mereka petik itu adalah rumput Tulah. Maka mereka mengatakan akan membabat habis rumput Tulah di Bu-liang-san ini sampai akarakarnya, sebatang pun takkan ditinggalkan."

"Kiranya nona lebih jelas daripadaku," kata Cu-bok.

Tiba-tiba gadis itu memegang lengan kanan Toan Ki sambil berkata, "Marilah kita turun!"

Berbareng ia melompat ke bawah.

Keruan Toan Ki menjerit kaget, namun tubuhnya sudah terapung di udara. Syukurlah gadis itu dapat membawanya ke tanah dengan enteng tanpa kurang apa pun sembari tetap memegangi lengan kanannya. Kata gadis itu pula, "Marilah kita keluar sana, coba lihat berapa banyak orang Sin-long-pang yang datang."

"Nanti dulu," cepat Co Cu-bok melangkah maju, "apa yang kutanya tadi, nona kan belum menjawab?"

"Buat apa kuberi tahukan padamu? Pula aku kan tidak berjanji akan menjelaskan?" sahut si gadis.

Cu-bok pikir memang benar orang tidak pernah berjanji akan menjawab pertanyaannya tadi. Tapi mana boleh orang keluar-masuk sesukanya di rumahnya ini? Walaupun saat itu Bu-liang-kiam sedang menghadapi musuh di depan rumah, namun dengan watak Co Cu-bok yang tinggi hati itu, tidak rela rasanya dipermainkan seorang nona cilik tanpa bisa berbuat apa-apa. Maka begitu mengadang di depan si gadis dan Toan Ki, katanya pula, "Kalian keluar begini saja, kalau terjadi apa-apa, Bu-liang-kiam kami tentu merasa tidak enak."

"Kenapa kau khawatir?" sahut si gadis dengan tersenyum. "Aku toh bukan tamu undanganmu, kau pun tidak kenal she dan namaku yang mulia. Jika aku terbunuh oleh orang Sin-long-pang, ayah-bundaku juga takkan menyalahkan kalian."

Habis berkata, ia tarik Toan Ki terus melangkah keluar.

"Berhenti dulu, nona!" cepat Cu-bok merintangi, tahu-tahu tangannya sudah menghunus pedang.

"Eh, apa kau ingin berkelahi?" tanya si gadis.

"Cayhe ingin berkenalan dengan ilmu silat nona agar kelak dapat dipertanggung jawabkan kalau berjumpa dengan ayah-ibumu," kata Cu-bok sambil melintangkan pedang.

"Wah, kakek jenggot ini akan membunuh aku, bagaimana baiknya menurut pendapatmu?" tanya si gadis pada Toan Ki.

"Terserah padamu," sahut Toan Ki sembari mengipas.

"Apabila aku terbunuh, lantas bagaimana baiknya?"

"Ada rezeki kita rasakan bersama, ada malang kita tanggung berbareng. Kuaci kita makan bersama, pedang kita terima serentak!"

"Bagus, ucapanmu ini sangat tegas," ujar si gadis. "Engkau sangat baik, tidak percuma perkenalan kita ini. Marilah pergi!"

Segera ia tarik Toan Ki keluar, terhadap senjata Co Cu-bok yang kemilauan itu seakan-akan tak dihiraukannya.

Tanpa bicara lagi Cu-bok geraki pedang terus menusuk bahu kiri si gadis. Ia tidak bermaksud melukai orang, tujuannya cuma untuk merintangi kepergian kedua muda-mudi itu.

Mendadak tangan si gadis menarik pinggang, tahu-tahu seutas tali hijau menyambar ke pergelangan Co Cubok.

Dalam kagetnya cepat Cu-bok menarik kembali tangannya, tak terduga tali hijau itu adalah benda hidup, datangnya juga cepat luar biasa, tangan Cu-bok terasa sakit kena digigit sekali oleh Jing-leng-cu.

"Trang", pedang jatuh ke lantai.

Habis menggigit musuh, cepat Jing-leng-cu merayap ke tanah, beberapa kali mengesot, pedang yang jatuh itu telah dililitnya, terdengarlah suara "pletak" beberapa kali, pedang panjang itu patah menjadi beberapa bagian.

Ternyata Jing-leng-cu itu adalah semacam ular aneh yang sangat lihai, kulitnya keras melebihi baja, ditambah lagi dalam asuhan ayah-bunda si gadis dalam waktu panjang, maka berubahlah semacam senjata hidup yang sangat hebat.

Kalau bicara tentang ilmu silat sejati, terang si gadis yang berusia kira-kira 16-17 tahun itu bukan tandingan Co Cu-bok. Tapi "senjata hidup" si gadis terlalu aneh dan gesit, Co Cu-bok diserang dalam keadaan tidak berjagajaga hingga pedangnya jatuh dan terlilit patah.

Biasanya Bu-liang-kiam memandang pedang mereka sebagai jiwa sendiri, kalau senjata itu kena dipatahkan atau direbut musuh, itu berarti ludeslah seluruh modal mereka. Meski gebrakan tadi sangat di luar dugaan dan tak bisa dianggap kalah bertanding, tapi dengan kedudukan Co Cu-bok sebagai seorang ketua suatu aliran persilatan, ia tidak boleh ngotot merintangi orang lagi. Ia memegang pergelangan tangan sendiri dengan erat, khawatir racun ular menjalar ke dalam tubuh.

"Kalau ingin jiwa selamat, lekas kau menggodok tiga mangkuk besar air rumput Tulah dan diminum sekaligus, dalam waktu dua jam, harus merebah di ranjang, sedikit pun tidak boleh bergerak," demikian kata si gadis. Dan sesudah keluar, dengan tertawa ia berkata pada Toan Ki dengan perlahan, "Jing-leng-cu ini sebenarnya tak berbisa, tapi kakek jenggot itu pasti ketakutan setengah mati. Ilmu silat si tua itu sangat tinggi, kalau dia mengejar, aku tak mampu melawannya."

Sungguh kagum sekali Toan Ki, katanya, "Aku tidak bisa ilmu silat, makanya dianiaya orang!"Sembari berkata, ia raba-raba pipi sendiri yang masih sakit pedas. Lalu menyambung pula, "Apabila aku pun mempunyai Jing-leng-cu seperti ini, tentu aku tidak takut lagi pada segala macam manusia jahat. Nona baik, bilakah kau mau menangkapkan seekor juga untukku?"

"Untuk menangkap seekor lagi cukup sulit," sahut si gadis. "Sayang ular ini bukan milikku, kalau punyaku, tentu akan kuhadiahkan padamu. Ini adalah milik Encekku (paman), kubawanya buat main-main, setelah pulang nanti harus kukembalikan padanya."

"Eh, she dan namamu yang mulia tak mau kau katakan kepada kakek jenggot, tentunya tidak keberatan diperkenalkan padaku, bukan?" tanya Toan Ki.

"She dan nama yang mulia apa segala?" sahut si gadis dengan tertawa. "Aku she Ciong, ayah-ibuku memanggil aku 'Ling-ji' (anak Ling). Marilah kita duduk di lereng bukit situ, katakan, untuk apa kau datang ke Bu-liangsan sini?"

Kedua muda-mudi itu lalu menuju ke lereng bukit di sebelah barat-laut sana, sembari berjalan Toan Ki sambil berkata, "Aku mengeluyur sendiri dari rumah dan terluntang-lantung ke mana-mana. Ketika tiba di kota Bohni, aku kehabisan sangu, aku datang ke rumah orang yang bernama Be Ngo-tek itu untuk makan gratis. Belakangan kudengar dia hendak ke Bu-liang-san sini, karena iseng, aku lantas minta ikut kemari."

Ciong Ling manggut-manggut, tanyanya pula, "Sebab apa kau larikan diri dari rumah?"

"Ayah-ibu suruh aku belajar silat, aku tidak mau. Mereka mendesak terus, aku lantas minggat."

Dengan mata terbelalak heran, Ciong Ling mengamat-amati Toan Ki, katanya kemudian, "Sebab apa engkau tidak mau belajar silat? Takut menderita?"

"Masa aku takut menderita?" sahut Toan Ki. "Telah kupikir pergi-datang dan tetap tidak paham. Kemudian bertengkar pula dengan Empekku. Aku dipersalahkan oleh ayah dan disuruh minta maaf pada Empek, tapi aku enggan karena merasa tak salah, lantaran itu ibu bertengkar juga dengan ayah ...."

"Ibumu tentu simpati pada pihakmu, bukan?" tanya Ciong Ling.

"Ya," sahut Toan Ki.

Ciong Ling menghela napas, katanya, "Ibuku juga begitu terhadapku."

Ia termenung sejenak memandang ke arah barat, lalu tanya lagi, "Soal apa yang kau pikirkan dan merasa tidak paham?"

"Sejak kecil aku sudah ditahbiskan ke dalam agama Buddha," tutur Toan Ki. "Ayah telah mengundang seorang guru memberi pelajaran membaca Su-si-ngo-keng (empat buku dan lima kitab) dan menggubah syair. Mengundang pula seorang paderi saleh mengajar agama padaku. Selama belasan tahun yang kupelajari melulu hal larangan membunuh, pantang gusar, harus welas asih dan macam-macam lagi. Ketika tiba-tiba ayah suruh aku belajar silat, belajar cara memukul dan membunuh orang, tentu saja aku merasa enggan. Ayah menuduh aku membangkang perintah orang tua, Empek berdebat sehari semalam denganku, dan aku tetap tidak tunduk."

"Lantas Empekmu marah-marah dan tinggal pergi, bukan?"

"Empekku tidak marah-marah dan tinggal pergi, tapi jarinya menutuk dua kali di badanku, seketika badanku terasa seakan-akan digigit beratus ribu semut serta serupa beribu lintah lagi mengisap darahku. Kata Empek, 'Enak tidak perasaan begini? Aku adalah pamanmu, sebentar tentu akan lepaskan Hiat-to yang kututuk, tapi kalau musuh yang menutukmu, tentu kau akan dibikin mati tidak hidup pun tidak. Dan kau boleh coba membunuh diri.' Sudah tentu aku tak dapat bunuh diri, pula aku takkan bunuh diri, cukup hidup senang, buat apa bunuh diri?"

Semula Ciong Ling termangu-mangu mendengarkan, tiba-tiba ia berseru keras, "Hah, Empekmu mahir ilmu Tiam-hiat? Bukankah ia menggunakan sebuah jari dan menutuk sesuatu tempat di tubuhmu, dan engkau lantas tak bisa berkutik?"

"Benar, kenapa mesti heran?" ujar Toan Ki.

Kejut dan heran meliputi perasaan Ciong Ling, sahutnya, "Kau bilang kepandaian itu tidak mengherankan? Padahal setiap orang Bu-lim, asal mendapatkan ajaran sedikit ilmu Tiam-hiat, biarkan kau suruh dia menjura seribu kali juga dia mau.

Tapi kau sendiri justru tidak mau belajar, ini sungguh aneh luar biasa."

"Kulihat ilmu Tiam-hiat itu pun tiada sesuatu yang hebat," sahut Toan Ki.

Ciong Ling menghela napas, katanya, "Kata-katamu ini jangan lagi kau ucapkan, lebih-lebih jangan sampai diketahui oleh orang lain."

"Sebab apa?" tanya Toan Ki terheran-heran.

"Kalau kau tidak mahir ilmu silat, tentu banyak urusan Kangouw yang belum kau ketahui," sahut si gadis. "Ilmu Tiam-hiat keluarga Toan kalian tiada bandingannya di kolong langit ini, yaitu disebut 'It-yang-ci'. Setiap orang persilatan pasti mengiler bila mendengar nama ilmu itu, mungkin tak bisa tidur sebulan-dua bulan mengaguminya. Apabila ada yang tahu ayah dan pamanmu mahir ilmu itu, boleh jadi ada orang jahat akan menculik kau dan minta ayahmu atau pamanmu menukar dirimu dengan kitab pelajaran It-yang-ci itu. Jika terjadi demikian, lantas bagaimana?"

"Jika benar terjadi, menurut watak pamanku yang keras itu, pasti dia akan melabrak si penculik itu."

"Makanya," kata Ciong Ling, "berkelahi tanpa tujuan dengan keluarga Toan kalian tentu orang tidak berani. Tetapi untuk kitab pelajaran It-yang-ci, segala apa mungkin terjadi. Apalagi kalau kau jatuh di tangan orang, urusan tentu akan sulit diselesaikan. Maka begini saja baiknya, selanjutnya kau jangan mengaku she Toan."

"Aku tidak she Toan, lalu she apa?" ujar Toan Ki. "Padahal orang she Toan beratus ribu banyaknya di daerah Hunlam ini, belum tentu setiap orangnya mahir ilmu Tiam-hiat."

"Sementara ini boleh kau pakai she sama dengan aku," ujar si gadis."Baik juga," sahut Toan Ki tertawa. "Dan engkau harus panggil aku Toako. Berapa umurmu?"

"Enam belas," sahut Ciong Ling. "Dan kau?"

"Aku lebih tua tiga tahun daripadamu," sahut Toan Ki.

Ciong Ling memungut sehelai daun kering, sambil merobek daun itu sedikit demi sedikit, tiba-tiba ia goyang kepala.

"Apa yang kau pikirkan?" tanya si pemuda.

"Aku tetap tak percaya bahwa engkau tidak mau belajar It-yang-ci," sahut Ciong Ling. "Kau sengaja dusta, bukan?"

Toan Ki tertawa, katanya, "Kau pandang It-yang-ci sedemikian hebatnya, memangnya ilmu itu bisa bikin perut menjadi kenyang? Aku justru anggap Kim-leng-cu dan Jing-leng-cu milikmu ini jauh lebih berguna."

"Kuharap mudah-mudahan aku bisa menukar beberapa ular ini dengan ilmu kepandaian