Bab 2 --- Part 5
tipis yang menutupi sang dewi malam itu tertiup buyar oleh angin hingga bayangan hitam itu tampak lebih jelas lagi. Dari bayangan hitam benda melengkung itu ternyata timbul jalur aneka warna persis seperti warna-warni bianglala.

Toan Ki semakin heran, pikirnya, "Kenapa di tengah bayangan bisa timbul warna-warni?"

Ketika pandangannya beralih ke arah yang berlawanan dengan dinding batu itu, ia lihat di dinding tebing curam sana lamat-lamat ada sinar berwarna yang bergoyang-goyang.

Seketika ia menjadi sadar, kiranya di dinding situ ada terjepit sebatang pedang, di samping itu ada sepotong batu mestika yang mengeluarkan cahaya pelangi.

Batu permata memangnya mempunyai tujuh warna, maka sinar bulan telah memindahkan pantulan warnawarni itu ke dinding batu sana. Pantas begitu indah menarik. Cuma sayang, tempat di mana terdapat bendabenda mestika itu berpuluh tombak tingginya, betapa pun sukar dicapai untuk dilihat dari dekat.

Belum lama ia menikmati pemandangan indah itu, sang bulan sudah berpindah hingga bayangan itu mulai menipis dan akhirnya lenyap tinggal dinding batu yang tetap halus licin itu.

Tanpa sengaja Toan Ki dapat menemukan rahasia itu, ia pikir, "Kiranya rahasia di atas dinding kemala Buliang-san ini beginilah adanya. Kalau tidak kebetulan tergelincir ke sini, belum tentu aku bisa melihat bayangan tadi, sedangkan sinar bulan yang menyorot ke atas dinding itu, dalam setahun hanya ada kesempatan beberapa hari saja. Sebaliknya orang-orang Bu-liang-kiam yang sengaja hendak mencari rahasia itu, kebanyakan pasti datang pada waktu siang hari untuk mengamati dinding batu itu secara bodoh, bisa jadi mereka malah menggali dan membongkar batu pegunungan di atas sana untuk mencari rahasia yang tidak pernah diketemukan itu. Sudah tentu hasilnya tetap nihil."

Berpikir sampai di sini, ia tertawa geli sendiri, "Hihi, seumpama aku memperoleh pedang serta benda mestika yang mengeluarkan cahaya warna-warni itu, bagiku paling-paling hanya mendapatkan dua macam mainan yang menarik saja, perlu apa mesti banyak pikiran untuk itu? Bukankah aku terlalu goblok?"

Setelah termangu-mangu sejenak, kemudian ia tertidur lagi.

Dalam tidurnya itu, sekonyong-konyong ia melonjak bangun, katanya dalam hati, "He, ujung pedang itu menunjuk ke puncak pelangi bagian bawah, jangan-jangan di balik itu ada rahasianya lagi? Padahal untuk menjepit pedang dan batu mestika itu ke dinding tebing tidaklah mudah dilakukan, bukan saja diperlukan ilmu silat yang tinggi, bahkan harus ada orang mengereknya dengan tali yang panjang. Dan kalau secara susah payah berbuat begitu, di dalamnya pasti mengandung maksud tertentu, apakah artinya rahasianya terletak di ujung pelangi! Kalau dilihat dari kedua bayangan itu, kecuali kesimpulan ini, terang tiada arti lain lagi. Tapi ujung pelangi itu yang satu mengarah ke langit, ujung yang lain sebaliknya menunjuk ke tengah danau, biarpun di dalamnya terkandung rahasia mahabesar juga susah untuk memperolehnya."Begitulah Toan Ki termangu-mangu sampai lama, akhirnya ia berpendapat, "Cahaya pelangi setiap waktu berubah-ubah, mungkin tempat yang ditunjuk bayangan pedang itu besok akan berlainan."

Esok paginya, karena memikirkan munculnya pelangi, ia menjadi lupa lapar. Akhirnya tiba juga sang malam. Selarik pelangi panjang tampak menghias langit pula. Tapi begitu melihat, Toan Ki menjadi kecewa. Ternyata kedua ujung pelangi itu sedikit pun tiada ubahnya seperti kemarin, yang sebelah mengarah ke langit, ujung lain menurun ke tengah danau.

Toan Ki coba mendekati tepi danau, suara gemuruh air terjun itu membuat telinga seakan-akan pekak, hanya sekejap saja baju sudah basah kuyup oleh cipratan air terjun. Ia lihat di tengah danau terdapat suatu pusaran air yang sedang berputar dengan keras sekali. Karena didekati, pelangi tadi lantas tidak kelihatan lagi.

Waktu Toan Ki hitung-hitung, sudah hari ketiga sejak ia jatuh ke dalam jurang. Lewat empat hari lagi, seumpama tidak mati kelaparan, kalau racun Toan-jiong-san di dalam perut mulai bekerja, sekalipun dia tidak sampai mati, tentu kawanan Sin-long-pang akan membunuh Ciong Ling.

Ke sana ke sini juga mati, tidakkah lebih baik terjun ke tengah pusaran air saja untuk melihat apakah ada sesuatu di dasar danau itu. Karena menghadapi jalan buntu, terpaksa mati-matian mencari selamat, kedua, dia memang bersemangat banteng, sekali ingin berbuat, segera dilaksanakannya.

Karena itu, tanpa pikir lagi terus saja ia terjun ke tengah pusaran air itu. Seketika tubuhnya digulung oleh suatu tenaga mahadahsyat terus berputar ke bawah. Lekas ia tutup pernapasannya, sebaliknya pasang mata lebarlebar, ia lihat sekitarnya hanya air buram belaka, ia terhanyut ke dasar danau oleh arus air yang keras berasal dari air terjun di atas itu.

Toan Ki hanya sekadar bisa berenang saja, terhanyut di tengah arus air yang keras itu, ia tak bisa menguasai diri lagi, tubuhnya berputar-putar dan sebentar saja ia sudah megap-megap kemasukan air, seketika pikirannya samar-samar, hanya merasa terhanyut terus oleh arus air dan entah berapa jauhnya.

Sekonyong-konyong tubuh terasa dilemparkan oleh tenaga pusaran ke atas permukaan air. Ketika Toan Ki menggeraki tangannya serabutan, untung dapat menangkap seutas akar rotan, cepat saja ia pegang kencangkencang.

Setelah tenangkan diri sejenak, ia membuka mata dan melihat sekitarnya gelap gulita. Ia coba ulur kaki kanan ke depan dan terasa masih menginjak tanah, segera kaki yang lain ikut melangkah maju, tapi kedua tangan masih tidak berani melepaskan pegangannya pada akar rotan tadi.

Setelah belasan tindak jauhnya, ia merasa air hanya sebatas betis kaki, arus air pun tidak terlalu keras lagi, segera ia lepaskan rotan tadi dan berdiri tegak.

Tapi mendadak "blang", batok kepalanya kebentur sesuatu yang menonjol, saking kesakitan hampir saja ia jatuh kelengar. Diam-diam ia memaki diri sendiri yang kurang hati-hati. Waktu meraba ke atas, benda itu terasa dingin keras, kiranya batu padas.

Setelah berpikir sejenak, Toan Ki tahu dirinya tadi telah terbawa ke dasar danau oleh pusaran air yang dahsyat, tapi arus air itu ada jalan buangannya, maka dirinya ikut terbawa pula sampai di tempat buangan air itu.

Meski keadaannya sekarang banyak celaka daripada selamatnya, namun selama masih ada harapan, ia pantang menyerah, segera ia merangkak maju mengikuti lorong buangan air itu. Ia dengar suara gemerujuknya air terkadang cepat dan terkadang lambat mengalir di kanan kirinya.

Setelah merangkak sebentar, lorong itu makin melebar hingga akhirnya dapatlah ia berdiri sambil membungkuk. Ia berjalan terus, akhirnya dapatlah ia berjalan dengan tegak. Cuma sering ia menginjak lubang di bawah air hingga mendadak badan terendam air sebatas pinggang. Lain saat di atas kepala tiba-tiba menonjol batu padas hingga hampir kepalanya benjut lagi kebentur. Untung kedua tangannya terjulur ke depan sebagai pembuka jalan, kalau tidak entah berapa kali kepalanya akan bertambah telur ayam.

Setelah berjalan lagi, tiba-tiba Toan Ki teringat pada Jing-leng-cu, ia coba meraba pinggang, syukurlah binatang itu masih melilit di situ tanpa kurang apa-apa. Ia merasa pengalamannya hari ini benar-benar merupakan pengalaman aneh selama hidup yang susah diperoleh orang lain.

Sudah turun-temurun ahli waris Bu-liang-kiam suka termangu-mangu memandangi dinding batu itu, tapi sekali-kali tidak mereka sangka bahwa orang harus terjun ke dalam jurang, di situlah mereka akan menemukan apa yang diharapkan itu pada malam hari di bawah sinar bulan purnama.

Namun seumpama sudah melihat bayangan pedang dan batu mestika di dinding itu, kalau tiada punya semangat berani mati, rasanya juga takkan berani melompat ke tengah pusaran air yang berarus dahsyat itu.

Semakin dipikir, semakin senang hati Toan Ki. Tanpa tertahan lagi ia terbahak-bahak, lalu ia bergumam sendiri, "Wahai, Toan Ki! Jika hari ini jiwamu jadi melayang, itu berarti tamatlah riwayatmu. Tapi kalau beruntung bisa keluar dengan selamat, bolehlah kau mengejek Co Cu-bok dan murid-muridnya yang sombong tapi tak becus itu."

Habis berkata, ia terbahak-bahak pula dengan keras.

Tak tersangka, mendadak di sebelah kanan sana juga ada orang menirukan tertawanya yang terbahak-bahak itu. Keruan Toan Ki kaget, ia berhenti tertawa, segera suara tawa itu pun lenyap.

"Siapa itu?" seru Toan Ki.

"Siapa itu?" terdengar pula suara serupa di sana.

"Kau setan atau manusia?" teriak Toan Ki lagi.

"Kau setan atau manusia?" suara itu tetap menirukannya.

Setelah tertegun sejenak, akhirnya Toan Ki sadar dan tertawa geli sendiri, gerutunya, "Kurang ajar, kiranya adalah kumandang suaraku sendiri."

Tapi segera timbul curiganya lagi, "Hanya lembah gunung atau sebuah ruangan besar yang dapat menimbulkan kumandang suara. Jika begitu, di sebelah kanan sana tentu ada suatu tempat yang luas. Haha, jika bukannya aku kegirangan hingga terbahak-bahak tawa, tentu aku takkan tahu di sini masih ada suatu tempat lain lagi."